Ben berdiri didepan lift dan menunggu dengan santai sambil melihat layar hp nya yang berisikan artikel tentang perkembangan Hotel belakangan ini. Ia melihat lift sudah berada di lantai dua. Ben bersiap dan mematikan hp nya.
TING! Lift tiba.
Ben menatap pintu lift yang terbuka. Tubuhnya kaku, sorot matanya sendu, tenggorokannya tercekat. Orang yang membuatnya seperti ini ada didepannya. Elena, wanita yang pernah sangat dicintainya ada didepannya setelah tiga tahun bercerai.
Elena merasakan saraf diwajahnya sulit digerakkan. Niatnya untuk turun tadi hanya untuk menuju ke restoran buffet dan makan disana. Namun nyatanya malah bertemu dengan Ben didepan lift. Kebetulan seperti apa yang terjadi saat ini.
Pintu lift tertutup. Ben menahannya dan kembali terbuka. Elena tersadar dari lamunannya. Ia keluar dari lift dan berdiri didepan Ben. Beberapa saat mereka saling bertatapan seolah menyatukan perasaan yang campur aduk dari keduanya.
Ben memperhatikan penampilan Elena yang tidak berubah sama sekali dari terakhir mereka bertemu. Wajah asia yang manis diimbangi dengan rambut lurus sebahunya yang seiras dengan kulit putih mulusnya. Elena masih cantik di matanya.
Elena menatap iba pada Ben. Pria itu berubah sekali. Dulu, Ben tampak bergairah, penuh semangat, tampan dan sangat rapi. Tubuh atletisnya begitu telihat dibalik jas mahalnya. Namun saat ini, pria itu tidak terurus dengan rambut gondrong, janggut halus yang samar-samar terlihat, tubuh atletis itu juga sudah tidak ada lagi.
"Kamu..." Ben memulai percakapan. Gerakan bibirnya seperti ragu-ragu untuk melanjutkan. "Apa kabar?" Ada guratan senyum di ujung bibirnya saat ini.
Elena mulai nyaman ketika Ben memulai percakapan terlebih dahulu. Ia mengira kalau pria itu akan marah padanya dan pergi begitu saja. "Aku baik."
Ben merasa dejavu ke masa indahnya dulu. Suara Elena yang lembut membawanya kepada kenangan manis. "Kamu ngapain di Jakarta?" Tanyanya.
"Aku datang ke pernikahannya Siska tadi sore." Alasannya. Tujuan utamanya hari ini adalah melihat perkembangan pria didepannya ini. Elena merapikan tali dress floralnya. Ia berusaha melepaskan rasa gugupnya.
Ben menatap Elena dari atas hingga bawah. Wanita itu tampak sempurna dengan dress floral panjang yang menyelimuti tubuh indahnya. Bagian bahunya terekspos cantik namun masih tidak mampu membuat Ben meyakinkan perasaan yang sedang dirasakannya saat ini.
"Kamu udah makan?" Tanya Elena lembut. "Kamu mau makan di buffet." Ia tertawa mecil menyelimuti ajakannya.
"Kamu gak makan di pernikahannya Siska tadi?" Ben melihat jam ditangannya yang sudah lewat jam makan malam.
"Aku gugup mau ketemu kamu. Aku gak selera mau makan." Elena berusaha jujur kali ini. "Kamu... mau... temanin aku makan?" Ajaknya dengan percaya diri.
Tatapan Ben berubah perlahan. "Kamu kesini sendiri?" Tanyanya.
Elena menghela napasnya, "Menurut kamu kenapa aku mau datang ke acara kawinannya Siska sampai aku nginep di Hotel kamu segala?" Pertanyaan itu cukup untuk menjawab kalimat Ben.
Senyum Ben terukir perlahan. "Ayo! Aku temenin kamu makan." Mereka jalan beriringan menuju restoran buffet yang tak jauh dari lift itu.
***
Elena memilih meja pojok yang sepi dari pandangan orang. Ia tahu kalau saat ini mereka sedang menjadi bahan pembicaraan pegawai Hotel lainnya.
Hp Ben berdering dan tertulis nama Arif disana. Ia mengangkatnya. "Ada apa?" Sapanya.
"Pak, maaf saya menganggu." Suara Arif terdengar gelisah.
"Iya, ada apa?" Ben melihat sekelilingnya.
"Pak, apa benar bapak sekarang sedang makan dengan Ibu Elena di restoran buffet?" Tanyanya hati-hati.
Ben tidak langsung menjawab. Ia melirik Elena yang tengah melahap makanan didepannya. "Iya."
"Pak, anda baik-baik saja?" Arif khawatir dengan atasannya. Ia tidak bisa membayangkan pikiran apa saja yang bermain dikepala pria itu.
"Saya baik-baik saja." Ben meyakinkan Arif.
"Ada yang bisa saya bantu?" Arif menawarkan diri. Ia berharap kalau atasannya itu menanyakan sesuatu padanya yang mungkin ia tahu.
Ben terdengar tertawa kecil, "Ada. Besok jangan lupa datang tepat waktu anterin saya ke Bandara." Katanya.
Arif tertawa pelan menyambut candaan atasannya, "Baik, pak. Selamat malam." Ia menutup teleponnya. Pria itu tidak membutuhkan pertolongannya.
"Udah sampai ke telinga Arif soal kedatangan aku?" Elena menatap Ben begitu pria itu menyudahi percakapan. Ben mengangguk pelan. Reaksi tubuhnya masih belum bisa menentukan arah yang tepat.
"Kamu mau kemana besok?" Tanya Elena memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya.
"Biasa, ketemu yang lain di Kuta." Jawab Ben penuh senyum.
"Kamu lucu, Ben." Elena meletakkan sendoknya diatas piring kotornya. "Kita gak pernah ketemu tiga tahun, gimana kamu bisa bilang 'Biasa' ke aku." Ia tersenyum lirih. "Aku gak tahu perkembangan kamu selama ini."
Ben meneguk minuman jusnya. "Kamu kapan pulang?"
"Besok." Jawab Elena mengambil tisu di sampingnya.
Ben terkejut, "Jam berapa?" Ada perasaan untuk bersama namun juga tidak. Ia bingung dengan perasaanya saat ini. "Aku jam tiga sore."
Elena terenyum simpul, "Aku pesawat pagi."
Ben mengangguk perlahan. Ia semakin bingung dengan perasaanya. Ada rasa bahagia namun juga sedih karena tidak satu pesawat dengan Elena.
"Kerjaan kamu gimana?" Tanya Elena. Ia memandangi wajah Ben hingga ke setiap lekuk rahangnya. Entah kenapa rasa rindunya muncul.
"Baik. Semua berjalan lancar." Ia menyandarkan tubuhnya pada bahu kursi berbusa itu. "Kamu tinggal dimana sekarang?" Ia gengsi bertanya terus terang. Padahal maksud hatinya adalah bertanya apakah wanita didepannya masih dengan Roy.
"Aku pindah ke Ubud." Jawab Elena.
"Memangnya kamu sebelum ini tinggal dimana?" Tanya Ben balik. Ia seperti bingung.
Elena menyipitkan matanya, "Bukannya selama ini kamu tahu. Arif pasti selalu kasi tahu kamu selama ini." Elena merasa dilupakan dengan pertanyaan Ben.
"Mungkin selama ini Arif tahu soal kamu, tapi dia gak pernah kasi tahu aku. Kalau aku tanya, mungkin dia baru cerita." Sahut Ben. Ia membela Arif yang sudah menjalankan tugas dengan baik. Pria itu tahu bagaimana menjaga sesuatu yang mungkin bisa saja merusak mood atasannya.
Elena diam sesaat. Ia mengerti situasi mereka saat ini. Tiga tahun tanpa pertemuan dan keduanya juga tidak tahu perkembangan masing-masing. "Menurut kamu siapa diantara kita yang melupakan dan siapa yang menghindar?"
Ben diam sejenak. Ia mencerna pertanyaan itu. "Aku dan kamu."
Elena tertawa pelan sambil memainkan rambutnya dan menyandarkan tubuhnya di bahu kursi. "Kenapa kamu belum menikah lagi, Ben?" Tanyanya.
Ben terdiam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang ditanyakan oleh semua orang bahkan dirinya ssndiri. Sampai hari ini ia masih berusaha membuka hati dan menerima pilihan yang ada. Namun semuanya terasa hampa jika sudah mengenal. Akhirnya, Ben harus melepaskan dan mengulang dari nol lagi.
Perempuan yang datang setelah kepergian Elena juga tidak kalah cantik dan berbakat seperti wanita didepannya ini. Tapi entah kenapa belum ada yang bisa menandingi keindahan wanita ini luar dan dalam. Bahkan tinggal di kamarnya saat ini terasa lebih menyenangkan dari pada ditempat lain.
Ben bukan tidak bisa atau belum melupakan Elena. Hanya saja ia belum menemukan seseorang yang tepat yang bisa membuka hatinya kembali. Jika ditelursuri lebih dalam, selama Elena menghilang, Ben memang cukup sulit untuk beralih namun seiring berjalannya waktu, Ben bisa melewati itu semua. Bahkan ia tidak pernah lagi mengingat Elena sampai saat ia bertemu dengan wanita itu barusan.
Namun sekarang Ben malah bingung dengan dirinya sendiri yang memberikan respon berbeda setelah bertemu wanita ini. Dirinya terapung antara suka dan tidak serta rindu dan benci.
Ben tak sengaja melihat seorang cowok yang tengah memungut piring kotor di meja paling depan didekat pintu masuk. "El, sebentar ya." Ia bangkit lalu meninggalkan wanita itu.
Elena terkejut ketika Ben memanggilnya dengan sebutan 'EL' dimana panggilan itu adalah panggilan kesayangan Ben untuk dirinya sewaktu mereka masih bersama. Elena menoleh ke belakang dan memperhatikan Ben mendekati seorang cowok.
Harusnya kamu jangan panggil aku dengan sebutan itu, ucapnya pelan.
Ben mendekati cowok muda yang masih tampak bocah baginya. "Dewa." Panggilnya.
Cowok dengan seragam biru tua itu menoleh, "Mas." Sapanya. "Baru selesai makan, pak?" Tanyanya. Piring kotor itu masih dipungutnya.
"Kamu belum pulang?" Tanya Ben sambil melihat jam tangannya.
"Ben aku duluan ya." Elena muncul dan pamit dengan pria itu. Ben mengangguk.
Setelah Elena pergi, Dewa bertanya, "Pacar barunya ya, Mas?" Tanya Dewa ramah. Mereka tampak akrab.
"Baru?" Tanya Ben. "Memangnya kapan saya pernah bawa pacar ke sini."
"Saya memang gak tahu, Mas. Makanya saya tanya. Disini banyak telinga dan mata berkeliaran, saya bisa tahu dari siapa aja." Ucapnya penuh candaan.
"Kalau gitu kamu tahu dong tadi itu siapa?" Gertak Ben.
Cowok itu menggelengkan kepalanya. "Siapa Mas?" Tanyanya memastikan.
Ben tidak menjawab pertanyaan itu. "Kamu gak pulang? Udah jam sepuluh lewat. Kamu besok ada sekolah, kan?" Tanya Ben perhatian. Ia kenal cowok didepannya ini.
"Habis cuci yang ini saya pulang, Mas." Ujarnya.
"Ya udah. Hati-hati ya pulang. Saya duluan." Ia menepuk bahu Dewa kemudian lergi meninggalkan restoran itu.
***
Ben keluar dari lift yang mengantarkannya menuju lantai 25. Saat berjalan menuju kamarnya, ia melihat Elena duduk di sofa yang terdapat di depan kamarnya.
Elena bediri begitu melihat Ben berjalan ke kamarnya.
"Kamar kamu disini?" Tanya Ben. Ia menunjuk kamar 2502.
Elena mendekat dan langsung memeluk Ben erat. Wajahnya ia tenggelamkam ke bahu lebar pria itu.
Ben merangkul Elena erat dan membiarkan dirinya dipeluk oleh wanita itu. Beberapa saat mereka masih ditengah koridor itu dan berpelukan.
"Kamu kenapa?" Tanya Ben lembut. Tangannya mengelus kepala bagian belakang Elena. Wangi rambut wanita itu masih sama.
Elena melepaskan pelukannya. "Aku rindu sama kamu." Ia mengakui.
Ben memegang bahu wanita itu. Lidahnya sudah hendak mengatakan sesuatu namum kalah cepat dengan gerak bibir Elena yang menepel pada bibirnya.
Wanita itu mengecup perlahan hingga mengulum bibir perkasa itu. Ben merasa gejolak emosinya membara. Ia membalas ciuman Elena. Beberapa detik mereka saling membalas ciuman yang semakin panas. Elena sudah meraba punggung Ben dan memberikan sentuhan seksinya. Sedangkan napas Ben sudah tidak karuan menandakan ia harus mengontrol dirinya jika tidak ingin membuat kesalahan.
Ben melepaskan pautan bibirnya pada Elena. Ia mundur beberapa langkah dan menatap wanita didepannya.
Elena merapikan bercak dibibirnya menggunakan telepak tangannya. Ia menunduk sambil merapikan rambutnya. "Bukan cuma aku yang rindu, bener kan Ben?" Ia meminta persetujuan.
Ben tidak menjawab. Ia berjalan masuk ke dalam kamarnya. Ia menutup pintu tanpa menoleh sedikitpun.
Elena masih berdiri ditempatnya dan menatap daun pintu kamar 2501. "Harusnya kamu bisa lawan perasaan aku tadi." Ucapnya pelan. Ia berbalik dan menuju lift.
Ben membuka bajunya dan langsung menuju kamar mandi. Ia berdiri dibawah shower yang mengalir. Ia memikirkan apa yang baru saja terjadi padanya. Kenapa ia tidak bisa melawan pikirannya tadi pada Elena ketika tubuhnya mampu bertahan.
***
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!