Elena tengah duduk didalam taksi yang melaju dijalan tol dan akan mengantarkannya menuju Hotel Malpis. Hotel yang akan menjadi rumahnya selama dua hari kedepan sesuai perkiraannya.
Pandangannya terus terarah ke luar jendela. Lompatan masa lalunya bermain disana dan membuatnya belum siap untuk bertemu dengan orang yang seharusnya ia hindari karena kesalahannya.
Elena menghembuskan napas frustasinya. Ia ingin mengambil permen didalam tasnya namun matanya malah melihat undangan bewarna putih yang tersampul plastik itu. Tertulis nama mempelai Siska dan Raki. Undangan ini hanya tamengnya untuk bisa ke Jakarta setelah pergulatan emosinya bermain tadi malam. Lebih tepatnya setelah pikirannya dihantui oleh kalimat Agusman yang menemuinya kemarin siang.
---------------------------------------------------------------------------------
KEMARIN SIANG
Hembusan angin sepoi-sepoi mengalun indah menerpa kaum penikmat alam. Suara deru air yang menggulung disambut dengan teriakan nikmat pecinta surfing. Bahkan matahari yang berada ditengah tak bisa mengubah cantiknya pemandangan jajaran para turis yang berjemur disana.
Agusman sedang duduk manis bersandar di sofa empuknya dengan air soda favoritnya. Ia didampingi oleh orang kepercayaannya yang duduk tak jauh di belakangnya. Ia menghadap pantai yang masih ramai pengunjung walaupun langit mulai menggelap.
"Maaf pak sudah lama menunggu." Ucap suara lembut seorang wanita.
Agusman menoleh dan hatinya gembira ketika orang yang ditunggunya sudah tiba, "Oh tidak apa-apa. Mari duduk dulu." Ajaknya. Ia meletakkan gelas minuman sodanya dan menghadap wanita itu. "Kamu apa kabar Elena?" Tanyanya.
"Seperti biasa, pak." Jawab Elena penuh senyum. Ia mengenakan baju floral panjang yang sedikit longgar dengan tas kecil yang di gantungnya di samping bahu kanan. Ia duduk menghadap Agusman, salah satu orang yang dianggapnya memiliki koneksi besar di Bali.
"Kamu mau pesan minum atau makan dulu?" Tanya Agusman beramah-tamah. Ia memanggil seorang pelayan.
Belum sempat Elena menjawab, Agusman sudah memesankannya minuman pada pelayan yang baru saja tiba dan membawa buku menu.
"Maaf, pak. Kenapa anda mau bertemu dengan saya?" Tanya Elena memulai percakapan. Saat dirinya menerima telepon dari pria ini sebulan yang lalu, ia merasa ada yang tidak beres. Pasalnya, sebulan yang lalu adalah masa sulit bagi Elena dan ia sudah mengganti semua nomor teleponnya. Ia bahkan pindah ke rumah kontrakan di tengah desa di Ubud. Tapi bagaimana bisa pria ini menemukan nomornya dan menghubunginya hanya untuk mengajaknya bertemu hari ini.
Agusman tidak langsung menjawab pertanyaan Elena. Ia memperhatikan wajah wanita muda itu dengan teliti. Tampak luka kecil di atas bibirnya yang ditutupi oleh bedak agar tersamarkan. Namun mata Agusman yang sangat teliti bisa melihatnya. Sedikit banyak Agusman tahu apa saja yang sudah menimpa Elena belakangan ini melalui orang kepercayaannya. Tapi bukan itu tujuannya bertemu hari ini. "Kamu masih menggeluti furniture?" Tanya Agusman dengan tatapan lembut.
Elena diam sesaat. Segala yang berhubungan dengan furniture ataupun interior adalah hidupnya. Dengan itu ia bisa membiayai dirinya dengan kemewahan selama delapan tahun terakhir. "Masih, pak. Ada apa sebenarnya?" Elena tampak tak sabar.
Agusman tersenyum kecil, "Saya berencana terjun ke dunia furniture. Tapi skalanya masih kecil. Sampai hari ini saya hanya mengenal satu orang yang berpengalaman di bidang ini yaitu kamu."
Elena tidak tersenyum ataupun tertawa, "Anda bercanda. Bagaimana orang seperti anda yang sudah lama terjun ke bisnis ini hanya mengenal saya di bidang furniture." Ucapnya.
Agusman tertawa kecil mendengar jawaban Elena. "Saya mau menawarkan kamu menjadi penanggung jawab sepenuhnya dengan galeri yang akan saya buka nantinya. Saya ingin semua itu lahir dari tangan kamu."
Elena tampak membusungkan dadanya karena kaget sekaligus gembira. Setelah hampir dua bulan ia menjual galeri pribadinya di Nusa Dua, sekarang ia bisa mengelolanya lagi walaupun bukan milik pribadinya. Sedangkan sebulan belakangan, dirinya hanya berdiam diri dirumah dan menerima pesanan dalam ukuran kecil yang masih bisa dikerjakannya sendiri dengan alat miliknya yang seadanya.
"Kamu tertarik?" Agusman mempertanyakan kesiapan Elena.
"Kenapa harus saya?" Elena tidak langsung menerimanya. Ia merasa ada yang tidak beres. Pertemuan hari ini sudah dipersiapkan sejak sebulan yang lalu dan dirinya yang ditawari untuk mengelola galeri. Bagi Elena semuanya bukan sebuah kebetulan.
"Karena saya merasa kamu cocok dengan pekerjaan ini." Agusman sedikit melembut, "Maaf jika saya terlalu tahu soal kehidupan kamu tapi saya memang tahu apa yang kamu sudah alami selama tiga bulan terakhir ini. Kamu menjual galerimu yang sudah kamu bangun sejak dua tahun lalu. Siapa yang tidak suka dengan isi galerimu. Pembelimu yang merupakan kalangan elit, mereka rela membayarmu hingga puluhan juta hanya untuk bisa memiliki design furniture yang terbuat dari tangan mungilmu itu." Agusman diam sesaat. "Anggap saja saya memberimu alasan yang tepat untuk bisa bertemu dengan Benjamin." Pungkas Agusman.
Elena menganga. Ia terkejut. "Maksud anda?"
Agusman berdehem sesaat melonggarkan tenggorokannya, "Galeri ini akan saya buka di Hotel Malpis."
Elena kaku. Ia menghela napas beratnya. Tubuhnya ia hempas ke badan sofa itu. Tatapannya lurus ke arah Agusman. Apa yang menjadi kecurigaannya akhirnya terbukti. Agusman bukan sengaja menghubunginya karena sebuah galeri. Tapi ia memang sudah merencanakannya.
"Apa yang anda rencanakan sebenarnya, pak?" Elena mempertanyakan hal itu dengan jelas dan seksama. Tiba-tiba ia seperti berada di posisi yang salah.
"Saya tidak merencanakan apapun. Rencana galeri ini sudah saya persiapkan sejak setahun lalu, namun setelah saya memilih Hotel Malpis sebagai tempat yang terbaik untuk memulainya, saya langsung teringat akan kemampuanmu dalam bidang ini." Agusman memperhatikan raut wajah Elena yang termenung. "Bekerja sama dengan orang yang kita kenal jauh lebih mudah daripada dengan orang baru." Agusman diam sesaat. "Apalagi kalau orang itu pernah menjadi bagian dari hidupmu." Bebernya.
"Maaf, pak." Elena mengambil tasnya dan bersiap pergi. "Saya yakin tanpa saya ceritakan, anda pasti sudah mengetahui alasan saya dan ben bercerai saat itu. Saya yang menghancurkan hidup ben dan sekarang saya harus kembali ke sana dan bertemu dengan ben setiap hari? Saya tidak mau, pak." Elena bangkit dari sofa itu.
Agusman tidak ikut berdiri dan ia hanya menandangi Elena dari sofanya. "Apa kamu tahu berita soal ben selama ini?"
Elena menoleh ke arah Agusman. Ia ingin mendengarkannya. Semenjak dua tahun perpisahan mereka, Elena memang tidak pernah mendengar atau mencari tahu soal ben karena ia merasa tidak pantas dan tidak berhak tahu.
"Kemarin saya baru bertemu dengan ben di hotelnya. Dan dia masih sendiri. Lebih tepatnya semenjak kalian bercerai." Jelas Agusman. "Dia masih memikirkan kamu. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kalau kalian bertemu kembali."
Elena menatap Agusman lekat. Ia menggeleng pelan kemudian pergi dari tempat itu.
"Kamu juga tidak bisa kembali ke Sempari lagi." Ucap Agusman tajam.
Langkah Elena terhenti. Ia kesal karena pria tua itu terlalu tahu banyak soal dirinya. Sempari adalah sebuah galeri furniture terbesar dan terkenal di Bali. Dan dirinya sudah tiga tahun bekerja disana sebagai Furniture Designer.
Beberapa tahun lalu saat Elena baru lulus kuliah dari Amerika, ia memutuskan untuk tinggal di Bali dan melamar di Sempari seperti keinginannya. Setahun berjalan, Elena jatuh cinta pada anak pemilik galeri itu yaitu Roy. Galeri itu memang hendak diserahkan pada Roy namun cowok ini memilih hidup bebas dengan menjadi seniman tato. Dan Elena setia menemani. Tiga tahun hubungan mereka, akhirnya Elena putus dari Roy karena pria itu selalu memukulnya dan bermain kasar padanya.
Elena berusaha bertahan karena rasa sayangnya pada Roy. Ia mencintai pria itu sebagai Roy sejak awal bukan karena anak pemilik Galeri terkenal. Ia mencintai Roy apa adanya. Namun tingkah laku Roy semakin diluar kendali hingga membuat wajahnya lebam dibeberapa tempat.
Akhirnya Elena memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka dan meninggalkan Roy begitu saja. Ia juga menulis surat pengunduran dirinya di Sempari dengan berat hati dan memutuskan pindah ke Jakarta hingga dipertemukan dengan Ben.
"Kalau kamu ke Jakarta, kamu bisa melepaskan diri dari Roy." Celetuk Agusman. "Roy tidak akan bisa memukulmu lagi." Tambahnya.
Elena meraba luka kecil di bibirnya. Luka itu ia dapat beberapa hari lalu saat Roy datang ke rumahnya dan mengajaknya pulang, namun Elena menolak hingga membuat Roy harus menamparnya.
"Pikirkan baik-baik, Elena. Saya akan menunggu." Seru Agusman sekali lagi. Elena menghiraukannya dan pergi dari tempat itu.
Orang kepercayaan Agusman mendekat, "Apa perlu saya kejar, bos?" Tanyanya dalam keadaan siaga.
"Tidak perlu." Agusman mengangkat tangan kanannya. "Beri dia waktu untuk mengingat kenangan indahnya dulu. Baru kita datang lagi." Ucapnya.
***
TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!