Seperti yang Dania katakan, kabar tentang gadis yang di permalukan Sebastian menyebar begitu cepat. Rumah sakit berlantai tiga puluh itu kini di ramaikan dengan desas-desus gosip murahan itu.
Sebaik apapun sebuah instansi atau perusahaan tetap tidak akan bisa menjaga lidah para pencari dan penebar gosip. Itu sudah hukum alam yang tidak bisa di rubah. Selagi gosip itu tidak mempengaruhi reputasi rumah sakit dan keluarga, Dania tidak berniat menghentikan orang-orang yang bergosip itu.
****
"Apa yang mereka lakukan hari ini?" tanya Sebastian pada asistennya.
"Nyonya dan Tuan muda pergi ketoko buku untuk membeli perlengkapan sekolah Tuan muda," jawab Smith memberi laporan. Dia cukup tau siapa yang dimaksud oleh Bosnya
"Tapi--." Smith ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Kau tau, Aku tidak suka terhadap hal yang bertele-tele," ucap Sebastian yang masih sibuk menandatangani berkas.
"Nyonya tidak menggunakan kartu yang anda berikan. Nyonya masih menggunakan kartu pribadinya." kalimat Smith membuat tangan Sebastian berhenti dan meletakkan bolpoinnya. Smith tau bahwa apa yang dia ucapkan pasti akan membuat Bosnya tidak suka.
"Kau tidak memberikan kartu itu?" tanya Sebastian tenang. Kini ia melipat kedua tangannya dan menyenderkan tubuhnya di kursi. Namun ketenangan Sebastian adalah ancaman bagi lawan bicaranya.
"Mana saya berani Bos. Nyonya mengabaikan Saya saat Saya memberikan kartu itu padanya. jadi Saya menitipkannya pada Rei, tapi Nyonya juga tidak mau meenerimanya saat Rei memberikan kartu itu.
"Blokir semua kartu pribadi miliknya, dan juga kartu pria itu." Sebastian pergi masuk ke dalam ruang istrirahatnya setelah memberi perintah kepada Smith.
"Baik Bos," ucap Smith sambil membungkuk sopan. Lalu ia keluar dari ruangan Sebastian untuk melaksanakan tugasnya.
'Sudah ku duga jika berurusan dengan mereka berdua sungguh merepotkan, bahkan untuk hal sepele seperti ini,' gerutunya dalam hati.
***
Di dalam kamar istirahatnya, Sebastian terbaring dalam kegelapan. Wajah arogant dan aura dinginnya lenyap entah kemana, saat seorang diri seperti inilah Sebastian bisa menanggalkan semua topeng yang ia gunakan selama ini.
Dengan mata terpejam ia mencoba mengingat semua kejadian yang menimpa dirinya, entah bagaimana semua ini bermula, tapi yang jelas saat ini hidupnya tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.
Masih terekam jelas di benaknya ketika dirinya mengatakan pada almarhum, jika Ia tidak akan bisa memberikan hatinya kepada Annaya selama hidupnya, meski Ia akan menikahi wanita itu.
Dengan keyakinannya Ia berkata bahwa wanita itu tidak akan bisa mendapatkan tempat di hatinya, karena ia sudah tidak ingin melibatkan siapapun dalam hidupnya.
Dan dengan senyumannya pria itu menjawab bahwa wanitanya tidak butuh semua itu, karena ia percaya bahwa hati si wanita itupun tidak akan bisa menggantikan posisinya dengan pria lain, meski itu Sebastian sekalipun.
Tapi apa yang di rasakan Sebastian sekarang justru berbanding terbalik dengan apa yang Ia ucapkan beberapa bulan lalu dengan kepercayaan diri. Dan ada rasa tidak terima yang kini Ia rasakan saat mengingat ucapan pria itu.
Sebastian bukan remaja yang tidak mengerti terhadap apa yang Ia rasakan. Serta Dia juga bukan pria naif yang tidak pernah merasakan apa itu rasanya jatuh cinta, tapi saat ini Ia merasa jika apa yang Ia rasakan terhadap Anna adalah rasa yang salah.
Sebastian meraba dada kirinya dan merasakan detak jantung yang berpacu lebih cepat kala Ia berhadapan dengan Anna atau bahkan hanya mengingatnya saja. Sebastian tidak suka rasa ini, karena rasa yang seperti ini tidak boleh ada di antara dirinya dan Anna.
Terlebih lagi Ia tau bagaimana Anna begitu membencinya, wanita itu menganggap Dia lah pembunuh dan perampas kebahagiaannya, tatapan terluka dan benci yang wanita itu berikan harusnya menjadi pengingat untuknya, agar bisa menghilangkan rasa yang sulit untuk dia tepis.
"Tolong jangan beri aku rasa ini," lirihnya dengan jantung yang berdetak kencang, membuat Sebastian menahan nyeri hingga tertidur.
***
"Mom, aku tidak suka dengan walpaper kamar ini," ucap Brayn saat sudah berada di kamarnya setelah pulang belanja.
"Kenapa?" tanya Anna sambil melepaskan pakaian Brayn.
"Terlalu berwarna," jawabnya. Brayn merasa kamarnya seperti tempat bermain, dan dirinya tidak suka.
"Anak seusiamu biasanya suka dengan warna terang seperti ini, akan membuat semangat bermain dan belajar." Anna rasa tidak ada yang salah dengan warna yang menurutnya sangat di sukai anak-anak. Apalagi dengan gambar-gambar hero yang melengkapi kamar ini.
"Terlalu ramai, membuat mataku sakit." Anna akhirnya menyadari jika Brayn adalah anak yang suka terhadap apa yang biasanya di sukai oleh orang dewasa. Bukan karena Daren yang membiasakannya.
"Kalau begitu, jika ada kesempatan kita akan mengubahnya sesuai keinginanmu," ucap Anna lembut. Kini Brayn sudah terlihat segar dengan pakaian rumah yang Ia kenakan.
"Terima kasih Mom," ucap Brayn sambil mencium pipi ibunya. Baginya Anna adalah ibu terbaik di Dunia, hatinya selalu bahagia jika berada di dekat Anna, apalagi ibunya hanya memberikan senyum untuknya.
"Sama-sama. Sekarang istirahatlah," ucap Anna sambil membaringkan tubuh kecil Brayn di kasur.
"I love you Mom," ucap Brayn setelah menciumi wajah Anna, ia memejamkan matanya.
"Too," bisik Anna setelah itu ia pun membenahi selimut Brayn dan meninggalkan anak itu yang sudah tidur dengan senyum menghiasi wajahnya.
****
Anna pergi menuju kamarnya dan mengeluarkan ponsel yang ada di dalam tasnya. Ia mengabaikan semua pesan yang masuk atau panggilan yang pasti berasal dari keluarganya. Saat ini Anna tidak berniat menghubungi atau membalas pesan mereka. Anna hanya belum siap untuk membuka komunikasi lagi dengan mereka setelah apa yang terjadi.
Anna membuka mesin pencarian dan mengetikkan kata psikologis anak yang suka warna gelap, ia ingin memastikan kenapa Brayn suka dengan hal-hal yang biasanya di jauhi oleh anak seusianya.
Anna bernafas lega karena tidak ada hal serius yang di alami Brayn, anak yang suka warna gelap biasasnya anak yang memiliki kepribadian yang misterius dan memiliki wajah yang rupawan, Anna tersenyum membaca artikel itu karena isi artikel itu sesuai dengan putranya.
Tapi Anna juga harus lebih serius memantau perkembangan Brayn mulai saat ini, karena itulah tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, di tambah Brayn tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu dan ayah, anak itu butuh perhatian lebih.
Jika mengingat ayah dari putranya itu, hati Anna menjadi sakit. Selain kehadiran Brayn tidak ada yang Anna syukuri dari pernikahan ini, apalagi tentang Sebastian yang selamanya tidak akan pernah membuatnya memaafkan pria itu.
Banyak orang yang memuja dan mengagumi sosok Sebastian di luar sana dan mungkin rela menjadi wanita simpanannya, tapi di mata Anna Sebastian tidak lebih dari seorang pembunuh yang merampas semua kebahagiaan tanpa menyisakan sedikitpun untuknya menjalani hidup.