Chereads / Annaya & Takdirnya / Chapter 44 - Memilih Membunuh Hati Untuk Anggota Keluarganya

Chapter 44 - Memilih Membunuh Hati Untuk Anggota Keluarganya

"Apa, Anda menyinggungnya?" tanya seorang guru yang masuk keruang kepala sekolah itu.

"Saya bertanya tentang nama belakang putranya, dan Dia tersinggung," jawab wanita itu sambil mengusap keringat di dahinya. Aura tidak bersahabat yang Anna berikan membuatnya tidak nyaman.

"Tapi Saya rasa itu bukanlah sesuatu yang besar, bukankah wajar jika pihak sekolah untuk tau darimana keluarga siswa berasal?" tanya guru wanita muda itu.

"Ya, tapi itu bukan syarat mutlak. Para orangtua memiliki hak untuk tidak mencantumkan." Wanita itu menyesali tindakan bodohnya. karena rasa penasaran ia menyinggung seorang wanita yang mungkin berasal dari keluarga yang sangat berpengaruh di kota ini.

***

"Anda baik-baik saja nyonya?" tanya Rei saat membukakan pintu mobil untuk Anna.

"Hmm." Anna hanya menggumam sebagai jawaban. Ia memejamkan matanya dan memikirkan apa yang di tanyakan oleh kepala sekolah tadi. Ia yang meminta Ayah mertuanya untuk tidak mencantumkan nama belakang Brayn, karena ia memiliki alasan melakukan hal itu.

"Apa kamu ada bertemu dengan Smith?" tanya Anna yang membuat Rei kaget.

"Tidak nyonya, sepertinya Dia masih ada dirumah sakit bersama Bos," jawab Rei sopan.

"Apa ada yang Nyonya butuhkan? Saya akan menghubunginya," ucap Rei sambil tetap fokus pada kemudinya. Dari kaca spion ia dapat melihat jika Nyonyanya sedang memikirkan sesuatu.

"Tidak," jawab Anna singkat. Lalu ia memandang jalanan dari kaca jendela dengan pikiran yang menerawang jauh.

Sambil menunggu waktu pulang sekolah Brayn. Anna meminta Rei mengantarnya ke toko buku yang berada di pinggiran kota, Anna butuh waktu untuk menyendiri dan toko buku adalah solusinya.

***

Sementara itu di kota D kedua keluarga mash dalam suasana berduka, tidak ada lagi tawa seperti hari-hari yang mereka lewati sebelum duka dan musibah menimpa keluarga mereka.

Mereka bukan meratapi apa yang terjadi, tapi kehilangan orang yang begitu berharga adalah cobaan terbesar bagi siapapun, tidak terkecuali.

Secara tampilan mereka tampak kuat, tapi siapa tau jika sedang seorang diri mereka sering menangis untuk menumpahkan semua kesedihan akibat kehilangan.

Bukan hanya kehilangan seorang saja, tapi mereka juga kehilangan dua orang, sebab orang tersebut memilih membunuh hatinya untuk anggota keluarganya, tentu bisa di bayangkan bagaimana perasaan mereka semua.

"Fan, apa Anna pernah menghubungimu?" tanya Maira pada putrinya. Dan Fania hanya menggeleng lemah.

"Dia benar-benar menjauhi kita," lirih Maira.

Maira yang diam melamun karena memikirkan menantunya itu, membuat anggota keluarga yang lain hanya bisa mendesah lelah, meskipun Maira sering bertukar kabar dengan Louisa dan Lusi, tapi tetap saja berbeda jika Anna sendiri yang menghubunginya.

"Bagaimana dengan Alya? Apa Anna pernah menghubunginya atau membalas pesannya?" tanya Maira lagi. Karena yang ia tau Anna dan Alya memiliki kedekatan secara batin yang kuat.

"Tidak juga ma, bahkan Alya hampir frustasi karena selalu berharap Anna membalas pesannya." Fania teringat bagiamana Alya yang selalu merecokinya karena Anna yang mengabaikan semua pesan dan panggilannya.

"Anna sedang beradaptasi pada lingkungan dan hidup barunya, bukankah Kita sepakat untuk memberinya waktu?" ucap Fitra pada seluruh anggota keluarganya terutama pada ibunya, "jangan meminta lebih banyak lagi dari Anna, sekarang adalah saatnya kita yang mengikuti keinginannya," lanjutnya lagi.

Fitra berusaha menjadi penguat untuk keluarga yang saat ini sedang berada di titik kerapuhan, ia paham apa yang ibu dan adiknya rasakan, karena jujur di lubuk hatinya ia juga merasakan hal yang sama, dan mungkin lebih dari yang orang pikirkan.

Ia juga menyadari apa yang terjadi pada Anna tidak lepas dari peran mereka semua, dan sekarang mereka harus menanggung semua kekecewaan yang Anna rasakan terhadap mereka. Sudah pernah ia bicarakan ini pada Ammar bahwa jalan mereka tidaklah mudah dan itu benar terjadi.

"Apa yang Fitra ucapkan benar adanya, sekarang yang bisa kita lakukan hanya berdo'oa agar Anna bisa cepat kembali menerima Kita," ucap bijak Tuan Zakaria.

"Yah. Ayah benar, kalau begitu Fania berangkat keja dulu ya." Setelah menyelesaikan sarapannya ia pun pamit kepada seluruh anggota keluarganya. Fania harus terlihat kuat di depan ibunya untuk tidak menambah beban sang ibu.

"Kakak antar? Kebetulan hari ini kita searah," ucap Fitra menatap adik perempuan kesayangannya.

"Aku pamit," ucapnya pada kedua orangtuanya, ia memeluk dan mencium lama kening ibunya. Ketiganya dapat merasakan jika Fitra sedikit merubah kepribadiannya yang dingin mejadi sedikit hangat, ia ingin mengganti semua kebiasan yan Fateh lakukan dirumah itu meskipun Fitra tidak bisa seceria almarhum.

***

"Kakak tidak punya urusan yang searah denganku kan? Kakak hanya takut kalau Aku melamun saat menyetir," ucap Fania yang tau maksud kakaknya.

"Terlihat jelas ya," ucapnya dengan sedikit senyuman.

"Kak. Jangan memaksakan diri, Fania tau Kakak juga memiliki rasa sakit sendiri, jangan terlalu mengkhwatirkan Aku, Aku bisa menjaga diri," ucap Fania sambil menatap yakin Fitra yang sedang menyetir.

"Menikahlah, dengan begitu Kakak tidak akan khawatir lagi," gurau Fitra menanggapi ucapan serius Fania.

"Kakak!" Seru Fania pelan dengan wajah kesal.

"Jika bukan Kakak yang mengkhawatirkanmu, lalu siapa? Selama ini Kakak tidak memperhatikanmu dengan baik, karena Kakak pikir Fateh telah melakukan itu semua, tapi nyatanya sekarang Kakak kewalahan tanpanya." Untuk pertama kali Fania mendengar kalimat panjang yang keluar dari bibirnya.

"Kakak memperhatikan Kami dengan cara Kakak, jangan terlalu keras pada diri sendiri Kak." Fania tau kakaknya ingin menebus semua waktu yang tidak pernah mereka habiskan bersama sedari kecil, karena Fitra yang memang suka kesendirian.

"Kamu sudah sangat dewasa Fab," timpal Fitra. Lalu hanya hening yang menemani mereka sepanjang perjalanan.

"Aku sayang kakak." Fania keluar mobil setelah mencium sayang pipi Fitra.

"Tidak terasa Kamu sudah sangat dewsa Fan, tapi bagiku Kamu tetaplah Fani kecilku, begitupun Fateh," gumam Fitra saat melihat Fania yang sudah berjalan memasuki lobi hotel tempatnya bekerja. Fitra kembali melajukan mobilnya keperusahaan miliknya yang berbeda arah dari tempat kerja sang adik.

Mulai sekarang ia bertekad untuk menebus semua waktu yang pernah terlewatkan. Ia tumbuh di dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai agama dan keharmonisan yang begitu terasa. Pribadinya yang pendiamlah yang membuatnya terasa jauh secara fisik dengan adik-adiknya.

Tapi secara batin baik Fania atau almarhum Fateh sangat terikat padanya, apalagi Fateh yang selalu merecokinya dengan hal-hal sepele untuk menarik perhatiannya, membuatnya sangat kehilangan adik tersayangnya itu. Namun begitu ia harus tetap tegar untuk seluruh anggota keluarganya.

Sekuat apa seorang pria, Dia pasti memiliki titik terendah dalam hidupnya, sebab Dja juga manusia biasa yang di beri hati oleh Tuhan untuk bisa merasakan apa itu kesedihan dan kehilangan. Fitra terlihat tegar, tapi yang orang tidak tau hatinya hancur, Dia merasa gagal menjadi seorang Kakak yang bisa di andalkan.