Malam ini Anna tidak tidur di kamar Sebastian, ia memilih menyendiri di kamar yang di tempatinya ketika pertama kali ke mansion ini. Anna mengunci rapat pintu itu dan berharap pria itu tidak menemukannya di sana.
Anna kembali menangis dalam kegelapan, dirinya duduk di balkon dengan memeluk kedua kakinya serta membiarkan angin malam yang begitu dingin menusuk kulit putihnya.
Anna merutuki dirinya sendiri karena tidak berdaya setiap kali pria itu menyentuhnya, pria itu selalu saja bertindak sesuka hati tanpa memperdulikan perasaannya.
"Fateh! Maaf," lirihnya. Ia mengingat bagaimana besarnya cinta Fateh padanya, tapi ia malah mengecewakan almarhum dengan membiarkan pria lain menyentuhnya.
Kata-kata Sebastian terus terngiang di telinga, berulang kali pria itu selalu mengingatkan tentang statusnya, dan sekarang ia membawa Brayn di tengah-tengah mereka.
Benar kata pria itu, Brayn begitu memuja dan menyayanginya. Dia tidak bisa egois dengan mengenyampingkan perasaan anak itu, sebab Dia lah yang menarik tangan mungil itu untuk ikut bersamanya.
Anna dilema dengan perasaannya sendiri.
***
Pagi ini kecanggungan dimeja makan semakin terasa, baik Anna atau Sebastian keduanya memberikan aura yang tidak bersahabat.
"Pagi Mom," sapa Brayn begitu melihat ibunya yang mendekati meja makan. Anna terlihat datang dari arah dapur dengan membawa kotak bekal milik Brayn.
"Pagi," balas Anna sambil mengecup pipi Brayn lalu ikut duduk di sampingnya. Seperti biasa Brayn juga memberikan ciuman selamat pagi kepada Anna, mereka tidak menyadari jika ada yang kesal karena tindakan mereka.
Smith menyadari jika Bosnya saat ini berada dalam suasana hati yang sedang buruk. 'Sepertinya pagi ini cerahnya tidak akan lama' batinnya.
"Mom, kenapa matamu bengkak?" tanya Brayn khawatir. Pagi ini ibunya tidak membantunya memakai seragam. Alhasil Rei lah yang membantunya.
"Mommy nonton film sedih, jadi menangis," jawab Anna dengan alasan konyolnya. Lagipula ia tidak akan mengatakan yang sebenarnya.
"Oh," jawab Brayn yang percaya begitu saja. Anna mengelus sayang kepala putranya itu.
Brayn melirik kearah Sebastian, ia ingin sekali menyapa ayahnya tapi hatinya takut. Pagi ini ia merasa senang karena melihat Papanya yang ada dimeja makan.
Sebastian menyadari sedari tadi Brayn melihat kearahnya, dengan gerakan tenang Sebastian meletakkan koran di atas meja dan membalas tatapan putranya dengan tiba-tiba. Ia mengunci tatapan Brayn sehingga Brayn menjadi kikuk karena tertangkap basah.
"Se-lla-maa-tt ppa--ggi Pppa--ppa," sapanya dengan susah payah.
"Kamu gagu?" tanya Sebastian tenang. Ingin rasanya Smith memukul keras kepala Bosnya ini. Apa begitu caranya bicara pada anak umur lima tahun pikirnya kesal.
Bukan hanya Smith, tapi para pelayan pun ikut kesal karena ucapan Sebastian, bagaimana bisa bicara dengan anaknya sendiri seperti itu. Tapi semua kekesalan itu hanya bisa mereka simpan di dalam hati. Mana mungkin mereka berani mengutarakannya.
"Tidak Pa," jawab Brayn dengan senyum.
Mereka yang mendengar jawaban dan nada suaranya menjadi heran. Anak ini bukannya merasa terintimidasi malah terdengar senang.
"Bagus," jawab Sebastian. Meski nada bicaranya masih kaku tapi Brayn bahagia. Ini hari pertamanya bertegur sapa dengan sang Ayah yang di sambut hangat.
Anna yang juga menyaksikan itu tidak kalah heran dengan perubahan sikap Sebastian, tapi ia mengenyampingkan itu semua karena melihat Brayn yag begitu bersemangat. Senyum cerahnya mengalahkan sinar mentari pagi ini.
Ketiga anggota keluarga itu menikmati sarapan dalam diam, Anna memperhatikan dengan baik Brayn yang makan denan tenang. Semangat anak ini membuat persaaannya lebih baik sekarang, membantu Anna melupakan apa yang terjadi semalam.
Langkah Sebastian terhenti saat ia mendengar langkah kecil putranya mengikuti dari belakang. Dan kali ini Brayn dengan berani melangkah maju untuk berhadapan dengan ayahnya.
Sebastian melihat kearah bawah, anak yang hanya setinggi lutut kini mendongak dan menatapnya dengan mengulurkan tangan kanannya, semua kembali tercengang dengan aksi balita tampan ini.
Dan tanpa di duga Sebastian meraih tangan kecil putranya, dengan senang hati Brayn menyalim serta mencium punggung tangan ayahnya. Ingin rasanya saat ini ia bersorak riang, karena ayahnya bisa menerima kehadirannya.
"Papa, tunggu sebentar ya," ucapnya setelah melepas tangan Sebastian. Dengan segera anak itu berlari kearah meja makan untuk mengambil kotak bekalnya.
"Papa, ini bekal makan siangku. Mommy yang buatkan, ini bekal sehat. Semoga Papa suka." Tangan kecil itu menyerahkan kota bekal berwarna abu kepada Sebastian. Sebastian menatap dalam mata putranya yang memiliki warna bola mata yang sama sepertinya.
Tangan besar Sebastian meraih kotak bekal itu dan menyerahkanya kepada Smith, lalu pergi dengan langkah lebarnya setelah mengusap pelan kepala kecil Brayn.
Semua yang menyaksikan itu kini tersenyum haru, mereka tidak menduga Tuan yang begitu dingin bisa bertindak hangat layaknya seorang ayah.
"Papa, jangan bekerja terlalu keras!" Seru Brayn yang masih dapat di dengar Sebastian meski ia tidak menghentikan langkahnya. Tanpa ada yang Sebastian menarik sedikit bibirnya membentuk lengkungan.
Brayn bersiul riang saat kembali kemeja makan, Anna tersenyum lembut pada putranya yang sedang berbahgia, Anna juga menatap punggung lebar Sebastian hingga hilang dari pandangannya.
"Mommy, akan buatkan omelet untukmu. Hanya itu yang bisa Mommy buat, kita tidak punya waktu banyak." Brayn mengangguk cepat lalu meminum susunya sambil menunggu Anna yang membuat bekal makan siangnya.
Sepanjang perjalan kesekolah Brayn selalu berceloteh tanpa henti pada Anna, ada saja bahan yang ia ceritakan, Anna tau inilah ekspresi bahagia Brayn. Setelah beberapa hari selalu murung karena tidak mendapati ayahnya ada dimansion.
***
Begitupun dengan Sebastian yang sepanjang perjalanan kerumah sakit tidak mengeluarkan aura yang menakutkan. Smith tau kini suasana hati Bosnya telah kembali baik. 'Sepertinya hari kembali cerah' batinnya bersorak.
Selama bekerja dirumah sakit, hari ini untuk pertama kali Sebastian kembali memegang pisau bedah. Karena penyakit yang di deritanya, ia tidak di perkenankan melakukan operasi, itu demi kebaikannya dan pasien.
Jika ada yang bertanya apa cita-citanya maka sedari kecil ia selalu ingin menjadi Dokter. Ia ingin dengan kedua tangannya bisa menyelamatkan nyawa orang lain. Karena ia tau memiliki penyakit adalah hal mimpi buruk yang menjadi nyata.
Operasi berjalan dengan lancar dengan hasil yang memuaskan, semua dokter yang menjadi teamnya pun merasa kagum akan keterampilan Sebastian mengguankan pisau bedah. Pria luar biasa ini selalu bisa membuat orang lain iri akan apa yang ada pada dirinya.
Memiliki wajah yang rupawan, bentuk tubuh yang sempurna di tunjang ekonomi di atas rata-rata, semua orang akan mengira bahwa hidupnya sempurna dan pasti di limpahi kebahagiaan. Namun pada kenyataannya, hidup Sebastian juga banyak cela yang ia tutupi dari sikapnya yang dingin kepada semua orang.
"Makan siang bersama?" tawar Daren saat keluar ruang operasi.
"Menyingkir," ucap Sebastian dingin. Selain diruang operasi, Sebastian sungguh terganggu dengan sikap sepupunya itu.