"Nyonya, bukankah wanita itu yang waktu itu penah bertemu Kita di toko buku?" tanya Rei. Dan kenapa Nyonyanya bisa ada di cafe bersama wanita itu pikirnya.
Anna tidak menjawab pertanyaan Rei, ia sibuk dengan pikirannya sendiri tentang semua kartunya yang tiba-tiba tidak bisa di gunakan.
"Sebelum menjemput Brayn, antarkan Aku ke bank." Suara dingin Anna membuat Rei mengangguk patuh.
***
Hari ini hari yang buruk untuk Anna, ia tidak habis pikir dengan apa yang di lakukan pria itu, haruskah hidupnya di setir seperti ini. Setelah pihak bank mengutarakan sebab kartunya terblokir, Anna benar-benar tidak bisa menahan diri dari emosinya.
Setelah memastikan Brayn sudah istirahat setelah pulang dari sekolahnya, Anna memutuskan membuat pie untuk putranya sebelum ia pergi ke kamar untuk beristirahat. Anna merasa butuh waktu sendiri untuk meredakan emosinya.
****
Kini Anna duduk di balkon yang ada di kamarnya sebelum pindah ke kamar pria itu, kamar ini terasa dingin dan hampa. Sama dengan apa yang ia rasakan saat ini.
Hari yang sudah mulai sore membuat Anna dapat merasakan angin yang berhembus ringan, sangat sejuk dan menenagkan. Di kelilingi pohon hijau dan bunga cantik, menjadikan mansion terlihat seperti istana dalam dongeng. Dan seharusnya Anna bisa menikmatinya.
Tok.. Tok..Tok...
"Mom, ini Aku," ucap Bryan yang mengetuk pintu kamar sang Anna.
"Sudah bangun?" tanya Anna setelah membuka pintunya. Lalu ia mengangkat Brayn dan menggendongnya.
"Hmmm, Mom, ada yang menganggu pikiranmu ya. Apa Aku nakal?" bisik Brayn di telinga Anna. Ia menggosok-gosok wajahnya di ceruk leher Anna yang wangi.
"Kenapa berpikir begitu?" tanya Anna balik. Ia membawa Brayn duduk di balkon.
"Karena sejak tadi Aku perhatikan wajah Mommy murung," lirihnya sambil menatap sayang Anna. Anna yang mendengar itu menciumi seluruh wajah Brayn dengan penuh kasih sayang.
"Brayn, kamu adalah alasan Mommy bisa menjalani hari kedepan dengan lebih baik, jadi jangan pernah berpikiran buruk tentang dirimu. Mengerti." Hati Anna kembali menghangat karena perhatian yang Brayn berikan. Anak ini bahkan bisa melihat suasana hati Anna yang sedang tidak baik.
"Lalu jika bukan karena Aku, apa karena Papa yang tidak pulang?" tanya Brayn. Mata biru gelapnya menatap Anna penasaran.
'Apa Mommy merindukan papa seperti Aku?' batinnya.
"Mommy punya sesuatu untukmu," ucap Anna mengalihkan perhatian. Anna tidak ingin memberi jawaban yang tidak sesuai fakta, tapi juga ia akan melukai putranya dengan jawaban yang sebenarnya.
"Apa itu Mom?" tanya Brayn antusias.
"Kamu akan tau nanti, namun sebelum itu ayo kita kembali ke kamarmu. Kamu harus mandi, hari sudah sore." Anna menuntun tangan Brayn yang berseru dengan riang.
Mansion ini lebih terasa hidup sejak kehadiran si Tuan muda, sebab Nyonya rumah sering terlihat di sekitar mansion dengan aktifvitas kecil bersama balita tampan itu.
Seluruh pekerja dan maid senang memperhatikan interaksi keduanya, meskipun maid yang masih berusia muda ada yang iri terhadap keberuntungan Anna yang bisa menjadi Nyonya rumah. Namun apakah Anna juga berpikir seperti itu? Tentu saja tidak.
"Wah, pie susu!" Seru Brayn saat melihat pie kesukaannya ada di atas meja. Anna dan Brayn sudah tampak lebih segar dan menarik setelah mandi.
"Mommy coba buat sendiri, tapi tidak tau apakah rasanya seenak buatan Nenek Louisa," ucap Anna. Ia membantu putranya untuk duduk di kursi.
"Akan Aku coba," kata Brayn lagi. Dengan semangat ia memakan pie buatan ibu tersayangnya, dan benar saja rasanya begitu enak.
"Pienya sangat enak dan lembut Mom," ucapnya dengan senang.
"Suka?" Anna tersenyum hangat melihat putranya yang begitu menikmati pie buatannya.
"Tentu!" Seru Brayn. Baginya pie buatan Anna lah yang terenak di Dunia.
"Kalau begitu Kamu habiskan, semua milikmu." Brayn menggeleng cepat.
"Bolehkah Aku membaginya dengan Papa? Nenek bilang Papa juga sangat suka pie susu, jadi Aku ingin berbagi dengan Papa." Anna dan kedua kepala pelayan yang setia menemani mereka berdua terharu dengan apa yang di utarakan Brayn.
"Tentu." Anna tidak heran jika ayah dan anak memiliki kesukaan yang sama, tapi apa pria itu mau menerima pemberian putranya.
"Baik kalau begitu, pienya ada sepuluh. Aku tiga, Mommy tiga, dan Papa empat." Brayn menghitung jumlah pie dan membaginya menjadi tiga bagian.
"Bagian Mommy untukmu saja, Mommy tidak suka susu," ucap Anna lembut.
"Kalau begitu bagian Mommy untuk Papa saja," jawabnya cepat.
"Kenapa begitu?" tanya Anna.
"Karena Papa lebih besar dariku, dan Papa pasti sudah lama tidak makan pie susu ini. Jadi biarkan Papa mendapat lebih banyak bagian." Ned dan Roshie yang mendengar itu, tersenyum haru. Mereka bisa merasakan betapa besar anak ini mencintai ayahnya.
"Baiklah, jika Papamu pulang berikan pie ini untuknya, sekarang nikmati pie bagianmu." Anna memindahkan pie bagian Sebastian ke wadah lain. dan Brayn menikmati pie kesukaannya dengan perasaan bahagia.
Anna berharap pria itu tidak menolak niat baik putranya. Dan harusnya memang pria itu tidak menolak. Anna memperhatikan Brayn yag menikmati pie dalam diam. Hatinya mensyukuri malaikat kecil ini di kirim Tuhan untuk menemani hari-harinya yang hampa.
Ternyata mencoba ikhlas dan legowo tidaklah semudah teorinya, butuh perjuangan seumur hidup untuk bisa menaklukan kata itu.
***
Malam menunjukkan pukul sebelas saat Anna mendengar suara mobil milik pria itu masuk gerbang dan mendekati mansion. Ia baru saja keluar dari kamar putranya setelah memastikan anak itu telah tertidur pulas.
Sepanjang malam anak itu menantikan kepulangannya hanya untuk memberikan pie susu kesukaannya, tapi apa yang terjadi, pria ittu tak kunjung datang hingga kantuk menyerang Brayn.
Dengan lembut Anna memberi pengertian tentang profesi yang di emban pria itu pada Brayn, meski Brayn mengangguk dan mengatakan ia mengerti, tapi Anna tau hati anak itu merasa sedih.
Anna keluar dari kamarnya dan menuju ruang kerja pria itu, ia merasa jika ia tidak bisa menunggu lagi, banyak hal yang ingin ia luapkan pada Sebastian. Bukan hanya tentang Brayn tapi juga tentang dirinya.
"Bisa bicara sebentar?" tanya Anna dingin. Sebastian yang hendak masuk keruang kerjanya menoleh kearah Anna dengan tatapan yang dingin.
"Apa itu penting?" tanyanya balik. Anna dapat melihat gurat lelah di wajah pria itu, tapi ia tidak perduli.
"Ya," jawab Anna tenang.
"Nyonya--."
"Pergi." Sebastian mengintrupsi Smith yang ingin mengatakan sesuatu pada Anna. Smith yang mendapat tatapan dan nada tegas Bosnya langsung pergi meninggalkan keduanya. Ia berlalu bersama Ned yang mengantarkan teh untuk tuannya itu.
"Katakan dengan cepat, lalu keluar!" Nada tegas Sebastian memecah keheningan saat mereka berdua telah bearda di dalam ruang kerjanya.