"Kepercayaan itu ibaratkan gelas kaca. Bila sudah pecah, bagaimana caramu untuk menyatuhkannya seperti sedia kala."
"Seandainya kau mengerti, mungkin aku akan akan memahami." Lelaki itu sedikit menundukan kepala, menatap semilir angin yang berhembus kencang dan menabrak dedaunan dan menyusup di sela-sela bebatuan. "Kau dan aku bagaikan air dan miyak yang tak pernah menyatuh. Jalan kita memang berbeda, namun tujuan kita tetaplah sama."
Sedetik telah berlalu setelah suara lirih itu mengusik indra pendengaranku. Hamparan kabut putih menyebar ke sepenjuruh arah, membuatku kesulitan untuk melihat parasnya.
Gemerlap cahaya bintang berpadu dengan cahaya kunang-kunang yang berterbangan di atas hamparan udara,endominasi kesunyian malam yang dingin nan kekal.
"Kerinduanku adalah suatu penantian yang tiada pasti untuk kau pijaki. Sekian lamanya aku mencari, mengapa kau pergi hanya untuk mengenang kisah lama yang telah terjadi." Lirihnya suara Akina seakan mengusik sepasang telinga, membuat mulutku terbungkam tanpa dapat untuk berkata.
Lelaki itu berjalan di tengah hamparan kabut putih kala kecanggungan kian menyelimuti hati. Ia berhenti di saat hamparan kabut putih mulai memudar bagaikan takbir mimpi di malam hari.
"Aku bukan mentari pagi yang mampu memberikan kehangatan pada dinginnya angin malam. Bukan juga germerlap cahaya bintang yang memberikan sinar terang saat kau tengah sendirian." Lelaki itu mencoba untuk meraih jemari lentikku, menatap sepasang mata dengan penuh haru. "Kutahu bahwa aku bukanlah seorang Ayah yang mampu menjaga anaknya. Bukan juga seorang Kakak yang dapat membalut luka adiknya. Namun izinkan-lah aku untuk menjadi dirinya yang pernah menjadi tahta pada singgahsananya."
Iris matanya berbinar memantulkan cahaya rembulan saat kedua insan saling berpegangan tangan.
"Aku hanyalah sebatang kara yang tak pernah tahu kemana harus melangkah. Ibuku tiada saat beliau melahirkanku. Dan Ayahku meninggal setelah insiden kecelakaan itu. Dan Kyosuke—" Aku terisak dalam deraian air mata, memeluk tubuh seorang lelaki yang bernamakan Yoshihiro Akina.
Pandangan matanya mulai berkaca-kaca, seakan ia merasakan setuhan rasa sakit akan hilangnya keluarga tercinta. "Meski aku bukanlah Kyosuke yang mampu memberi warna dalam hidupmu. Setidaknya berikan aku waktu untuk mengantikan perannya untuk menjadi teman hatimu. Aku sayang padamu."
"Aku benci Kyosuke! Aku benci pembohong besar seperti Kyosuke! Aku benci!!"
Akina mendongak, pandangan matanya menatap jauh gemerlap cahaya bintang. Semilir angin berpadu dengan butiran hujan sebening kristal, mendominasi keheningan malam yang dingin dan kekal.
"Kyosuke sengaja menutupi penyakitnya darimu bukan karena ia ingin melukai hatimu. Melainkan karena ia sayang padamu." Lelaki itu kemudian mendekap erat tubuhku saat rintik hujan mengguyur daratan. "Ada kalanya bagi kita untuk kecewa. Namun ingatlah bahwa tujuan Kyosuke hanyalah agar melihatmu tersenyum, tanpa harus memandang beban yang ada."
"Kau sembunyikan sejuta luka! Kau pergi hanya untuk melupakan kisah lama yang pernah kita alami bersama."
Aku masih terisak. Meraung sangat keras hingga memukuli dada Akina dalam dekapannya. Lelaki itu terdiam tanpa kata, hingga diriku menghentikan gerakan hanya untuk menatap parasnya.
"Aku pergi untuk kembali." Sebelah tangannya merayap dari belakang leher hingga menyentuh pipi kiriku. "Berharap agar kau mengerti bahwa kepergiannya hanyalah sebatas imajinasi dalam takbir mimpi, dan bukan untuk di ingat kembali."
Lelaki itu sedikit mengangkat daguku, membiarkan sepasang mata saling bertemu. "Aku sangat menyayangimu, dan berharap agar kau tak lagi mengingat semua masa lalumu."
Diriku kembali menyandarkan pelipis kiri pada dadanya. Merasakan hangatnya pelukan Akina hingga hujan kembali redah.
Dari balik kesunyian malam terdengarlah suara letusan yang hampir menyerupai ledakan meriam. Suatu cahaya beraneka warna melesat kencang dari balik pemukiman warga, merubah langit hitam menjadi terang di saat kembang api meletus hingga menyemburkan warna indahnya di atas angkasa.
Lelaki itu segera melepaskan pelukanku dari tubuhnya, kala ia mendongak guna melihat indahnya langit hitam yang dipenuhi oleh pancaran kembang api di atas angkasa.
"Cinta itu seperti angin. Meski kau tidak bisa melihatnya, tapi kau masih dapat untuk merasakannya," lelaki menoleh dengan senyum andalan, "Seperti halnya diriku selalu memikirkanmu. Yang akan selalu mengukir namamu dalam sanubariku."
Jantungku berdebar kencang meski mulutku masih terbungkam. Mendengarkan ucapan Akina, sama halnya seperti terbang ke atas awan untuk menatap indahnya langit yang di penuhi oleh gemerlap cahaya bintang.
Diriku tersipu malu, dan hanya dapat menahan senyum hingga memerah pipiku. Akina sempat mendesah, merasakan hawa dingin bercampur derasnya hujan yang secara sedari tadi mengguyur tubuhnya. Meski butiran air sebening kristal telah meredah, tapi ia masih dapat merasakan dinginnya hembusan angin malam yang terus menerpah tubuhnya.
"Tuan Akina," lirihku menyebut namanya, menundukan kepala hanya untuk menyembunyikan raut wajah yang kian memerah, "Sebenarnya aku ingin mendapatkan perhatian lebih darimu. Hanya saja kau tidak pernah peka untuk mengetahui perasaanku."
Alih-alih menjawab, dirinya lebih memilih untuk memasukan sepasang tangan pada saku celana yang telah basah dan berjalan sedikit lebih cepat dari biasanya.
"Ano, sebaiknya kita lekas pulang karena tidak baik bila harus menunggu datangnya fajar. Lagi pula, aku juga sudah kedinginan dan besok harus kembali mengajar."
Aku tersenyum. Diriku beransumsi bahwa ia hanya mengalihkan topik pembicaraan guna menutupi perasaan yang sama denganku. Jujur, sebenarnya aku telah jatuh hati padamu. Tuan Akina, sampai kapan kau yang akan berpura-pura untuk menjadi seorang Kakak bagiku. Di sisi lain, kau pun tengah merasakan adanya asmara pada pandangan pertama.
Jalanku sangatlah berliku untuk mengharapkan besarnya cintamu padaku. Inginku memilikimu walau itu hanya sebatas mimpi dalam anganku.
Akina mengentikan langkah. Berpaling muka hanya untuk menunjukan ekspresi wajah datarnya. "Ehem!"
Dehaman Akina seketika membuyarkan lamunanku, membuat diriku tersipu malu dan hanya dapat mengangguk untuk mengawali langkah pertamaku.
-Bersambung-
BARBIE GIRL
My Girlfriend Is Doll
Kutermenung dalam bisu, menatap jauh dirimu yang pernah singgah di dalam hatiku. Melihatmu dengan tatapan mata serta bibir yang terbungkam membisu, saat engkau melaimbaikan sebelah tanganmu padaku.
Tiada senyuman untuk diriku, hingga kau lupa bahwa akulah pelipur lara hatimu. Kau campakan aku seolah tak ingin lagi bertemu. Kau lupakan aku meski air mata ini telah menjadi saksi bisu akan adanya rasa cintaku padamu pada saat itu.
Kuberjalan dalam kebisuan malam yang mencekam, bersimpuh hanya untuk memetik rembulan demi meletakannya pada cahaya bintang yang bersinar terang. Inginku menuai rasa dan mengingat masa-masa indah bersamamu, tapi mengapa engkau membutakan sepasang mata seakan tak kita tak pernah bertemu.
Chelsea Matsuda, itulah namaku. Tiada harapan dalam sebuah arti kehidupan, karena bagiku tersenyum di balik tangisan adalah suatu bentuk harapan tanpa adanya suatu kepastian.
Engkaulah cahayaku, yang selalu memberikan sinar terang dan kehangatan pada tubuh rentahku. Namun mengapa hatimu sekeras batu hingga kau campakan aku yang selalu menyertai di setiap langkah kakimu. Mencintaimu adalah suatu kebahagiaan bagi diriku, dan aku berharap engkau tahu bahwa aku sangatlah mengagumimu hingga tutup usiaku.
Kusebut namamu dalam tabur mimpi indahku, berharap agar engkau tahu akan semua perasaan cintaku padamu. Sesaknya dadaku tak merubah takdir kehidupanku. Seandainya aku tak terluka, akankah dirimu ada untuk tetap setia... Akina, aku harap kau mengingat malam indah yang pernah kita lalui berdua.
-bersambung-