Berteman sepi hanya untuk berjalan di ambang mimpi yang tiada pasti. Berpijak pada angan, bersenandung dalam kerinduan. Inginku mengulang masa lalu yang silam, meski hanya dalam bentuk ingatan, agar kau tahu bahwa dibalik sebuah senyuman masih tersimpan sejuta luka yang tak kunjung padam.
Kakak ... sampai kapan aku yang hidup dalam bayang? Sampai kapan kau pancarkan sinar terang yang amat menyilaukan? Aku ingin pulang dalam dekapan, agar dapat merasakan hangatnya suatu pelukan pada dirimu yang sekian lamanya telah menghilang.
Sepercik cahaya terang berkilauan di tengah hamparan malam yang dingin mencekam. Memberikan kilauan sinar yang benderang saat diri ini berada di ujung keputus asaan.
"Cahaya apa itu ... mengapa terang sekali. Di manakah aku?" Diriku terus mencoba untuk menghalau cahaya itu dengan telapak tanganku.
Redupnya cahaya terang diikuti oleh munculnya suara yang menggemah kesepenjuruh arah bagian.
"Kau telah menemukan tempat untuk berteduh. Namun bukan berarti aku pergi untuk meninggalkanmu."
Aku menoleh, mencari tahu adanya sumber suara yang mampu mengusik indra pendengaran. Aku melangkah, menelusuri datangnya suara yang berluang dan terdengar menggemah kesepenjuruh arah.
"Kakak ... Kakak di mana?" Aku menghentikan langkah, berpaling muka hanya untuk menatap kehampaan yang tak kunjung sirna. "Kakak Kyosuke! Kakak di mana ...."
"Chelsea, seandainya kau mengerti akan adanya takdir dari kehidupan ini, mungkin kau tak akan beranggapan bahwa apa yang telah kau lalui hanyalah sebatas imajinasi."
Aku kembali berjalan ditengah kegelapan tanpa adanya sinar terang dari cahaya rembulan, hingga pada akhirnya aku terjatuh dan duduk bersimpuh saat suara itu menghilang.
"Kemana lagi aku yang harus mencari. Mencari tempat hangat seperti yang pernah kau janjikan untuk kupijaki." Aku menunduk. Seluruh jemari tanganku mengepal dan sempat kuhantamkan ke dasar tanah.
Saat keputus asaan itu kian menyelimuti hati, suatu sentuhan berupa jemari nampak melekat pada pipi, guna menghapus air mata yang mulai berlinang bagaikan embun di pagi hari.
"Kau permata hatiku, bidadari kecilku. Janganlah kau menangis untukku jika itu hanya akan menambah beban pada kehidupanmu."
Aku mendongak, mendapati adanya sesosok pria berjubah putih yang nampak berdiri di depanku. Ia tersenyum dan mengulurkan tangannya hanya untuk membantuku berdiri.
"Kakak Kyosuke ... Kakak ...."
Saat aku meraih telapak tangannya dengan maksud untuk bangkit. Entah mengapa seakan kedua kakiku lumpuh seketika. Diriku hanya dapat melihatnya yang kini menunjukan senyum lebarnya.
"Aku telah pergi hingga kau tak sanggup lagi untuk mencari kepastian yang telah kau nantikan selama ini." Lelaki itu perlahan menekuk lututnya di depanku dengan pandangan mata yang terpaku hanya untuk menatap parasku. "Namun sejauh apapun diriku yang meninggalkanmu, hatiku akan selalu ada untukmu."
"Kenapa kau membohongiku ... mengapa kau tak setia dengan janji manismu. Mengapa ...."
"Chelsea-ku sayang, sampai kapan kau yang tak pernah menyadari akan kuasa Tuhan ..." jemari tangannya kembali menyentuh pipiku, dengan ibu jari yang ia gesekan pada kulit hanya untuk menghapus sisa air mata. "Kau adalah kekuatanku, Chelsea. Kaulah detak jantungku yang selalu berdetak untuk mengalirkan seluruh aliran darahku. Tanpamu, siapakah diriku ...."
Aku menggelengkan kepala, seakan tak sanggup lagi menahan gejolak yang menggebuh dalam dada. Hingga suatu ketika diriku mencoba untuk menyentuh punggung tangannya yang masih terasa dingin dan hampa.
"Seandainya aku dapat mengulang waktu, aku ingin menghabiskan banyak waktu denganmu. Aku ingin melihatmu yang selalu tersenyum di hadapanku, melihatmu yang selalu memberikan kesabaran saat aku membuang ikan hasil memancingmu. Aku—"
"Aku dapat mehami semua perasaanmu padaku, Chelsea. Aku tahu bahwa diriku adalah satu-satunya harta yang kau miliki di dunia ini. Namun mengertilah bahwa semuanya telah kita lalui. Dan hadiah terbaik tanpa rupa yang selama ini dapat kuberikan padamu berupa kenangan terindah."
"Aku telah mati. Namun mengapa di reinkarnasikan kembali? Mengapa Tuhan tidak mengizinkan kita untuk bertemu kembali?"
Kyosuke menghelakan nafas dan bangkit dalam kegelisan. "Karena ada kalanya bagi manusia untuk bertemu, dan berpisah. Kita tidak bisa menentukan takdir yang sudah di kehendakinya."
Saat aku bangkit, ia tersenyum manis. Pandangan kami bertemu dalam jarak yang amat dekat, hingga aku dapat mengamati raut wajahnya lamat-lamat.
"Kakak Kyosuke ..."
"Kau tak dapat mengulang waktu untuk mengenang semua masa lalu, karena Tuhan telah menamdirkanmu untuk hidup bersama seseorang yang kini telah menggantikan peranku."
Aku tertegun sejenak. "Yoshihiro Akina ..."
Ia hanya dapat mengangguk. Dan saat aku sedikit menundukan kepala, dirinya meraih punggungku dan melingkarkan kedua tangannya hanya untuk memeluk diriku.
Kala aku memejamkan sepasang mata, Kyosuke mencium keningku dan perlahan tubuhnya memudar bagaikan debu yang terhempas semilir angin di musim semi.
Aku terkejut, mendapati dirinya yang hilang dari pandangan mata. "Kakak!"
Aku berlari, memacuh langkahku tiada henti hingga aku terjatuh lagi. Namun kusadari bahwa kini ia sudah tiada lagi bagaikan di telan bumi.
Sebelah tanganku menggapai udara sambil kusebut namanya dengan sekuat tenaga. "Kakak Kyosuke ...!"
Suatu titik cahaya terang berubah kegelapan yang mampu membutakan pengelihatan disetiap sudut mata memandang. Semua yang kusentuh terasa hampa saat tubuhku terasa melayang di tengah ambang kegelaman yang dingin mencekam.
********
Saat sepasang mata kembali terbuka, kulihat langit-langit dan kilau cahaya lampu yang mampu memberikan sinar terang kesepenjuruh ruangan. Dan pada kala itu diriku yang menyadari bahwa apa yang kulihat hanyalah sebatas mimpi.
Aku masih terbaring di atas ranjang dengan selimut kelabu bercorak ungu yang masih membungkus tubuhku. Aku menoleh, mendapati adanya sesosok lelaki berhidung mancung yang masih tertidur pulas di sebelahku.
Aku tersenyum. "Meski aku tak dapat melihat indahnya pelangi dalam kehidupanku, tapi lelaki ini seakan ingin menggantikan peranmu untuk tetap menyinari disetiap anganku."
Diriku meletakan telapak tangan pada dahinya, menyisir rambutnya yang nampak berantakan dengan jemari lentikku. "Kakak ... kau adalah cahayaku, kekuatanku, dan harapan terakhirku." Butiran air mataku tanpa sengaja berlinang hingga terkumpul menjadi satu pada dagu, dan menetes tepat pada hidung lelaki itu, "aku akan melakukan apapun agar dapat menjalani sisa hidupku bersamamu," sambungku.
Akina yang mendengarkan ucapan lirihku segera terbangun dari tidur panjangnya. Ketika sepasang mata terbuka secara bersamaan, secepat mungkin dirinya yang bangkit dan lalu bersandar dalam kondisi yang belum bisa dibilang setabil.
"Chelsea, kau kenapa? Eh, jika kau keberatan bahwa kita tidur seranjang, maka aku akan pindah ke sofa saja." Suaranya terdengar lemah. Mungkin karena ia masih lelah dan mengantuk usai mengerjakan beberapa berkas dari sekolah.
Aku menelan ludah. Namun diriku masih tak kuasa untuk menahan lajunya air mata. "Tidak, Kakak. Kau di sini saja karena aku takut tidur sendirian ..."
Akina memicingkan mata. "Kenapa kau menangis, hemm?"
Mendengarkan ucapan Akina membuatku menggelengkan kepala dan tersenyum padanya. "Tidak, Kakak. Aku hanya mimpi buruk."
Ia menghela nafas lega dengan sedikit anggukan pada kepalanya. "Owh ... yasudah, ayo tidur. Besok adalah hari pertamamu masuk sekolah. Jadi, perbanyaklah istirahat."
"Iya Kakak."
"Yasudah, selamat malam. Jangan matikan lampunya jika takut kegelapan."
Lelaki itu kemudian merebahkan tubuhnya dan kembali menutup sepasang mata.