Saat kuterdiam dalam pedih, aku percaya bahwa sinar mentari mampu untuk menyempurnakan kesedihan dalam hatiku, membangunkanku dalam keterpurukan yang sekian lamanya membeku dalam kalbu hanya untuk menatap kembali parasmu.
Tatapan sendu matamu, sentuhan manis jemari tanganmu, seakan menenggelamkanku pada birunya lautan cintamu.
Kau tahu, Akina. Hanya engkaulah pujaan hatiku, seseorang yang mampu untuk memberiku cinta dalam suka dan duka. Dan aku akan selalu mencinta hingga ajalku tiba. Dan aku percaya bahwa hanya engkaulah cinta pertama saat senja menghiasi angkasa dan mampu untuk menenggelamkan sinar mentari dari singgahsananya.
Tuhan! Berikanlah aku kekuatan untuk mencinta, agar aku dapat hidup bersama Akina untuk selamanya.
Aku hanyalah boneka yang menjalani kehidupan kedua setelah meninggalkan dunia yang fanna. Salahkah diriku jika jatuh cinta pada Akina? Haruskah aku pergi hanya untuk meninggalkannya? Tuhan, berikanlah aku kekuatan untuk tetap tegar dalam menghadapi segala cobaan.
Aku terdiam dalam sedih, menelan seribu bayang yang tak pasti, mendengar suara yang kian menyayat hati saat ucapan itu terucap dari mulut Azumi. Rasa sakit yang amat menyiksa, seakan menggoda hati untuk berkecambuk dengan air mata atas derita yang telah aku terima.
Aku termenung dalam isak dan air mata kala ia menyudutkan diriku yang semakin terluka, membiarkan aku terombang ambing dalam luka atas adanya surat cinta untuk Guru Akina.
"Akina-sensei bukanlah orang yang mudah untuk jatuh cinta pada gadis remaja. Sebab itulah ia selalu menebar senyum guna memberikan pesona yang berbeda, agar tidak ada seorang pun gadis yang terluka hatinya," ujarnya.
Aku mencoba untuk diam meski itu terasa amat menyakitkan. Tatapan mataku yang awalnya melihat indahnya langit biru dan putihnya awan, kini mulai teralihkan pada sepasang sepatu yang nampak kusam dan sedikit berdebu. Kala itu, sinar mentari menyisir awan, memberikan kehangatan pada seluruh daratan saat aku berada di atap gedung sekolah bersamanya dia yang menambah lara.
Aku menghelakan nafas dan mulai berkata, "saat aku membuka sepasang mata ia ada untuk mencinta, mengukurkan sepasang tangan dengan hati yang di penuhi oleh asmara. Dan kala itu aku sadar bahwa ada ketulusan di dalam hatinya. Akina-sensei bukanlah orang yang mudah untuk jatuh cinta dari balik senyum indahnya, tetapi aku sadar walau aku bukanlah Cinderella untuknya, aku harus berjuang untuk mendapatkan dirinya. Sebab, karena Akina aku tertawa, tersenyum, terluka, hingga kadang ucapannya sudah pernah membuatku meneteskan air mata."
Azumi terdiam sejenak. Ia termenung sesaat sebelum membalikan tubuh dan melipat tangan di depan dada. "Bukan cinta sejati bila harus tinggal berdua dengan pria dewasa. Di balik sikap lugunya, Akina pasti memiliki sifat mesum yang sama halnya dengan pria lain di luar sana."
Aku menahan senyum kala suara itu terlintas dalam telinga. Aku mencoba untuk menghapus sisa air mata, membasuh semua bekas luka yang sedari tadi menyelimuti raga. "Jikalau dia bersikap mesum padaku, maka itulah takdir yang hendak menyertaiku dalam indahnya langit biru. Azumi-sensei, seburuk apapun dirinya di matamu, bagiku Akina adalah permata hatiku. Dan selama jantung ini masih berdetak, tiada alasan untuk berhenti mencintainya."
"Apa katamu!" Sontak Azumi membalikan tubuh guna menatap parasku. Sorot matanya yang tajam bagaikan serigala yang hendak menerkam mangkasanya. Suatu kebencian kian terlukis pada wajahnya kala pandangan itu menatap tajam diriku. "Kau tahu Chelsea, Akina bukanlah pria yang pantas untukmu! Ada banyak lelaki tampan di luar sana yang masih muda, mengapa kau masih mengharapkan sosok Akina?"
"Sensei... Akina-sensei pernah mengajarkanku tentang arti dari sebuah kehidupan dan makna akan cinta yang terdalam. Setiap angan bukanlah mimpi yang terhempas ombak yang menabrak batu karang, melainkan cinta kasih yang mampu membuatku terhanyut dalam pelukan. Dan itulah yang sekian lamanya telah aku rasakan saat menjalani kehidupan dengan Akina."
Jari telunjuknya mengarah tepat pada wajahku. Azumi sangat geram pada saat itu hingga ia tak kuasa untuk menahan luapan emosinya. "Anak kecil mana tahu arti dari sebuah cinta! Kecuali hanya dirinya yang pernah di tiduri di atas ranjangnya demi mendapatkan hasrat yang berbeda."
*BRAACK!
"Tutup mulutmu, Azumi!" Terdengarnya gebrakan pintu pada atap sekolah diikuti oleh terdengarnya suara lentang pria berkacamata yang berada jauh di sana.
Sesosok pria berkacamata bening dengan hidung mancungnya nampak berjalan dengan gegabah saat semilit angin menghembuskan disetiap helai rambutnya. Lelaki itu tak lain adalah Yoshihiro Akina yang sedari tadi telah mendengarkan perbincangan kami berdua. Kemunculan Akina yang secara tiba-tiba sempat mengejutkan kami berdua hingga membuat Azumi terdiam seribu kata kala menatap wajah Akina.
"Seburuk apapun diriku, sungguh hina bagi diriku untuk melakukan asusia terhadap siswaku. Dan bila kau berkata seperti itu lagi maka akan aku sumpal mulutmu!" Lelaki terlihat marah dengan omelan yang tak terduga, mengancam Azumi dengan ucapan pedas sembari mengarahkan jari telunjuknya saat berbicara.
"Sensei..." sahutku lirih.
"Akina-sensei! Sejak kapan kau mengetahui bahwa aku ada di sini?" tanya Azumi.
"Selaknat apapun aku... sungguh hina bagiku untuk meniduri Chelsea Matsuda. Dan sejak kapan aku tahu kau ada di sini, coba tanyakan pada dirimu sendiri, sejak kapan kau berani berkata lancang pada siswaku, hah!" Akina membentak dengan amarah yang menggebuh dalam aliran darahnya, menatap Azumi dengan pandangan yang tak biasa. Ya! Akina melotot dengan raut wajah yang mulai memerah, dan bisa di bayangkan bila ia tengah murkah.
Tiada yang dapat dilakukan oleh Azumi selain menundukan kepala dan menyesali semua ucapannya. "Maafkan aku, Akina-sensei. Aku hanya hilaf dan merasa kesal saja kepada Chelsea-san."
Amarah Akina meredam seketika. Lelaki itu sempat menoleh dan mendapati adanya salah seorang gadis berambut pendek yang sedari tadi mengintipnya dari cela pintu yang sedikit terbuka. Ya! Sebab kedatangan Akina mungkin karena adanya laporan dari Aiko Nakata.