Menutup hati hanya untuk merajut mimpi di siang hari, membiarkan yang lalu menjadi sebuah misteri dalam kehidupan yang telah terjadi. Melangkah tanpa banyangan sang kekasih yang telah lama mati, seakan menjadi siksa hati tak akan pernah terobati. Jikalau aku mati, akankah kita dapat di pertemukan kembali...
Inginku adalah untuk bertemu, melihatmu dalam bayang dan anganku, menatap wajahmu walau air mata kerap menyelimuti kerinduanku pada dirimu.
Saat kusadari bahwa engkau bukanlah separuh jiwaku, rasa cemas itu kian membakar lubuk hatiku dan meremas di setiap detakan jantungku, sampai aku tak lagi mampu untuk merasakan si setiap tulang dalam tubuh rentahku. Namun, sampai kapan diriku yang harus terdiam bisu hanya demi menanti kedatanganmu...
Kau lambaikan tangan dengan seutas senyum indahmu, membuat hatiku yang rapuh tak lagi mampu untuk merenungi kisah indahku.
Kau tanamkan cinta dalam gelora asmara yang membuatku tak pernah lupa akan indahnya sentuhan keluarga, kau buat aku bahagia walau hanya dengan sekejap mata, tapi mengapa semua yang kurasa seakan hilang bagaikan fatamorgana.
Kemana aku harus pergi, dan pada siapa diriku yang harus menyandarkan hati. Aku sudah tak tahu lagi, jalan apa yang harus aku lewati untuk menempuh segala cobaan ini.
Saat senja telah tiba, hatiku terasa hampa. Bukan karena mengapa, tapi pada siapa diriku yang harus berkata. Sejak terjadinya konflik dengan Azumi-sensei di atap gedung sekolah, Akina di panggil oleh sekertaris untuk menghadap kepala sekolah. Namun setibanya suara bell terdengar dari dalam gedung sekolah, aku tidak pernah melihatnya kembali ke ruangan kelas yang sama.
Langit jingga menerpa wajah kala senja telah tiba. Burung-burung berterbangan melintasi cakrawala, saat sepasang mata menatap hamparan mega. Hati kecil sempat berkata, kemana perginya Guru Akina?
Hembusan nafas kerap kali mengiringi langkah, membawaku untuk berjalan mendatangi gedung sekolah. Hanya segelintir siswa yang berjalan dengan memeluk buku tebal di depan dada saat berpapasan denganku di dalam koridor.
Diriku terus memacu langkah hingga menaiki anak tangga, berharap dapat mengetahui keberadaan Guru Akina. Namun, semuanya terasa hampa kala kaki ini mulai lelah untuk terus melangkah.
Berada tepat di depan ruangan Guru, di sanalah diriku yang mendapati adanya decakan suara itu. Diriku harus menundukan tubub guna melihat siapa pemilik dari suara itu. Punggung pria terlihat gagah dengan balutan jas hitam yang menutupi tubuh. Lelaki itu nampak berdiri di depan meja Guru.
*****
"Akina-sensei, apa pembelaan Anda. Mengapa Anda diam saja?"
Aku yakin bahwa pemilik dari suara itu adalah kepala sekolah Yamato, seorang pria paruh baya yang tengah bersandar pada kursinya, dan menatap salah seorang Guru yang tengah berdiri di depan meja.
"Saya merasa bersalah dengan kejadian yang ada. Dan tidak sepantasnya bagi seorang Guru untuk mengucapkan kalimat kasar pada rekan kerja, terlebih bila umpatan itu di katakan tepat di hadapan siswanya. Saya menyesal." Suara serak Akina terdengar berat kala ia harus mengakui kebenaran yang ada. Lelaki itu hanya dapat mengepalkan sepasang tangan sembari membungkukan tubuh di depan meja.
Kepala sekolah Yamato mengalihkan pandangan matanya kepada seorang wanita cantik berambut pirang. Kala itu, Guru lain mencoba untuk mendesak Akina guna mengeluarkan pembelaan yang tepat.
"Akina-sensei! Saya hanya merasa bahwa Anda adalah panutan bagi seluruh siswa, terutama untuk mereka yang duduk di bangku kelas 2B. Namun mengapa Anda menjalin hubungan cinta dengan anak didik Anda, sedangkan di luar sana masih banyak wanita cantik yang menggoda selera. Bukankah tidak sewajarnya bila seorang murid jatuh cinta pada Gurunya? Lantas, mengapa Anda bersikeras untuk membela Chelsea Matsuda, dan mengatakan bahwa dia adalah adik Anda, padahal dia adalah kekasih Anda."
Lelaki sempat mengeratkan kepalan tangannya kala suara Nagazawa-sensei mengusik telinga.
"Akina-sensei, Anda berkewajiban untuk menjawab pertanyaan dari Nagazawa-sensei sekarang juga," sahut sekertaris yang berdiri tak jauh dari jendela.
Akina sempat melonggarkan dasi merah yang melilit lehernya setelah menelan ludah, hingga pada akhirnya lelaki itu mengetipkan sepasang mata dan mulai memuka mulut untuk berkata jujur di hadapan para Guru lainnya.
"Matsuda adalah seorang gadis yang polos hatinya, seseorang yang memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan seorang gadis yang selalu berjuang demi kemandirian hidupnya," Akina sempat menghembuskan nafas panjangnya, melepas kacamata bening pada wajah, dan kembali berkata, "jikalau seorang gadis telah jatuh cinta pada lelaki yang di anggapnya sebagai pelipur hatinya, maka di sanalah hak asasi manusia itu berada. Setiap insan memiliki rasa untuk mencinta atau pun di cinta, bukan karena apa ia mencinta, tapi pada siapa dirinya yang kelak harus menyandarkan dada guna memperjuangkan masa depannya di sisa hidupnya.
Kepala sekolah Yamato mengangguk setelah mendengarkan penjelasan Akina. "Lanjutkan, sensei."
"Saya bukanlah Kakak kandung Chelsea Matsuda, sebab Kakaknya telah tiada akibat pennyakit jantung yang beliau derita. Ibunya meninggal setelah melahirkannya, dan Ayahnya juga meninggal akibat kecelakaan tragis kala beliau tengah berjuang untuk mencarikan nafkah anaknya." Desahan nafas Akina berpadu dengan butiran keringat yang kian berlinang membasahi dahinya. "Gadis itu telah menjalani kehidupan yang tidak semestinya, ia hanyalah sebatang kara tanpa adanya keluarga sebab mereka semua telah tiada! Dan pantaskah bila saya harus menaruh hati padanya, maka saya akan bertanya pada Nagazawa-sensei pada saat ini juga."
"Baiklah Akina-sensei, lanjutkan pembelaan Anda."
"Beliau juga seorang pria, sudah sepantasnya menikah dengan wanita. Bila keduanya tidak saling mencinta, maka tidak akan ada istilah asmara yang mampu membuatnya menikah. Jadi, tiada larangan bagi seorang Guru, termasuk saya untuk mencintai anak didiknya bila memang rasa cinta itu timbuh di antara keduanya."
Yamato hanya dapat merenung sambil menggaruk-garuk dagunya. "Bagaimana dengan Azumi-sensei? Bukankah kalian berdua juga sedang menjalani hubungan asmara?"
"Kami hanyalah rekan kerja. Kebetulan saya melihat Azumi yang mendatangi Chelsea di atap sekolah. Beliau berkata dengan ucapan yang tidak semestinya. Sebagai seorang Guru, sudah sepatutnya bagi saya untuk membela siswanya bila mereka tidak bersalah, dan hanya menghukum bila memang siswa itu salah." Pandangan Akina menyebar kepenjuruh arah, menyaksikan sekumpulan Guru yang nampak memperhatikannya berbicara.
"Saya marah bukan karena adanya hubungan asmara, tapi karena Azumi-sensei telah memfitnah murid saya, sehingga Chelsea Matsuda berderai air mata. Lantas, bila bukan wali kelasnya yang membela, lalu siapa? Dan siapa pula yang akan bertanggung jawab bila terjadi sesuatu pada murid saya jikalau ia berhenti sekolah hanya karena ucapan pedas dari mereka yang bicaranya tidak bisa di pertanggung jawabkan."
Nagasawa nampaknya kalah telak bila harus menyudutkan Akina demi membela Azumi di sana. Sedangkan Yamato hanya dapat tersenyum sembari mengacungkan jempolnya pada Akina.
"Bagus! Dari awal saya memang percaya bahwa Anda adalah Guru terbaik sepanjang masa. Baiklah, mungkin pada kasus ini hanyalah tentang kesalahpahaman saja. Dan saya minta bagi semua Guru di sini untuk tidak beranggapan buruk pada Akina-sensei. Terima kasih."
Bersambung~