Lelaki itu mengepulkan asap putih yang pekat warnanya. Bersandar pada sudut ruangan yang berdekatan dengan jendela kala sinar mentari kian menerpah bahunya. Lelaki itu sedikit meninggikan dagunya, berharap diriku dapat melanjutkan ucapan kata yang terputus usai berkontak mata iris matanya.
Diriku kembali menatap sekumpulan siswa yang masih duduk pada bangkunya. Melihat mereka yang nampak memperhatikan paras wajahku dengan penuh seksama.
Salah seorang siswa yang bernamakan Aiko Nakata mencoba untuk mengangkat sebelah tangannya ke udara. "Ano ... bukankah Akina-sensei tidak memiliki Adik perempuan, ya?"
Aku terkejut. Wajahku memerah seketika saat ucapan itu terdengar mengusik sepasang telinga, membuat seorang lelaki yang tengah menghisap rokok tersedak oleh asap putih yang hendak memasuki paru-parunya.
Akina berdeham untuk memotong pembicaraan, membuat jeda pada keheningan ruangan yang dipenuhi oleh kebisuan disetiap sudut mata memandang. "Ehem! Aiko, tolong jangan biasakan menjawab sebelum ada pertanyaan yang di lontarkan, itu kurang sopan namanya."
Gadis itu terdiam sejenak sebelum menganggukan kepala di atas bangkunya. "Summimasen, sensei."
Akina kembali menyelipkan rokok pada mulutnya. Dirinya sempat melihat jarum jam yang berputar pada arlogi sebelum kembali menatap diriku yang masih berdiri di depan papan sembari meremas-remas ujung rok biru.
"Matsuda!" Suara datarnya mengalihkan pandanganku seketika untuk melihat parasnya. Hingga suatu ketika, diriku kembali mendukan kepala guna melanjutkan topik pembahasan yang sudah semestinya dilakukan oleh siswa baru pada umumnya.
"Ibuku telah lama tiada usai melahirkan diriku ke dunia yang fanna, dan penuh dengan sandiwara. Kala itu, aku telah di besarkan oleh sesosok Ayah yang berjuang keras demi mencukupi kekurangan pada keluarganya." Diriku sempat menghelakan nafas panjang sebelum kembali berkata. "Beliau adalah sesosok Ayah yang mampu membuatku bahagia dengan segala kekurangannya. Hingga suatu ketika, suatu insiden kecelakaan memaksaku untuk menjadi yatim piatu."
Akina terdiam tanpa kata meski sudut pandanganya mengarah pada diriku yang nampak mengepalkan tangan sembari menundukan kepala di hadapan puluhan siswanya.
Aiko yang masih duduk bersandar pada kursinya hanya dapat terbungkam dengan wajah tanpa ekspresi—atau mungkin lebih tepat dibilang tanpa pikiran. Meski tubuhnya berhadapan denganku, dan hanya ada penghalang yang disebut sebagai meja di antara kami berdua, tapi entah mengapa seakan pikirannya melayang entah ke mana.
Diriku hanya dapat memaksa senyum saat gadis berambut pendek itu menatap raut wajahku penuh haru.
Diriku terdiam tanpa kata, merenung dalam lubuk hati yang lara untuk kembali mengingat kisah pilu saat sinar mentari menerpah wajah dari balik jendela berlapis kaca.
Bibirku mulai bergetar dengan diiringi oleh sepasang tangan yang nampak gemetar. Ingatan itu seakan menyayat kalbu, membawaku terbang hanya untuk mengenang kisah pilu akan hilangnya keluargaku. Hanya air mata yang menjadi saksi bisu akan hilangnya Kakak yang sekian lamanya menjadi pelipur lara hatiku.
-Flashback-
Sesosok remaja bermantelkan hitam menatap jauh ke atas awan pada birunya langit saat sinar mentari mulai menerpah wajahnya. Remaja itu tersenyum riang saat detak jatungnya berdegup kencang.
"Terkadang aku merasa heran dengan ucapan semua orang. Mereka meyakini bahwa kekayaan adalah unsur dari kewibawaan guna meraih kesuksesan di masa mendatang." Ia menoleh, melihat sepasang iris mata yang sedari tadi mengamati parasnya. "Aku tidak membutuhkan harta, tahta, atau pun istana yang megah. Karena yang aku butuhkan hanyalah dirimu seorang."
Mataku berbinar kala diriku menatap wajahnya yang rupawan. "Kakak .... mengapa kau lebih memilihku dari pada emas permata atau pun istana?"
Kyosuke meletakan sepasang tangannya pada bahuku. "Kau adalah permata hatiku, pelipur lara hatiku. Apapun yang terjadi, aku mohon agar kau tetap hidup untukku. Karena engkaulah istanaku."
Aku hanya dapat mengembangkan senyuman kala butiran air mata bahagia itu menyelimuti pandanganku. Hanya dengan melingkarkan sepasang tangan pada tubuhnya, diriku yang mampu mendikripsikan kebahagiaanku pada dirinya.
"Kakak ... hiks! Aku sayang Kakak. Meski aku tumbuh menjadi orang dewasa, meski aku sudah menikah, aku tetap ingin hidup di samping Kakak."
Kyosuke sempat menghelakan nafasnya, merasakan rasa sakit yang kian menjalar dalam tubuhnya. Namun lelaki itu tetap menunjukan senyuman manisnya sembari mengusapkan telapak tangan pada kepalaku.
"Jika siang berganti malam, maka malam akan berubah menjadi siang. Dan itulah roda kehidupan. Tetaplah menjadi seseorang yang dapat aku banggakan meski kau tak seterang cahaya mentari yang mampu menerangi seluruh daratan."
"Kakak ... meski aku sudah tidak lagi memiliki Ibu, tapi aku masih mempunyai Kakak Kyosuke dan Ayah yang selalu ada di dalam kehidupanku. Dan itu sudah lebih dari cukup, Kak."
"Kakak akan selalu menjagamu, mengawasimu, dan menjadikanmu seorang gadis remaja yang tangguh. Tetaplah menjadi bidadari kecilku, Chelsea."
-Flashback-
Aku merenung dengan pandangan mata yang berkaca-kaca. Entah mengapa, seakan ingatan itu tak kunjung sirna meski aku telah mencoba untuk menghapus segala kenangan yang ada.
"Kyosuke ... adalah satu-satunya orang yang berharga, keluargaku tercinta meski telah menabur lara dalam dada." Diriku sempat menundukan kepala, mengepalkan sepasang tangan hanya untuk menahan pedihnya luka yang menyayat dada hingga menciptakan gelora api yang kian membakar jiwa. "Seorang Kakak yang selalu ada untuk Adiknya, sesosok Kakak yang selalu membuatku bahagia dengan senyuman manisnya, hiks!"
Akina tertegun sesaat. Dirinya tak menyadari bahwa sepuntung rokok yang terjepit di antara jarinya mulai terjatuh ke dasar lantai.
"Setiap malam kuberdo'a, memohon pada sang kuasa agar dapat menjalani sisa hidupku bersamanya. Agar aku dapat menangis di pelukannya, karena hanya dialah keluargaku yang tersisa." Perlahan diriku mengangkat kepala, melihat sekumpulan siswa yang nampak membasuh air matanya. "Kyosuke telah tiada ... dirinya telah menutup sepasang mata untuk selamanya di hadapan Adiknya. Hatiku sakit ... sakit ... sekali!"
"Chelsea, cukup!" Lelaki itu mulai berjalan menghampiriku, meletakan sepasang tangannya pada pundakku.
"Kakak ... aku minta maaf bila sudah mengingat kembali kisah lama tentang—" Belum sempat aku berkata, dirinya telah menempelkan jemarinya pada bibirku.
"Sttt ...!" Akina sedikit menggelengkan kepala, menatap diriku dengan penuh gelisa. "Aku adalah Kakakmu sekarang. Dan hati seorang Kakak akan hancur seperti pecahan kaca bila melihat Adik tercintanya mengeluarkan deraian air mata di hadapannya."
Disetiap kali ia melingkarkan sepasang tangannya pada tubuhku, saat itulah diriku yang mulai menyandarkan kepada pada dadanya. Dan kala ia menyurai rambut panjangku dengan telapak tangannya, hatiku yang pilu berubah menjadi ketenangan yang mampu membuatku bahagia bila selalu berada di dekatnya. Apakah ini yang di namakan cinta?
Jika memang aku telah jatuh cinta padanya, hal itu mungkin tiada artinya bagi Akina yang telah menggantikan peran Kyosuke hanya untuk membuatku bahagia. Namun, mengapa aku ingin selalu hidup berdua dengannya ... mengapa aku ingin sekali menangis di pelukan Akina ....