Aku terdiam dengan sepasang mata yang terpaku menatap suatu benda di atas meja. Hampir satu jam berlalu, dan yang kulakukan hanyalah melamun dengan sepasang earphone yang menyumbat pada telinga, dan tersambung pada smartphone bekas pemberian Akina.
Suatu alunan musik klasik bersenandung merdu terdengar oleh sepasang telinga yang tersumbat oleh earphone. 'Saat kau pergi – Bunga Citra Lestari' lagu itu mengalun indah, mengiringi malamku yang kelabu.
Kedua mataku menatap disetiap halaman buku tebal yang tergeletak di atas meja kamarku. Raut wajahku sempat berubah-ubah saat membaca deretan kalimat yang ada pada paragrafnya. Hingga tanpa sengaja, diriku menemukan suatu hal yang tak terduga pada lembaran halaman berikutnya.
Selembaran kertas photo telah terselipkan pada bagian tengah halaman bukunya. Menunjukan adanya sesosok remaja berparas tampan dengan senyum lebarnya. Aku tertawa kecil. Tertawa sendiri karena mengingat bahwa ia adalah sesosok lelaki yang aneh, misterius, dan juga romantis dengan caranya tersendiri.
Berada dibalik lembaran kertas photo tersebut, diriku menemukan adanya untaian kata yang bertuliskan, 'waktu yang terbuang adalah suatu kegagalan di masa mendatang.'
Aku melepas sepasang earphone yang masih menyumbat telinga dan meletakannya di atas meja. Setelah bangkit, kini aku pun beranjak pergi mendekati jendela kamar yang masih dalam kondisi terbuka.
Angin dingin berbaur dengan rintik hujan saat awan hitam menyelimuti gemerlap cahaya bintang, mendominasi kegelapan malam yang penuh dengan kesunyian disetiap sudut mata memandang.
"Seperti laksamana bintang yang bersinar terang, engkaulah cahaya rembulan yang mampu memberikan ketenangan saat diriku di landa oleh kesunyian disetiap sudut mata memandang."
Suara itu sontak membuatku terkejut. Hingga suatu ketika diriku membalikan tubuh dan mendapati Akina yang tengah berjalan menghampiriku.
Senyum manisnya seakan menyayat kalbu, membuatku terbungkam dalam bisu dengan madangan mata yang kian terpaku. Lelaki itu selalu membuatku merindu, dan kini dialah pelipur lara hatiku.
"Kakak Akina ... " diriku membalas senyum, menunjukan keramahan yang sama saat ia tengah menghampiriku.
"Aku bukanlah yang pertama, yang mampu membuatmu bahagia saat duduk di singgahsananya. Namun, aku dapat membuatmu tersenyum sepanjang masa guna menutupi lara hati yang kian menyiksa."
Lengkungan bibirku membentuk garis lurus, karena aku pernah tahu jawaban apa yang harus kukatakan untuk menjawab ucapan lelaki itu.
Lelaki itu segera meraih kedua tanganku kala ia bertekuk lutut di hadapanku. Sepasang mata cokelatnya berbinar memantulkan cahaya rembulan saat kedua insan saling bertatapan di suatu ruangan yang di penuhi oleh keheningan disetiap sudut mata memandang.
"Peranku adalah untuk menjadi seorang Kakak bagimu. Dan tugasku adalah untuk menjadi teman hatimu. Namun, sebagai manusia diriku tak pernah bisa untuk membohongi gejolak asmara yang kian membakar jiwa."
Pipiku memerah seketika saat ucapan itu terdengar oleh lirih oleh sepasang telinga. Entah bagaimana caraku untuk menjawab ucapan manisnya, selain menahan senyum sembari menggigit bibir di bagian bawah.
"Aku ... eh, ano... aku jadi malu. Kakak, apa yang sudah kau bicarakan ...."
Sepasang mata mulai terpejam saat ia tempelkan punggung tangan pada bibir tipis yang nampak terkesan dingin guna menciptakan suatu keindahan pada suatu kecupan.
"Sejak pertama kita bertemu, aku sudah menyimpan sejuta rasa yang kian menyiksa hatiku. Dan entah mengapa, wajahmu seakan membayangi disetiap langkahku." Lelaki itu masih memandangi kedua bola mataku, "kecantikanmu bagaikan bulan purnama yang mampu menerangi malamku. Dan kelembutan hatimu, serta sikap manjamu, seakan menjadi kilasan pelangi yang memberi warna dalam hidupku. Aku jatuh cinta padamu."
Mendengar ucapan itu membuatku tersipu malu. Diriku tidak tahu bagaimana caraku untuk berpaling guna menyembunyikan wajahku yang telah memerah pada saat itu. "Tapi ... kau telah berjanji untuk menggantikan peran Kyosuke, dan aku—"
"Hatiku gelisa saat melihat puluhan siswa menggodamu di luar sana." Akina menunduk sesaat guna melihat pungung tangan yang masih berada dalam genggamannya. Ketika ia mengangkat dagu, pandangan mata kami kembali bertemu.
"Kakak ... aku tidak mengerti akan maksud yang telah kau sampaikan padaku. Namun, mengapa kau cemburu hanya karena mereka menggodaku?"
Lelaki itu masih masih bertekuk lutut di hadapanku dengan sepasang mata yang kian terpaku hanya untuk menatap kedua bola mataku. "Salahkah aku bila jatuh cinta kepadamu?"
"Kau sudah aku anggap seperti Kakakku sendiri," diriku segera berpaling muka, menatap jauh ke luar jendela yang saat hujan mulai redah, "bagiku, kau adalah pedoman hidupku. Dan sebagai seorang Adik, aku tidak mungkin jatuh hati padamu, Kakak Akina."
Mata Akina membulat seketika. "Apakah ini artinya kau menolakku?"
Perlahan ia melepaskan kedua tanganku. Membiarkan diriku membalikan tubuh hanya untuk mengamati indahnya malam yang kelabu saat hawa dingin kian menyambar tubuhku.
"Aku tidak tahu ... biarkan waktu yang akan menjawab perasaanku padamu, Kakak Akina."
Akina yang bangkit hanya dapat memasukan sepasang tangan ke dalam saku celana sembari melihat belakang tubuhku. Lelaki itu terdiam tanpa kata, dan menatap diriku penuh hampa. Entah apa yang ada di dalam hatinya, tapi aku beransumsi bahwa Akina telah kecewa dengan apa yang telah ia terima.
"Kakak!" Panggilan itu sontak menghentikan langkahnya yang hampir mendekati pintu kamarnya. Ia menoleh, "jarum jam hanya akan berputar pada porosnya, memberikan cela bagi kita untuk merenungkan jawaban yang semestinya."
"Maafkan aku, bukan maksudku untuk menyakiti perasaan Kakak."
"Meski indah terasa, cinta bukanlah hal yang mudah untuk di ungkapkan oleh kata. Biarlkan waktu yang menjawab segalanya, agar kelak kita menyadari bahwa cinta tak selamanya indah jika di pandang oleh sepasang mata."
Sepasang mata menatap pilu punggung pria yang berdiri di dekat pintu. "Kakak, bukan maksudku untuk menolak besarnya cintamu padaku." Diriku menundukan kepala dan sempat menatap sepasang sepatu yang masih membungkus kedua kakiku. "Hanya saja, aku..."
Lelaki itu masih terlihat mengepalkan tangan saat hendak meninggalkan ruangan. "Lupakan saja tentang apa yang telah menjadi topik pembicaraan kita. Lagi pula, tidak mungkin diriku menikahi seorang boneka."
Diriku hanya dapat menundukan kepala tanpa dapat berkata, membiarkan dirinya pergi dan menutup pintu kamarnya.
Saat ia telah tiada, aku berpikir bahwa apa yang Akina ucapkan ada benarnya. Namun, mengapa ia mengungkapkan sebuah kata bila mana dirinya tidak tahu artinya. Hatiku resah, hingga kegelisahan itu kerap melanda jiwa. Akankah kami harus berpisah setelah aku melihat pernikahannya bersama wanita yang hendak di nikahinya? Ataukah kami harus menjalani kehidupan tanpa status yang semestinya. Entahlah, aku hanya dapat berpasrah diri pada Tuhan yang maha kuasa, berharap dapat memiliki tubuh layaknya manusia normal pada umumnya seperti sedia kala.
Aku berjalan mendekati dinding ruangan, menatap cermin dalam bentuk oval yang menghiasi kamar serta vas bunga yang menjadi hiasan di sudut ruangannya. Aku berkaca, menyentuh pipi yang kenyal kala permukaan cermin memantulkan adanya paras wajah dari seorang gadis yang memiliki tubuh boneka. "Sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama... tapi aku tidak bisa menerima cintanya. Ada rumor berita yang menyatakan bahwa Azumi-sensei jatuh cinta pada Akina, dan aku tidak bisa untuk merusak hubungan keduanya." Sebelah tanganku menyentuh permukaan cermin guna mengusapkan jemari lentikku pada permukaannya yang licin. "Aku cinta pada Akina... meski terkadang ia suka membuatku gelisa berkat adanya Azumi dan Aiko di sana, tapi aku cinta... tapi aku sadar bahwa diriku adalah seorang boneka. Sedangkan wanita biasa bisa hamil dan punya keturunan setelah menikah. Kalau seorang boneka mana bisa ...."
Pintu kamar terbuka seketika, di ikuti oleh masuknya sesosok lelaki yang membawa secangkir kopi pada tangannya. Dirinya sempat menghentikan langkah, menyeruput secangkir kopi hangat pada gelasnya. Iris matanya teralihkan pada pundakku, kala diriku menatap dirinya dari pantulan cermin kala itu.
"Oe! Sampai kapan kau bercermin? Ayo tidur!" Lelaki itu kemudian menyeruput kembali kopi hitam pada cangkirnya.
"Kakak Akina, seandainya kita menikah.. apa aku bisa hamil seperti wanita biasa..."
Seketika ia menyemburkan kopinya hingga berceceran pada lantai kamar. Akina terkejut. Dirinya hanya dapat berpaling muka sambil sambil menahan tawa.
"Anoo... soal itu, ya? Hemm... bisa."
Mendengar ucapan itu membuatku membalikan tubuh. "Benarkah? Jadi, alasan Kakak Akina untuk mengungkapkan cinta dan tidur berdua adalah agar aku bisa punya anak? Lalu kita menikah, dan hidup berdua selamanya, begitu?"
Akina menghelahkan nafas beratnya. "Astaga! Sampai sejauh itu kau menghayal? Sungguh, siswa di kelasku sudah meracuni otakmu dengan Drama Korea."
"Tapi, Kak! Seandainya itu benar, seandainya aku bisa hamil dan punya anak, bukankah itu suatu hal yang sangat menyenangkan."
Wajah Akina merah padam hingga ada jeda sesaat yang mambuatnya mengembungkan pipi sebelum tertawa lebar dengan acungan tangannya. "Bruakaka! Kau bisa hamil, tapi anakmu juga boneka sama seperti Ibunya. Lagi pula, aku mengajakmu untuk tidur seranjang denganku bukan karena aku ingun berbuat mesum, tapi karena tidak ada kamar lain di rumahku. Huahaha! Kau, ini! Ada-ada saja."
Diriku mendengus kesal dengan melipatkan sepasang tangan di depan dada. "Hummph! Menyebalkan!"
Akina berjalan mendekati jendela berlapis kaca. Matanya yang sayu menatap pesona alam di penuhi oleh hujan sebening kristal. "Hal terbaik adalah saat kau berhasil menentukan jalan hidupmu."
"Jalan hidupku hanyalah satu. Saat aku aku harus menjalani sisa hidupku bersamamu sebagai pengganti Kyosuke di dalam hatiku."
Ia mengangguk pelan. "Kau bebas untuk memilih, pada siapa kau menanti. Keindahan yang kau raih adalah suatu kepastian yang terjadi saat kau berhasil meraih mimpi."
Entah mengapa, setiap kalimatnya selalu membuatku lega dibuatnya, hingga aku sempat berpikir bahwa tiada pria sebaik Akina sepanjang masa.
Aku berjalan dengan dengan penuh seksama, melangkah maju hanya untuk mendekatinya yang masih berdiri di depan jendela berlapis kaca. Kala itu, diriku mencoba untuk melingkarkan sepasang tangan pada perutnya. Tidak lupa bagiku untuk menyandarkan pelipis kanan pada punggungnya.
"Pilihanku hanyalah satu, saat mengenakan gaun putih dan berjanji untuk hidup bersamamu seumur hidupku di di depan penghulu. Kakak, izinkan aku untuk belajar mencintaimu."
"Aku mengerti, maafkan aku."