Sesosok wanita bersurai emas berjalan menyusuri halaman belakang gedung sekolah. Iris cokelatnya sesekali mengamati keindahan bunga bermekaran di daerah sekitar.
Terik panas bola api sinar mentari tak lagi tertutupi awan putih, membuat wanita itu menyipitkan mata dan segera mencari keteduhan di bawah pohon cemara.
Sesosok lelaki dengan jas berwarnakan putih nampak keluar dari dalam gedung. Membuang puntung rokok yang masih menyala usai menghembuskan kepulan asap putih dari dalam mulutnya.
Wanita bermantelkan merah memeluk tubuhnya di bawah keteduhan pohon cemara, mengamati disetiap pergerakan lelaki yang tengah berdiri di depan pintu keluar gedung sekolah.
Mendapati adanya sesosok wanita bermantelkan merah, membuat lelaki yang bernamakan Akina segera berbalik arah dan hendak beranjak pergi guna memasuki gedung sekolah.
"Akina-sensei." Terdengarnya suara itu membuat Akina segera menghentikan langkah dan menoleh ke tempat wanita itu meneduhkan diri dari panasnya sinar mentari yang menerpa wajahnya.
Akina menoleh, mendapati adanya sesosok wanita yang sedari tadi menyipitkan mata guna mengamati disetiap pergerakan tubuhnya.
"Azumi-sensei."
"Akhirnya..." lirihnya dengan senyum tipis andalan, "Sudah lama aku menantikan kedatanganmu, sensei." Sambungnya sembari melipat sepasang tangan di depan dada. Wanita itu kembali bersandar pada batang pohon cemara.
"Tentu saja aku tidak pernah lupa." Lelaki itu melepaskan kacamata bening dari wajahnya." Dan pastikan bahwa tidak ada seorang pun yang melihat kita. Sekarang, katakan saja apa yang ingin kau bicarakan padaku."
"Sesuai dengan apa yang tertulis pada pesan WhatsApps-ku, bahwa kau harus menemuiku usai jam pelajaranmu."
Lelaki itu menoleh. "Aku lupa."
Azumi menghelakan nafas panjangnya, menyangga dagu dengan punggung tangan kirinya saat dirinya masih bersandar guna menatap ekspresi wajah Akina. "Benarkah?"
Lelaki itu sempat menelesik kesepenjuruh arah, memastikan bahwa tak ada seorang pun yang tengah melihatnya di belakang gedung sekolah. Pada akhirnya, ia pun menghampiri Azumi usai mematik korek api dan menyalahkan rokoknya kembali.
"Jika ada sesuatu yang ingin kau sampaikan maka cepat katakan. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk berbicara denganmu."
"Sombong sekali kau."
Akina membuang muka usai menghembuskan asap putih dari rongga hidungnya. "Huh! Kau mengamcamku hanya karena aku telah molakmu. Tidak masuk akal."
"Akina-sensei, aku mengagumi semua upayamu untuk selalu menjaga nama baikmu di sekolah ini," ia sempat menundukan kepala dan kembali menatap wajah Akina dengan mata sipitnya, "Terus terang saja, sebenarnya aku cemburu bila anak didikmu itu selalu memperhatikanmu setiap waktu."
Akina menguap sembari menutupi mulut dengan sebelah tangannya. Alih-alih menjawab, ia lebih memilih untuk menghisap rokok dan bermain dengan kepulan asap putih yang di keluarkan dalam bentuk 'O'
"Apa seperti itu caramu saat berbicara dengan sesama Guru?"
"Maaf, aku hanya mengantuk dan merasa bosan," jawab Akina dengan senyum andalan.
"Tentu saja kau nampak lelah setelah kehujanan. Bagaimana dengan gadis cantik yang kau gendong? Akan lebih baik bila berbagi kehangatan setelah kehujanan. Benarkan, Akina?"
Akina terbelalak. "Apa?"
"Gadis cantik bersurai hitam, mengenakan jaket hoodie berwarna hijau. Kau menggendongnya dalam keadaan basah kuyup dari jembatan Aiwa menuju rumahmu."
Akina tertegun sesaat, mulutnya mengangah tanpa mengeluarkan suara.
Dan dengan santainya wanita itu berkata, "Tentu saja aku mengikuti disetiap langkahmu, memastikan siapa gadis itu dan apa tujuanmu. Aku harap kau tidak melakukan suatu hal yang tidak dapat di pertanggung jawabkan," sambungnya.
Akina mengeryit. Sorot matanya yang tajam menggambarkan emosi yang mendalam. "Apa maksudmu!"
Lelaki itu nampak kesal. Namun ia sadar bila berhadapan dengan Azumi sama halnya dengan terjebak di kandang singa. Mengelak bukanlah alasan yang tepat, selain mengikuti permainannya.
"Selayaknya seorang Guru, alangka baiknya apabila kau mendidik muridmu untuk mengerti akan adanya materi sejarah, dan bukan untuk memahami arti cinta."
"Detik telah berubah menjadi menit, dan menit pun berubah menjadi jam, serta siang pun berganti malam. Semuanya telah terlewati dengan seribu jejak, yang terangkum dalam memori ingatan tentang adanya aku dan dirinya. Bila nasi telah berubah menjadi bubur, maka akan aku tinggalkan semua mimpi sebelum berubah menjadi ilusi."
"Seperti bunga mawar pada musim semi, durimu telah menusuk hati!"
Lelaki itu terdiam tanpa kata, mengeluarkan kepulan asap putih dari dalam mulutnya dan segera beranjak pergi meninggalkan sesosok wanita yang tengah berteduh di bawah pohon cemara.
"Akina-sensei!" Suara datar Azumi menghentikan langkahnya. Akina menoleh, membuang puntung rokoknya ke dasar tanah.
"Jika duriku telah menusuk hati, mengapa kau datang untuk menanti ketidak pastian yang kumiliki."
Lelaki itu segera berjalan menuju gerbang sekolah tanpa peduli dengan wanita yang tengah termenung di bawah pohon sakura.
Akina memaksa senyum ketika ia tengah berjalan melewati segelintir siswa yang tengah berdiri di dekat gerbang. Segelintir siswa menyapa Akina dengan senyuman ramah, jadi lelaki itu harus mengembalikan dengan keramahan juga. Sementara itu, hatinya gunda.
Dalam hati ia berkata, "Kurang ajar! Azumi-sensei selalu saja mencari masalah setelah aku menolak perasaannya. Namun, bukan saatnya bagiku untuk mengenang masa indah, melainkan mencari cara agar terbebas dari sudut pandangnya."
Mata cokelat Akina menelesik ke toko-toko di sisi jalan. Jaket hoodie bertudung hijau milik Chelsea memang tidak mencolok. Luasnya jalan utama kota Mizuka memang mudah untuk melakukan pencarian. Sudah dua stand yang dilewatinya, tetapi Akina belum kelihatan. Hingga pada akhirnya keduanya pun mulai berpapasan di tengah jalan.
"Tuan Akina," sapanya. Gadis itu segera melepas tudung jaket yang sekian lamanya menutupi kepala dari panasnya terik sinar mentari.
Lekaki itu terkejut. "Chelsea!"
Gadis itu tersenyum riang. "Aku mencarimu, tadi aku sudah buatkan masakan enak untukmu."
"Benarkah?"
Gadis itu mengangguk. "Ehm!" Ia meraih pergelangan tangan Akina. "Aku sudah memasak sesuatu yang enak untukmu, pasti kau suka."
Lelaki itu sedikit menundukan kepala, melihat adanya pergelangan tangan dalam genggaman jemari lentik gadis yang ia suka. Akina menahan senyum hingga bibirnya membentuk garis lurus.
Lelaki itu nampak menahan senyum saat mengusapkan sebelah tangan pada kepala Chelsea hingga rambutnya pun sedikit berantakan. "Kau ini, sudah di ingatkan berapa kali, jangan keluar rumah sendirian. Dasar anak nakal."
Alih-alih menjawab, gadis bersurai hitam itu segera melepaskan genggaman tangan dan beralih untuk memeluk tubuh Akina. Tidak lupa baginya untuk menyandarkan pelipis kanan pada dada.
"Sebenarnya aku hanya kangen. Sudah seharian kita tidak bertemu, dan aku ingin selalu ada di sampingmu," lirihnya.
Butuh waktu bagi Akina untuk menjawab. Namun ia sadar bahwa sesosok boneka cantik itu masih merindukan belaian kasih sayang, mengingat bahwa Kyosuke adalah sesosok pria yang perhatian dan selalu memanjakan adiknya di mana pun ia berada.
"Kenapa kau memelukku?"
Chelsea terpejam, merasakan sentuhan hangat pada tubuh Akina. "Karena aku sayang Kakak. Akina sudah seperti Kyosuke bagiku."
Lelaki itu menutupi mulut dengan sebelah tangannya. Pandangan matanya mulai berkaca-kaca saat ia sedikit mendongak guna melihat indahnya langit biru yang di selimuti mega putih.
"Mulai sekarang jangan panggil aku Tuan, karena aku bukan majikanmu." Lelaki itu menundukan kepala saat Chelsea mulai mendongak guna menatap parasnya. Kala itu Akina mencium keningnya dan lalu berkata, "Meski aku bukan dirinya, izinkan aku untuk menggantikan perannya untuk selalu membuatmu bahagia."
Gadis itu terharu hingga ia kembali menyandarkan pelipis kananya pada dada Akina. "Tiada tempat untuk berteduh, hingga aku terjatuh dalam mimpi indahku. Semuanya telah pergi, dan aku tidak memiliki keluarga lagi." Ia mulai terisak. "Dan pada saat itu aku bertemu dengan Akina. Aku merasa beruntung bisa memiliki keluarga baru yang masih sayang padaku seperti Akina."
Lelaki itu terdiam tanpa kata, seakan sulit baginya untuk mengeluarkan suara. Hanya belaian lembut tangannya yang mampu ia usapkan pada kepala Chelsea saat gadis tengah bermanja pada pelukannya.
Dalam hati Akina berkata, "Perasaan ini... Mengapa hatiku gelisa saat ucapan itu terdengar mengusik sepasang telinga. Haruskah aku menjadi seorang Kakak baginya, ataukah menjalin hubungan mesrah layaknya sepasang kekasih pada umumnya. Entahlah, namun ada yang berbeda saat aku melihat bola matanya. Gadis ini, ia sangat tulus menyayangiku, dan aku tidak dapat untuk mempermainkan perasaannya. Aku memang buaya, dan sering mempermainkan wanita. Namun, mengapa hatiku gelisa saat menatap kedua matanya. Apakah ini yang di namakan sebagai cinta..."