Aku duduk menompang dagu, menatap Akina yang sedari tadi mondar-mandir dengan sibuk. Sementara kedua mataku masih terpaku menatap pergerakan disetiap langkah kakinya yang sedikit berhentak di atas lantai kramik bernuasa klasik.
Ia berjalan mendekati jendela, membalikan tubuhnya hanya untuk bersandar pada dinding dapur. Saat ia menundukan kepala, tidak lupa baginya untuk memasukan sepasang tangan pada saku celana. Ya, itulah kebiasaan yang sering ia lakukan sepanjang hari.
"Kakak, siapa gadis bersurai emas itu? Sepertinya hubungan kalian sangat dekat."
Akina mengusap-usap belakang kepalanya. "Ah, tidak juga."
Diriku membuang muka, mengalihkan pandanganku hanya untuk melihat keluar jendela berlapis kaca. "Dia sangat cantik, dan sepertinya kalian cukup serasi untuk menjadi sepasang kekasih."
Ia tertegun sesaat. Dirinya lalu menyisir rambut ke belakang dengan jemari tangannya. "Aku tidak pernah berpikir sejauh itu, Chelsea."
-Flashback-
"Kakak Akina."
Suara datar itu mengejutkan dua pasangan. Akina segera melepas tangan dan menoleh. "Chelsea Matsuda." Lelaki itu sempat menelan ludah dan tawanya canggung. Ia bahkan tak sanggup menatap langsung gadis itu.
Mata Chelsea menyipit, mengamati Akina dan Azumi secara bergantian. "Kakak, siapa gadis itu?"
Akina mengusap-usap belakang kepala sambil menunduk. "Anoo, itu—"
"Aku sudah menduga bahwa ia akan mengikuti kemana pun kau pergi," sahut Azumi.
Chelsea menghela nafas panjang. Ketika ia berjalan, spontan Azumi mundur dan memberi ruang, membiarkan gadis bersurai hitam melewatinya.
-Flashback-
"Namanya adalah Azumi Hamasaki," ucapnya.
Diriku menggeser kursi ke belakang guna memberi cela bagiku untuk berdiri dan bermaksud meninggalkannya seorang diri.
"Tunggu!" Tangan Akina menggapai udara. Firasatnya memburuk seketika, lebih tepatnya firasat buruk itu semakin meningkat setelah seharian menunpuk secara setabil dalam pikirannya.
Aku menghentikan langkah. Memalingkan wajah hanya untuk mengamati ekspresi Akina saat diriku hendak meninggalkannya.
"Aku harus kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam untukmu."
Akina tersenyum. Hanya dia ... yang tersenyum.
********
BARBIE GIRL
My Girlfriend Is Doll
Terdengarnya suara ketukan pada pintu telah berhasil menarik perhatian Akina, membuat dirinya menghentikan langkah dan suara itu senyap seketika.
Daun pintu yang terbuka di bagian samping secara perlahan mulai terdorong ke arah dalam. Terlihatnya sepatu kasual hitam diikuti oleh masuknya seorang remaja yang tengah mengenakan blazer—uniform hitam dengan sebuah headset gaming berwarnakan biru yang masih melingkar pada lehernya.
Seorang remaja dengan rambut cokelat keemasan tersebut bernamakan Fujiwara Takeda, salah seorang siswa di Shinwa High School Academy.
Senyum Fujiwara mengembang seketika saat bertemu dengan lelaki berkacamata bening yang bernamakan Yoshihiro Akina.
Remaja itu segera membungkuk. "Akina-sensei."
"Ah, ternyata kau. Silahkan masuk."
Saat remaja itu berhasil memasuki ruangan, dirinya menoleh ke belakang. Ia seperti mencari-cari sesuatu, padahal hanya ada tembok di belakangnya.
"Oe, Fujiwara! Ada keperluan apa kau datang kemari, hemm?" Akina mengangkat alis, dengan sepasang tangan yang masih terselip pada saku celana.
"Anoo, sensei. Kedatangan saya hanya untuk menyampaikan adanya kabar dari Azumi-sensei. Eh, mungkin saya tidak seharusnya menyampaikan ini, tapi—" lelaki itu terdiam seketika setelah mendapati adanya gadis bersurai emas yang nampak berjalan mendekati Akina.
Perhatian Fujiwara kembali ke gadis bersurai hitam yang kini tengah berdiri di samping Akina.
Gadis itu menarik nafas dan menaikan dagu sedikit. Seketika ia memalingkan muka sembari melipat sepasang tangan di depan dada. "Humph! Gadis itu lagi."
"Fujiwara, mungkin kita bisa perbincang ini sambil makan malam bersama. Bagaimana?"
Senyum Fujiwara mengembang seketika. Wajahnya sedikit memerah saat ia menggaruk belakang kepalanya. "Anoo, sensei. Mengapa kedatangan saya jadi merepotkan Anda?"
Lelaki itu sempat menyelipkan sebatang rokok pada bibirnya sebelum berkata. "Tidak juga."
Pandangan Chelsea teralihkan pada Akina yang hendak mematik korek api pada rokoknya. Secepat mungkin ia mencabut sebatang rokok yang terselip pada bibir lelaki itu dan membuangnya.
Akina terkejut. Ia menoleh. "Hey! Apa yang kau—"
"Jangan kebanyakan merokok! Karena itu tidak baik untuk kesehatan Kakak."
"Memangnya kenapa?" Akina mengendus kesal.
"Tidak boleh, ya tidak boleh!"
"Itu benar, sensei." Fujiwara mendengus tertawa. "Merokok itu itu tidak baik untuk kesehatan, karena dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Seperti serangan jantung, kanker, impotensi, dan ejakulasi dini."
Telunjuk Akina menggaruk-garuk pipi. "Iya, aku tahu. Tapi ... merokok adalah kebiasaan lama yang sering aku lakukan dan hampir setiap hari. Lagi pula, tidak ada hukum negara yang melarang warganya untuk merokok. Benar, kan?"
Gadis bersurai hitam yang nampak kesal dengan ucapan Akina hanya dapat meremas-remas sepuntung rokok pada genggaman tangannya. Sedangkan Fujiwara hanya dapat tersenyum melihat sepasang remaja yang berdiri di depannya.
"Eh," senyum Akina semakin mengembang ketika ia menggaruk pelan, "bagaimana kalau kita makan saja sekarang. Aku sudah mulai lapar. Bagaimana denganmu, Fujiwara?"
"Ide bagus sensei."
Tangan Chelsea menyatuh di depan perut. Ibu jarinya saling mengusap-usap. Dia menggigit bibir bawah, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi sempat tertahan pada tenggorokannya. Matanya sudah tidak bisa bertemu dengan Akina yang telah beranjak pergi meninggalkan ruang tamu bersama Fujiwara, hingga terpaksa ia menatap lantai.
"Anoo ... Kakak."
Sepasang lelaki itu segera menghentikan langkah secara bersamaan. Akina menoleh. "Ada sayang?"
Chelsea sedikit mengangkat kepala hingga pandangannya berhasil menatap punggung Akina. "Aku sudah menggoreng telur ... dan juga memanggang roti." Gadis itu kembali menundukan kepala. "Tapi karena aku tidak pandai memasak, semuanya jadi gosong ...."
Alis Akina terangkat sebelah, secara otomatis dahinya pun sedikit mengkerut seketika. "Whats?! Go—gosong, katamu?"
Lelaki remaja yang bersebelahan dengan Akina hanya dapat mendongak. Pandangan matanya mengamati langit-langit sambil menahan tawa yang kian mengguncang perutnya.
"Jangan tertawa seperti itu." Akina meninju lengan Fujiwara yang nampak memegangi perutnya karena tak kuasa menahan tawa terlalu lama. "Jika kau menertawakan Adikku hanya karena telurnya gosong, aku juga tidak dapat menahan bagaimana rasanya saat telur gosong itu masuk ke dalam mulutku."
Fujiwara yang tak kuasa menahan tawa hanya dapat memukuli dinding di yang berdekatan dengan dirinya. "Hahaha! Sensei, apakah selama ini Adikmu selalu memasak dengan cara ala Chef?"
"Bukan! Sepertinya ia akan mendapatkan nilai terbaik saat mengikuti ajang kompotisi memasak di Master Chef Jepang, bruakaka!"
"Sangking terbaiknya, sensei. Sampai semua makanannya sengaja di buat gosong olehnya, hahahaha!"
"Kau benar! Sampai-sampai, semua orang bisa masuk rumah sakit mendadak hanya karena telur yang gosong itu, hahaha!"
Tawa keduanya memenuhi ruangan itu. Baru kali ini Chelsea melihat Akina bersenda-gurau bersama muridnya, Fujiwara.
Gadia bersurai hitam hanya dapat mengembangkan pipinya. Membuang muka sembari melipat sepasang tangan di depan dada. "Hummph! Memangnya kenapa kalau gosong? Biar pun gosong, kan masih bisa di makan."
Fujiwara tertegun sesaat. Akina mengengagah seketika. Sontak keduanya semakin terpacu untuk tertawa lebih keras dari biasa.
Telunjuk Akina mengarah pada Chelsea Matsuda. "Fujiwara! Hahaha! Gosong bisa di makan, katanya?"
"Hahahaha! Sensei benar."