Sinar matahari yang masuk melewati jendela, bergerak turun perlahan hingga hilang sepenuhnya. Gadis bersurai emas memangku pipi, meratapi kepedihan yang sekian lamanya menusuk hati.
dirinya menoleh keluar jendela guna mengamati keindahan langit jingga saat sinar mentari mulai tenggelam dari singgahsananya.
Azumi-sensei bukanlah wanita yang percaya takdir. Namun belakangan ini ia nampak ragu. Mungkin takdir telah menertawakannya secara diam-diam, terlebih setelah pertemuannya dengan Akina di halaman sekolah pekan lalu.
Wanita cantik bersuraikan emas hanya dapat melamun, mengingat kembali masa indah dengan lelaki pujaan sebelum cintanya bertepuk sebelah tangan.
Gadis itu masih memangku pipi pada tangan kiri dengan malas. Telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk meja marmer dalam ritme pelan. Mata cokelatnya sama sekali tidak memperhatikan makanan yang terletak di atas meja, melainkan terpaku keluar jendela.
Angin dingin sesekali masuk, meniupkan rambut Azumi tanpa merusak keanggunan helaian rambut pirangnya yang bergelombang.
Ada sesuatu yang ia ingat—entah mengapa—beberapa hari ini.
-Flashback-
"Seperti bunga mawar pada musim semi, durimu telah menusuk hati!"
Lelaki itu terdiam tanpa kata, mengeluarkan kepulan asap putih dari dalam mulutnya dan segera beranjak pergi meninggalkan sesosok wanita yang tengah berteduh di bawah pohon cemara.
"Akina-sensei!" Suara datar Azumi menghentikan langkahnya. Akina menoleh, membuang puntung rokoknya ke dasar tanah.
"Jika duriku menusuk hati, mengapa kau datang hanya untuk menanti ketidak pastian yang kumiliki."
-Flashback-
Azumi mengendus kesal bila ingatan itu masih terngiang di dalam benaknya.
"Azumi-sensei."
Suara panggilan itu membuyarkan lamunan Azumi-sensei seketika. Konsentrasinya kembali ke Cafe Makoto yang yang terletak di pinggiran kota. Seorang lelaki dengan syal merah menatap khawatir ke arahnya.
"Azumi-sensei, kau tidak apa-apa?"
Dengan tangan yang masih menompang pipi, Azumi menggerakkan kepala hingga setidaknya ia dapat menatap lurus lelaki itu. "Kau tidak perlu cemas padaku, sensei."
"Aku minta maaf bila sedikit terlambat. Karena aku harus—"
"Membagi waktu dengan Adik manismu itu. Iya, kan?"
Lelaki itu terdiam seketika. Ada suatu kesenangan dan kebanggaan tersendiri yang terpancar dari iris mata milik Azumi. Tentu saja Akina memilih untuk diam dari pada harus memulai perdebatan dengan gadis tersebut.
"Sekian lamanya aku mengenalmu, sekian lama itu kau yang tidak pernah menyembunyikan segala sesuatumu padaku." Azumi memicingkan mata, melihat Akina yang sedari tadi terdiam tanpa kata dan hanya menundukan kepala. "Kau adalah anak tunggal dan tidak memiliki saudara. Lantas, siapa gadis itu?"
Akina terbelalak seketika. Namun ia segera menahan tawa setelah ucapan itu berhasil mengusik sepasang telinga. "Azumi, bisakah kita membicarakan hal lain untuk pertemuan ini? Aku rasa makan dorayaki sambil minum kopi sangat enak. Bagaimana menurutmu?"
"Jangan di biasakan menghindar saat aku bertanya." Azumi mengaduk-aduk jus pada gelasnya. Melihat Akina memakan dorayaki, dirinya mengangkat sendok. Mulut Akina menganga, tapi belum sempat memakan dorayaki, alisnya mengeryit.
Akina tersenyum. Membatalkan niatnya untuk memakan kue tersebut dan menaruh kembali pada piringnya. "Namanya adalah Chelsea Matsuda, dan aku sengaja mengadopsinya."
Tidak puas dengan ungkapan Akina, gadis itu sempat membuang muka. Ia mendengus kesal sebab lelaki yang bernamakan Akina tidak berterus terang padanya. "Tidak masuk akal. Sejak kapan Akina-sensei mengadopsi perawan, jika hanya untuk di jadikan boneka pelampiasan di atas ranjang."
"Aku tidak sehina yang kau bayangkan, dan masih mampu untuk membeli wanita jalang, tanpa harus merenggut kebahagiaan anak orang!" celetuk Akina.
"Ah." Azumi melirik ke bawah. Jus apelnya masih tersisa lebih dari setengah. "Maafkan aku bila sudah membuatmu kesal."
Akina terdiam sejenak. Pandangannya menatap jauh keluar jendela. "Bagaikan seorang Guru yang mengajarkan materi pada siswanya. Seorang Kakak pun juga dapat mengajarkan pesan moral terhadap Adiknya." Lelaki itu menoleh, melihat kembali sesosok gadis bersurai emas.
Azumi menghela nafas panjang sebelum ia kembali tersenyum. "Aku dapat mengerti perasaanmu padanya. Namun, sampai kapan kau yang akan menjaga dirinya? Sedangkan kau bukanlah kakaknya." Azumi menoleh ke pelayan Cafe, yang kini sedang sibuk mengelap meja. Ketika lirikan mereka bertemu, Azumi menunduk sesaat guna memberi salam, lalu menoleh kembali ke arah Akina, "bagaimana pun juga, dia adalah anak orang, Akina. Dan dia pasti memiliki keluarga. Kau tidak bisa menjeratnya dalam asmara dan—"
"Azumi-sensei! Apa apapun yang kulakukan adalah yang terbaik. Dan aku telah berjanji kepada temanku—Kyosuke untuk menjaga adiknya," ungkap Akina berterus terang.
"Meski demikian, kau harus ingat bahwa dirimu adalah idola bagi para siswa. Jangan sampai mereka kecewa hanya karena orang yang di kaguminya ternyata buaya."
Akina menghela nafas sebelum bersandar pada kursinya. "Siapa yang kau maksud?"
"Aiko Nakata, Yumiko Nakamura, dan salah seorang lelaki yang kini tengah bergelut dengan novel barunya. Fujiwara Takeda siswa kelas 2A, yang telah menjadikan namamu sebagai tokoh utama pada novelnya."
Lelaki itu semakin bingung di buatnya. Dirinya hanya dapat meringis sambil menggaruki belakang kepalanya.
"Astaga! Aku tidak menyangka bahwa diriku telah menjadi sorotan banyak siswa."
"Jadi, mari kita kembali ke topik semula. Ada hubungan apa kau dan Chelsea Matsuda?"
Akina menggeser kursinya ke belakang, memberi cela baginya untuk berdiri. "Tidak ada, selain menunggu kelahiran itu tiba."
Azumi tertegun sesaat. "Kelahiran yang bagaimana maksudmu?"
Lelaki itu membalikan tubuh. Tidak lupa baginya untuk memasukan sepasang tangan pada saku celana. "Tentu saja kelahiran anak kami berdua."
Gadis itu mengangah, dengan sudut pandang yang masih terpaku pada punggung Akina. Ia tidak menyangka bahwa seorang Akina-sensei dapat menghamili gadis remaja yang bernamakan Chelsea Matsuda.
Ia berkedip. "Apa kau yakin dengan apa yang kau—"
Lelaki itu menoleh. "Tentu saja aku yakin. Itulah alasan mengapa aku menolak perasaanmu pekan lalu."
"Tapi Akina—"
"Harus berapa kali aku katakan. Jangan mencampuri privasiku!"
Azumi tersentak. Kepalanya menduk seketika saat semilir angin menghembuskan rambut pirangnya yang bergelombang. "Aku peduli karena aku cinta." Gadis itu membasuh sendiri air matanya. "Jika itu pilihanmu, maka aku akan pergi menjauh dari kehidupanmu."
Akina berjalan keluar Cafe, menerobos beberapa pelayan yang berlalu-lalang dan pria-pria yang baru memasuki ruangan.
Akina harus menunggu gadis itu di samping pintu masuk Cafe selagi Azumi membayar makanan.
Begitu melihat Azumi menjejak tanah keluar Cafe, Akina membuang nafas lega.
"Akhirnya kau keluar juga, Azumi."
"Kenapa kau masih berada di sini." Azumi sama sekali tak menatap lawan bicaranya. Melainkan menatap dedaunan yang gugur dari pohonnya.
"Untuk apa kau bertanya bila sudah tahu jawabannya."
Ketenangan suara itu membuat Azumi mengeryitkan alis. "Jika memang cinta itu ada, mengapa masih banyak yang terluka karenanya. Kenapa semua orang harus tersiksa batinnya hingga air mata yang mampu menjawab segala penderitaannya." Gadis bersurai emas masih terisak akan adanya kecemburan yang membakar hatinya. Jemari lentiknya ia pergunakan untuk membasuh air mata. "Aku akan pergi, meski harus kusimpan kepedihan itu dalam hati. Maafkan aku, mungkin inilah jalan yang harus kutempuh demi membuang semua mimpiku untuk menjadi seorang Ratu dalam istanamu."
Akina tersentak seketika. "Kata-kata itu..."
Hembusan angin dingin meniupkan rambut Azumi tanpa merusak keanggunan helaian rambutnya yang bergelombang. "Mimpiku hanya untuk hidup bersamamu. Namun mengapa kau tak pekah, Akina. Kata-katamu sangat pedas, dan kau adalah lelaki perama yang mampu membuatku meneteskan air mata."
"Azumi, aku hanya—"
"Nikmati saja sisa hidupmu dengannya, tanpa harus beranggapan bahwa kita saling mengenal untuk selamanya."
Lelaki itu diam tanpa kata. Berjalan membelakangi Azumi hanya untuk melingkarkan sepasang tangannya pada perut gadis bersurai emas.
"Soal gadis itu, aku hanya membohongimu saja. Maafkan aku jika sudah membuatmu gelisa hingga berlinang air mata."
"Mengapa kau memeluk tubuhku..."
"Karena aku masih padamu. Dan berharap agar suatu saat nanti kau bisa menjadi pendamping dalam hidupku."
"Aku..."
-Bersambung-