Lara hati menusuk jantungku. Kau tawan aku dengan seribu janji manismu. Hingga yang kutahu hanyalah sejuta impian palsu di balik senyum indahmu.
Kusebut namamu dalam anganku, berharap kau tahu betapa pedihnya sisa hidupku. Kau tersenyum dalam sudut pandangku, kutermenung hanya untuk menatap bayangmu. Kakak! Teganya kau meninggalkanku, kau limpahkan sejuta luka untuk menggores lubuk hatiku.
Aku berjalan di bawah terik sinar mentari, berjalan di tengah keputus asaan yang terus menghantui. Melangkah maju hanya untuk memandang semua kepedihan disetiap sudut mata memandang. Tiada senyuman yang terlintas dalam raut wajah yang mulai kusam.
Aku berjalan dengan kekosongan disetiap sudut mata memandang, melalui jalanan Aiwa yang penuh hiruk pikuk kendaraan. Berjalan seorang diri dengan menundukan kepala, menyembunyikan wajah dengan tudung jaket kelabu saat angin dingin berhembus kencang.
Saat keputus asaan itu terus menghantui, diriku mulai berjalan sembari mendangi kerikil kecil yang kutemui. Namum, siapa yang peduli dengan apa yang telah aku rasakan... Semuanya telah tiada, karena Tuhan telah merenggut kebagiaan yang sekian lamanya kunantikan meski hanya dalam bentuk impian.
Kini aku telah melihat adanya seseorang yang juga pernah kehilangan indahnya masa depan. Lelaki itu masih berdiri di pinggir jembatan, melihat indahnya pesona alam saat langit berwarna jingga, kala senja telah tiba.
Aku berjalan mendekatinya. Ketika aku hendak menepuk punggungnya, Ia menoleh menatapku dengan penuh kegelisahan. Entah apa yang tengah ia bayangkan. Yang kutahu ialah ekspresi dengan wajah Akina yang datar.
"Apa yang kaulakukan." Suaranya terdengar datar dengan asap rokok mengepul keluar dari rongga hidung dan mulutnya. Ia mendesis sembari mengeluarkan sisa asap dari dalam mulutnya.
Aku membuka tudung jaketku, membiarkan angin dingin menghempaskan disetiap helai rambutku. "Tuan Akina, aku hanya merasa bosan bila harus berdiam diri di dalam rumah."
"Jika kau memaksa, maka aku pun tidak memiliki kuasa." lelaki itu menghelakan nafas panjangnya, membuang puntung rokok yang masih menyala.
"Tapi—"
Akina sedikit mendongak, membiarkan semilir angin menghempaskan disetiap helai rambutnya. "Lebih baik bertemu iblis yang bertopengkan Dewa, dari pada menyembunyikan serigala berbulu domba."
Sepasang mata terbelalak seketika saat ucapan itu terdengar mengusik telinga. Pribahasa itu terasa menyakitkan dada, menggores lubuk hati yang lara, hingga membuat mulutku terbuka tanpa dapat mengeluarkan suara.
Aku sempat mendongak, mengamati indahnya langit jingga saat mentari hendak tenggelam dari singgahsananya, "Maafkan aku, mungkin aku yang salah. Aku harus pergi."
Diriku menurunkan kepala dan bermaksud untuk beranjak pergi meninggalkannya. Namun ada jeda yang mampu membuatku menghentikan langkah, tepatnya saat ia meraih pergelangan tanganku dengan cengkraman eratnya.
"Lepaskan aku! Lepas!"
Aku merontah, mencoba untuk melepaskan genggaman eratnya pada pergelanganku. Pandangan matanya seketika menjadi hampa kala ia melepasnya dan membiarkanku beranjak pergi darinya...
Akina melihat punggungku saat diriku terus berjalan dan kembali mengenakan tudung jaketku. Ia gelisa, seperti ada ungkapan yang sengaja di rahasiakan dalam dada. Namun, ada jeda yang mampu membuatku menghentikan langkah meski itu hanya sesaat saja. Ucapan itu...
"Kyosuke-sama telah pergi dan tak mungkin dapat kembali. Menangis pun tiada arti meski kau harus bersujud berulang kali," lelaki itu berpaling muka, menatap derasnya aliran sungai Aiwa, dan segera kembali untuk melihat diriku yang nampak menghentikan langkah, "Chelsea! Sampai kapan kau bersedih, haruskah kau menangis di dalam senyuman hanya untuk memanipulasi semua keadaan."
Luka itu menusuk jauh dalam raga, hingga membuatku kesulitan untuk berkata. Hanya setetes air mata yang menjadi saksi akan adanya semua derita. Kakak Kyosuke telah tiada, begitu pun dengan Ayah. Aku hanyalah sebatang kara yang sama sekali tidak memiliki keluarga. Mengapa Tuhan memberikan kehidupan kedua jika hanya untuk mengulang masa lalu yang tersimpan dalam dada.
Seluruh jemariku mengepal seketika, disaat ucapan itu terdengar mengusik sepasang telinga. Diriku menundukan kepala, menahan rasa sakit yang bergejolak dalam dada. Hingga pada akhirnya diriku tak kuasa untuk menahan lajunya air mata.
"Aku memang tidak memiliki kekuatan untuk kembali dan mengubah masa lalu. Tetapi aku memiliki kekuatan untuk mengubah masa depan," jemariku mengepal seketika, di saat lara hatiku kian menggebuh dalam dada, "Meski aku terluka, dan lara hatiku kian menusuk dalam dada, bukan berarti aku berdiam diri saja. Aku akan mengubah segalanya, mengingat kisah indah yang pernah menjadi sebuah kisah meski kini keluargaku telah tiada."
"Maafkan aku," lirihnya seraya menundukan kepala, seakan ia menyakini bahwa dirinya yang bersalah.
Hening. Itulah yang terjadi setelah diriku melanjutkan langkah dan beranjak pergi. Meski kutahu bahwa lelaki itu telah menyesali perbuatannya, bagiku jawabannya adalah perpisahan di antara kami berdua.
Tiada lagi yang dapat kupercaya, hingga lelaki yang kuanggap sebagai utusan Dewa hanyalah serigala berbulu domba yang memiliki jiwa iblis penjaga gerbang neraka.
Nafasku kian menggebuh, saat diriku terus memacu langkah kaki lebih cepat guna menghindari lelaki yang sempat mengejarku. Tak peduli seberapa banyak butiran keringat dingin yang bercucuran membasahi dahiku. Tak peduli seberapa jauh diriku berlari guna memacu langkah kakiku. Karena tujuanku hanyalah untuk mencari titik terang dari sukarnya hidupku.
Aku adalah sesosok arwah yang di reinkarnasikan pada tubuh boneka, guna menjalani kehidupan kedua layaknya manusia pada umumnya.
Aku berlari dengan sisa tenaga yang kumiliki, hingga pada akhirnya aku tersungkur dan tak mampu lagi untuk berdiri. Ditengah luasnya padang rumput hijau aku terbaring, merintih menahan rasa sakit yang kian menyelimuti hati.
Kunang-kunang berterbangan di tengah hamparan udara, memberikan sepercik cahaya terang dengan warna kuningnya.
Keindahan kunang-kunang telah memberikan aku warna, seperti gemerlap cahaya bintang yang menunjukan sinarnya saat malam telah tiba.
Keindahan serangga ciptaan sang maha kuasa, berpadu dengan semerbak keharuman mewangi bunga, memberikan senyuman indah pada diriku yang selalu gelisa.
"Chelsea Matsuda....! Chelsea... Di mana kau...! Chelsea....!" Suara lentang itu terdengar jelas mengusik indra pendengaranku.
Seorang lelaki menyusuri ribangnya rerumputan, berjalan seorang diri dengan pandangan yang menyebar kesepenjuruh arah bagian. Sesosok pria dengan jas hitam tiada hentinya menyebut namaku dengan suara lentangnya.
Ia bertekuk lutut di tengah luasnya rerumputan yang di penuhi oleh kunang-kunang. Mengangkat dagu hanya untuk mendongak guna melihat indahnya angkasa yang di penuhi oleh gemerlap cahaya bintang dan terangnya sinar rembulan.
Akina mengeryit. Jemari tangannya mengepal seketika untuk di hantamkan ke dasar tanah. "Kemana aku harus mencari. Mencari ketidak pastian yang mulai menyelimuti hati," ia menghelakan nafas panjangnya, "Seandainya kau mengerti, mungkin perpisahan ini tidak akan pernah terjadi. Aku hanya menaruh rasa simpati, tapi mengapa kau tak pernah mengerti bahwa aku sangat menyayangimu, Chelsea."