Daniel membuka kedua bola matanya, ia memperhatikan seluruh sudut bangunan ini, hingga tatapannya terkunci pada seorang gadis yang berada disampingnya dengan tatapan yang sedikit, emm-aneh.
"Where am i?" Tanya Daniel setelah nyawanya terkumpul.
"Uks sekolah." Jawab Gadis itu singkat, namun dengan senyum kecil.
Daniel melihat kearah kanannya, dan ia melihat Davial, yang sedang memegangi kepalanya sambil terduduk diranjang khusus orang sakit itu.
"Siapa namamu?" Tanya Daniel tetap melihat kearah Davial.
"Arlin, Om."
Tunggu? Daniel tidak salah dengarkan? Om dia bilang?
Daniel yang merasa tersinggung segera menoleh kearah Arlin, dan Arlin yang meresa dirinya ditatap dengan tatapan tak bersahabat itu segera menyudahi kegiatannya yang sedang membaca novel online.
"Kenapa Om? Saya ada salah?" Tanya Arlin sedikit 'takut'.
"Memangnya saya setua itu sampai kamu panggil Om?" Daniel menautkan alisnya, yang membuat gadis dihadapannya terkekeh kecil.
"Ya saya harus panggil apa lagi? Masa udah 28 tahun saya panggil kak?"
Arlin hanya menggeleng gelengkan kepalanya sembari mengambil ponsel yang ia taruh disaku tadi. Lagipula, ucapannya tidak salah, pikir Daniel.
Namun tetap saja ia tidak suka, dari sekian banyak panggilan, kenapa pria tampan dan gagah sepertinya harus dipanggil Om? Seperti tidak ada panggilan lain saja, sungguh menyebalkan.
"Kenapa pusing sekali..." Batin Davial yang terus menerus memegangi kepalanya.
Tidak adakah orang yang bisa membatu Davial? Kepalanya sangat berat sekarang, untuk menggeserkannya saja terasa seperti ada batu yang ditaruh diatas kepalanya.
"Biar kubantu." Suara yang sangat familiar masuk kedalam pendegaran Davial.
"Tumben kamu ceroboh, Vial. Biasanya kamu itu paling waspada." Lanjut wanita itu sambil menyenderkan tubuh Davial.
Deg
'Lexci?' Gumannya dalam hati.
Sejak kapan Wanita ini berada di dekatnya? Melihatnya datang saja sepertinya tidak.
"Kenapa kau disini?" Tanya Davial masih setia memegangi kepalanya.
"Cassa menelfonku, dia bilang ada hal buruk yang terjadi, jadi aku dan yang lain memtuskan untuk datang kesini." Jawab Lexci yang kini memberikan obat dan segelas Air.
Padahal, memberikan obat pada orang yang sakit itukan hal wajar. Namun apa boleh buat, hal lain bisa saja terjadi pada orang yang sedang jatuh hati bukan?
Jantung Davial berdegup lebih kencang, padahal hanya perhatian kecil yang Lexci berikan, dan ini juga bukan yang pertamakali. Namun tetap saja, sampai kapanpun jika perasaannya tidak disampaikan akan selalu deg deg-an jika berada didekat sang malaikat hati.
"Kau tidak boleh pergi kemanapun selama satu minggu ini. Obat bius itu berdampak sangat buruk terhadapmu, jadi aku akan membantu adikkmu untuk mengurus bayi besar Davial."
Apa ini, Lexci kan hanya ingin membantu, tapi kenapa jantungnya seperti ingin lepas dari tempatnya?
"Terserah padamu Lexci.." Lirihnya masih tak berani menatap Lexci.
Lexci tersenyum senang saat mendegar persetujuan dari Davial. Setidaknya, ia satu langkah didepan untuk memperjuangkan hatinya. Yah, katakanlah mereka saling suka, namun diantara keduanya tak berani mengungkapkan hal itu.
"Ah, sepertinya kepalamu itu bisa jadi modus ya, Vial." Sambar Daniel yang dari memperhatikan kedua orang itu.
Lexci dan Davial saling memalingkan wajah satu sama lain, kini wajah diantara mereka sama sama memerah. Si Niel itu, sudah tua masih saja menganggu anak muda. Cibir Lexci dalam hati.
Arlin dan Daniel hanya tertawa kecil melihat reaksi keduanya. Dari raut wajah Arlin, ia menangkap sesuatu, manik mata gadis ini ketika tersenyum sangat mirip dengan seseorang yang masih ia sayangi sampai saat ini, yah, walaupun ia sudah menikah.
******
Yohan POV.
Sakit. Itu yang kurasakan saat aku membuka kedua bola mataku. Dimana sekarang aku berada? yang kulihat hanyalah sebuah ruangan yang bernuansa serba putih, dan sedikit...bau obat.
'Rumahsakit' Terkaku saat menyadari dimana aku berada.
"Paman? Apakah lukamu masih sakit?"
Suara Cassa yang lembut kini masuk kedalam gendang telingaku, aku mengedarkan pandangan keseluruh ruangan ini, namun tidak ada siapapun disini.
Dan dalam waktu 5 detik, kepalaku terasa sangat sakit, sangat teramat sakit!
Bayangan bayangan kejadian tadi, dan kejadian 7 tahun lalu, dengan tanpa seijin dariku mulai bermunculan kembali. Nafasku mulai tidak terarur, jantungku berdegup dengan sangat kencang.
Pandanganku pun mulai pudar, namun seperti enggan untuk membuatku pingsan.
"Yohan...."
'Dorr!'
"Yohan tolong aku! Di-disini sangat panas Yohan!!"
"Nak, ibu mohon, selamatkan ibu sekarang..."
'Bughh'
"YOHAN PERGI! MEREKA TIDAK BISA SELAMAT!"
"TOLONGG! DISINI MASIH ADA PAMAN DAN AUNTY!"
'Brak!'
"Maaf tuan, saya harus mengatakan hal tidak baik ini...tapi..."
"CUKUP! SUDAH CUKUP!"
"ARRGGHH!"
"BODOH! KAU PENGECUT YOHAN!"
Aku terus memukul mukul diriku sendiri dengan keras, sakit, kecewa, dan takut, kini menyatu menjadi satu. Kenangan buruk ini tidak pernah hilang dari pikiranku, kumohon Tuhan, biarkan aku tebebas!
"Paman! What happend!"
Suara yang sama, yang dulu menolongku, dan menenangkan hidupku untuk sementara waktu.
"Paman, open your eyes.." Ujarnya seraya menarik kedua tanganku.
Kulihat Cassa sudah menatapku dengan wajah khawatir, dia menunggu sesuatu dariku, mungkin sebuah penjelasan. Mungkin.
"Ada apa? Apakah ada sesuatu yang terjadi, Paman?" Kini Cassa mensejajarkan wajahnya denganku, mentapku dengan tatapan yang gusar.
"Nothing—hanya—bayangan masalalu saja." Jawabku disertai senyum simpul.
"Aku tidak percaya itu, Paman, katakanlah padaku." Rengeknya dengan bibir yang sedikit mengerucut.
"Traumaku, kumohon, jangan biarkan aku mengingatnya, Ya?"
Cassa membalasnya dengan tatapan terkejutnya, dia mengangguk kencang dan memasang sedikit senyuman diwajahnya.
"Maaf paman, aku tidak tahu itu.." Ucapnya seraya menempelkan kedua telapak tanganya.
"No problem, you don't know that." Balasku seraya mengelus pucuk kepalanya.
Cassa mengambilkan beberapa makanan untuk ku, dan menyodorkan segelas Air dan tiga kaplet obat. Diminum setelah makan, katanya.
Setelah aku menyelesaikan makanku dan meminum obat, Gadis ini ijin pamit, dia bilang masih ada sesuatu yang harus ia kerjakan. Mengingat dia sudah menungguku selama 2 jam, dari jam 1 siang hingga jam 3 sore.
"Telfon aku jika terjadi sesuatu." Ucapnya saat hendak menutup pintu.
Setelah itu, Cassa menghilang dan tidak menampakan dirinya lagi, sekarang, aku sendiri lagi.
Aku menatap langit langit ruangan bernuansa serba putih ini. Aku mengangkat lenganku keatas, dan aku baru mneyadari bahwa ada selang yang menempel disana, kuraba hidungku yang juga dipasangi benda yang sama.
Saat Cassa disini, aku bahkan tidak merasakannya, sejak kapan itu dipasangkan? Ah, entahlah.
'Krekk'
Aku menoleh kearah pintu, sedikit demi sedikit celah itu berubah menjadi besar, dan menunjukan Reoden, sedang berkaca pinggang di bibir pintu.
Dia lalu menutup pintunya, dan berjalan kearahku dengan tatapan yang tak pernah berubah, dari awal sampai sekarang aku mengenalnya.
"Everything is ok, bro?"
Dia duduk diujung ranjang tempatku terbaring saat ini, aku menatapnya melas, apakah dia tidak melihat bahwa diriku sedang dipenuhi dengan selang sekarang?
"Like you see. Not good's." Ujarku seraya mengalihkan padanganku.
Dia hanya menghela nafasnya, mulai melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala, entah apa yang ia cari, selalu saja seperti ini.
"Ada yang berubah darimu. And, siapa gadis yang tadi keluar dari kamarmu?" Ucapnya setelah menyesaikan kegiatannya.
"Next special person."
"i think, i've meet with her." Ujarnya seraya mengidikan bahu.
"Aku tidak menyangka, kau akan membuka hati lagi, Al." Dia menepuk nepuk pundakku, seraya membuka mulutnya lagi. "Walau pada seorang gadis kecil." Lanjutnya seraya menyunjing senyum menggoda.
Reoden, aku yakin Cassa tahu siapa dia. Seorang Mafia berdarah dingin, begitu orang orang menyebutnya. Tapi yang kutahu, dia adalah orang yang paling menyebalkan yang pernah aku temui, sangat menyebalkan.
"Kau saja yang tak kunjung mendapat pendamping."
"Hanya mencari orang yang pas." Balasnya. "Aku senang, kau sudah bisa melupakan Reonin, adik ku."
Sebenarnya, aku tidak pernah bisa, dan tidak bersedia untuk melepasnya. Namun, aku harus mengikhlaskannya, untuk selama lamanya.
Reoden kini hanya tersenyum kecut menanggapi ucapanya sendiri, ia tidak ingat bahwa yang ia ceritakan adalah adik kesayangannya, yang paling ia sayang.
Aku beralih menepuk pundak Oden, begitu aku memanggilnya. Kini dialah yang tampak tak rela ditinggalkan oleh mendiang Reonin untuk selama lamanya.
"Itu masalalu, berdamailah, masa depan menunggu kita, Oden." Ujarku pelan.
Dia hanya mengangguk kecil untuk menanggapi ucapanku, pandangan kami sama sama mengarah kearah luar, ketenangan tadi yang Cassa ciptakan, masih setia melekat diruangan kecil ini.
*****
Sudah satu minggu berlalu, sejak kejadian itu operasional dimarkas masih belum dimulai. Alasannya ya karena kami masih cedera, dan masih ada beberapa kendala yang harus diselesaikan.
Dalang dibalik kejadian hari itupun masih belum diketahui siapa pelakunya. Pertama kali James datang untuk menyapa orang orang yang berada disekolah milik mendiang Paman, malah disambut dengan keributan super amazing.
'Bruk'
"Eh Paman?"
Aku membalikkan tubuku, kulihat Cassa dengan style casual, ditemani seorang Lelaki jangkung yang sedang menenteng sebagian kantong belanjaan.
"Kau sedang apa disini?" Tanyaku seraya mengambilkan barangnya yang jatuh.
"Berbelanja keperluan, Om." Jawab Lekaki itu.
Aku melirik kearah Cassa sambil menautkan kedua alisku, meminta penjelasn kenapa bocah laki laki ini menyebutku dengan sebutan Om.
"Ah Paman, dia Adikku, Rehan. Rehan, ini senior gue, Paman Yohan." Ucapnya saat menyadari tatapanku.
"Salam kenal, O-emm Paman." Ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Aku membalas uluran tangan lelaki yang sempat aku kira sebagai 'pacarnya' Cassa. Karena melihat dari perawakannya yang tinggi, dia seperti Kakak yang sedang membawa adiknya.
"Senang bertemu dengamu, Rehan." Ucapku dengan senyuman ramah.
"Paman, ngapain disini?" Kini Cassa yang bertanya padaku.
Jika dipikir pikir, benar juga, mengapa aku berada disini?
"Hanya mencari angin." Jawabku asal sambil mensejajarkan wajahku dengan wajah Cassa.
Aku yang menyadari apa yang tengah aku lakukan, langsung menarik kembali kepalaku. Kulihat Rehan sedang menahan tawa dibelakang sana. Aku menarik nafasku untuk meninggalkan rasa canggung diantara kami.
"Kalo gitu, kita pamit dulu ya Paman, mampir kerumah kalo bisa, Mantel Paman masih ada dilemari kak Cassa soalnya." Ucap Rehan yang mendapat cubitan dipinggang saat menarik lengan atas Cassa.
Aku hanya tertawa kecil melihat tingkah laku kaka beradik itu, mereka berdua sangat akur, pasti keluarga mereka juga sangat harmonis. Emm, mengingat hari itu Cassa mengatakan bahwa Ayahnya telah berubah, sepertinya aku salah dalam mengira.
Ah, apapun itu, semoga semuanya akan kembali membaik.
Yohan POV Off.
~~~~~~~