"Mereka..."
Flashback On.
Jane POV on.
"Cassandra gak datang kesini ya?" Tanya Rafael seraya melihat kekanan dan kekiri.
"Engga, dia sibuk. Eh btw kalian gak akan ngenalin diri ke kita? yang lain udah tuh." Jawabku untuk menimpali pertanyaannya.
"Rafael terlalu malas untuk memperkenalkan diri. Gue aja deh. Nama gue Bagaskara Andhito Ruuth. Panggil aja babang ganteng ini Bagas." Ucapnya Narsis.
"Pede lo ganteng." Sambil memukul kepalanya, Alexi dengan santai mengambil tempat untuk duduk disebelahku, yang tepat berada di depan Bagas.
Aku mengajak para wanita untuk duduk bersama, membicarakan hal hal yang memang hanya boleh diketahui sesama wanita lagi.
Aku melihat Rafael berjalan kearah dalam Cafe. Sedikit mengingat ucapan Cassandra yang melarangku untuk mengijinkan siapapun masuk kedalam, dengan sigap, aku berjalan kearah Rafael dan menghadang jalannya.
"Maaf Raf, tapi Cassandra ngelarang gue buat ngijinin siapapun masuk."
Wajah Rafael memang terlihat tegang dan terkejut. Dia menarik nafasnya, dan membuka mulutnya seolah akan mengatakan sesuatu.
"Ah sorry, gue gatau."
"Rafael emang suka nyelonong hahahah"
Aku hendak menjawab ucapan Rafael, namun dengan segera Bagas menarik lengannya, seolah ada sesuatu yang dia sembunyikan.
"Kenapa Jen?" Tanya Arlin begitu aku kembali ketempat duduk.
"Nothing, cuma inget pesan Sasan aja." Jawabku seadanya.
"Penjagaannya ketat." Ujar Maria yang sekarang sudah menemukan dua kamera kecil yang memang sengaja disembunyikan Sasan.
"Wajar aja, Cassandra kan bukan orang biasa.."
Aku, Arlin, dan Maria hanya menanggapi ucapan Alexi dengan anggukkan. Karena memang tak bisa dipungkiri, apa yang dia katakan itu benar adanya.
Cassandra, memang bukan orang biasa, mangkanya dia selalu berkata padaku, apakah aku benar benar siap untuk menjadi sahabatnya.
Karena, dibelakangnya, memang sangat banyak Mafia jahat yang mengincar Cassandra sebagai salah satu penerus Halther Group. Dan lagi, mengingat dirinya banyak dipanggil untuk membantu para polisi memecahkan masalah, juga mencari tahu tentang persembunyiaan para kriminalitas di dunia ini.
Semua latar belakangnya, bisa saja menjadi boomerang bagiku. Sedikit saja aku ceroboh, sepertinya mustahil bagiku bisa melihat dunua ini lagi.
Jane POV Off.
Dari kejauhan, gerombolan anak muda yang sekarang sedang berkumpul ini dapat melihat ada orang yang berjalan menuju Cafe milik Cassandra.
"Daniel"
"Yohan"
"Davial."
Jordan, Bagas, dan Maria menyebutkan satu persatu dari tiga srikandi yang kini sudah berjarak sekitar 2 meter dari tempat mereka masing masing.
"Kalian kenal?" Bisik Jane pada Maria dan Alexi.
Kedua wanita yang ditanyai oleh Jane mengangguk, mereka mulai mengalihkan pandangan kearah Tiga Pria gagah dihadapan mereka.
Rio POV.
Kini anggota tongkrongan kami bertambah tiga orang. Yah walaupun ketiganya tidak terbilang seorang remaja, tapi mereka juga terlalu muda untuk kita sebut tua.
Disebelahku, ada Rafael dan Bagas yang sedang beradu mulut sengit. Kami hanya duduk bertiga, yaps bertiga.
"Lagian lo ngapain hah masuk ke Inti Cafenya?" Tanya Bagas dengan nada sinis.
"Apa urusannya sama lo? Gausah kepo jadi orang." Dengan tatapan tajam, Rafael kini sudah mengepalkan kedua tangannya.
"Gimanapun, lo itu harus dicurigai. Lo boleh ngincer Cassa, tapi jangan coba coba buat merambah ke hal lain. Ngerti? Lagian, setelah gue pikir pikir, lo gak cocok buat dia."
Aku mengerti kearah mana Bagas bicara sekarang. Dari awal memang Rafael terlihat mencurigakan, namun Bagas juga seharusnya tidak boleh berkata seperti itu padanya.
"Eh bro udah, kalian jangan berantem lagi, gue yakin kalian cuma salah paham aja." Ucapku seraya menunjukkan deretan giri rapihku.
Naasnya, ucapanku tidak digubris sama sekali. Kini Rafael menarik lengan Bagas dan membawanya kebelakang Cafe. Sontak saja itu membuat kami yang berada disini terkejut, dan sialnya, mereka malah menatapku seolah aku tahu segalanya.
"Ada apa?" Tanya Jordan padaku.
"Ah engga, itu Rafael minta anter Bagas aja." Jawabku asal.
Sebelum hal buruk terjadi, aku dengan alasan ingin menambah makanan menyusul mereka yang kini sudah menjadi tontonan para karyawan.
"Sstt, kerja, ada pelanggan tuh" Ucapku mencoba mengalihkan fokus mereka.
'Bugh!'
'Bugh!'
'Bugh!'
Tiga pukulan, mendarat di wajah dan perut Bagas yang kini sudah terkapar ditanah. Fatur dan Jane yang mengetahui ada hal janggal terhadap mereka segera menyusulku dan ikut menyaksikan tontonan tak senonoh ini.
"Gue, Rafael Gustiwa, sekali lagi memperingatkan lo agar enggak ikut campur masalah gue! Gue bakal ngedapetin apapun yang gue mau, dengan cara gue sendiri. Ngerti lo?!"
Dengan cepat, aku menghampiri kedua orang yang sudah terluka cukup parah. Dibantu Fatur dan Jane, kami bertiga berusaha untuk memisahkan dan menenangkan mereka berdua.
"Fatur, lo anterin Rafael balik. Jane, lo anterin Bagas balik." Putusku saat melihat luka mereka yang sangat terlihat kepermukaan.
"Lo harus bisa cari alasan Rio, jangan sampe pertengkaran mereka nyampe ketelinga orang orang yang ada didepan." Ucap Jane dengan nada Serius.
"Serahin ke gue." Balasku seraya meninggalkan Mereka berempat.
Sebisa mungkin aku memasang wajah transparan tanpa ketegangan atau hal sebagainya.
Satu persatu orang mulai menatap kearahku, terutama Arlin, yang kini sudah memberikan tatapan tajamnya kepadaku.
"Jen mana?"
Pertanyaan itu lolos keluar dari mulut wanita es ini.
"Diajak Bagas jalan tadi, katanya mau pdkt." Jawabku yang hanya di'oh'kan oleh mereka.
"Kalo fatur?"
"Dia..dia ada urusan, ngomongin masalah komputer sama Rafael." Aku sudah tidak tahu harus menjawab apa, daripada semakin gugup, akupun ikut duduk bersama empat pria yang ada dihadapanku sekarang.
Mereka berempat setidaknya lebih tenang dan tidak banyak bertanya, seolah mereka tahu, apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Rio POV Off
Flashback Off.
"Pantesan aja Alexi bilang Bagas suka sahabat gue. Ternyata ini alasannya." Ucapku setelah mengetahui segala permasalahannya.
"Tapi, Rafael juga mencurigakan kak." Ujar Rehan seraya beralih menatapku.
"Mungkin...mungkin aja dia ada perlu sesuatu. Rafael orang baik kok, percaya sama gue."
"Yang Sasan bilang ada benernya, soalnya pas gue nganterin dia balik, gak ada yang aneh juga dari gerak gerik dan kata katanya." Sambil menyeruput Ice Coffenya, Fatur melanjutkan perkataanku.
"Bener juga, tapi, yang Bagas bilang juga harus lo garis bawahi, kalau Rafael pengen 'ngedapetin' lo."
Aku hanya menghela nafas dan memutar kedua bola mataku untuk menaggapi ucapan Rio yang satu ini. Pasalnya, Rio bukanlah orang pertama yang berbicara mengenai Rafael yang seolah menaruh rasa kepadaku.
Masalah perasaan, bagiku, suka atau tidak, yang terpenting itu adalah komunikasi harus tetap terjaga, kapanpun, dan dimanapun, kita berada.
*****
Lelah. Satu kata itu keluar dari lubuk hatiku yang terdalam, mengingat sore tadi aku membantu para pegawai yang sedang kebanjiran pelanggan.
Senja sudah berganti dengan indahnya langit malam, yang pasti akan selalu aku tatap ketika aku senggang.
"Hai kak."
Aku tersenyum ketika melihat Ana datang dan mengambil tempat untuk duduk disebelahku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu adikku yang sangat aku sayangi ini.
"Apa kabar, Dek?"
Pertanyaanku hanya dibalas senyuman sendu, seolah dia tidak baik baik saja selama tinggal bersama Ayah.
"Ada apa? Cerita sama Kakak, ada orang yang nyakitin kamu?" Tanyaku khawatir.
"Gak ada apa apa kok, cuma...aku kangen aja sama kakak" Jawabnya yang kini menatapku dengan senyum manisnya.
"Kakak tau kamu kanget kaka, Ana. Tapi kamu gabisa bohong sama kakak."
Aku mengubah posisiku, dari duduk menyamping, kini duduk berhadapan dengan Adikku. Menatap matanya, dan meyakinkannya untuk menceritakan apa saja masalahnya selama tiga tahun ini.
"Orang rumah—ga ada yang baik sama aku, Kak."
Satu tetes airmata mendarat dipipi adikku. Menangis? Tentu saja iya. Aku ikut mengeluarkan air mataku ketika tangisan adik ku terdengar jelas ditelingaku.
"Aku, aku udah kayak orang asing disana...mereka baik kalo ada Ayah. Orang yang selalu belain aku juga jarang kerumah karena sibuk..."
"Kadang Ayah juga lebih percaya mereka dibanding aku, Kak."
"Aku gatau harus cerita sama siapa, setiap aku ngadu....pasti aku yang disalahin.."
Dia mendongkakkan kepalanya, menunjukkan sebuah senyuman yang diiringi tangisan yang belum berhenti. Aku terluka, sungguh sangat terluka. Tidak masalah jika mereka ingin menyakiti diriku, akan tetapi jangan pernah menyakiti keluargaku, walaupun yang melakukan hal itu juga keluargaku.
"Kamu mau ya, tinggal sama kakak sekarang? Kakak mohon dek.."
Sambil mengusap kepalanya yang kini berada didekapanku, aku mengakatan hal itu untuk yang kesekian kalinya.
"Tapi nanti Tante Mira nyakitin Ayah Kak..."
Aku sangat ingat akan hal itu, bukan aku tidak peduli kepada Ayahku. Mengingat Tujuan Tante Mira, ralat, mantan pembantuku memiliki tujuan hina dibalik keberhasilannya menikahi Ayahku.
Namun, harta warisan akan tetap turun kepadaku, karena aku anak pertama, dan aku yang berhak untuk menentukan siapa saja, yang memang memiliki hak atas warisan yang diturunkan kepada Ayahku.
"Dek, ini kamu memar kenapa?" Aku menarik tangan kanannya, ternyata tidak hanya satu luka, namun ada tiga luka memar yang ada ditangan adikku.
"Ini..."
"Kenapa dek? Siapa yang ngelukain kamu?" Tanyaku dengan nada yang sedikit tinggi.
"Aku gamau dikatain tukang ngadu, Kak." Jawabnya gusar.
"Sekarang kakak mau kamu bilang ke kakak, kakak yang nyuruh kamu ngomong. Bukan kamu yang tiba tiba cerita ke kakak. Ngerti?" Ucapku terus memaksanya berbicara.
Lecia terus menundukkan kepalanya, seolah dia enggan menjawab pertanyaanku, karena mungkin itu akan menyakiti hatiku. Tante Mira itu memang orang yang bermuka dua, di depan Ayah dia baik, dibelakang Ayah, bahkan untuk mengakui dia seorang manusia saja aku tidak sudi.
Perlakuannya padaku dan adikku masih sangat terekam jelas diotakku, bagaimana dia mengurung kami, menyiram, bahkan memberikan makanan sisa dengan cara menendangnya, sungguh, itu tidak akan pernah aku lupakan.
Dan dengan iblisnya, dia mengadu pada Ayah bahwa akulah yang menyakiti adikku, dan juga anaknya yang sama iblisnya dengan Tante Mira.
Andaikan Ayah tahu, andaikan..
"Kak.."
Aku memfokuskan kembali pandanganku padanya, dan melihat wajahnya yang sekarang semakin sendu.
"Kenapa, kamu udah mau bilang ke kakak siapa yang bikin tangan kamu memar ini?"
Leciana mengangguk kecil, dengan satu tarikan nafas, dia menatapku terlebih dahulu dan membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan yang sedari tadi di lemparkan padanya.
"Ayah...ayah yang ngebuat tangan aku memar kak.."
Aku hanya diam tak berkutik, mulutku ingin mengatakan sesuatu, namun rasanya itu sangat sulit. Mataku mulai berkaca kaca, menatap percaya tak percaya pada adikku yang kini sudah mengusap air mata yang jatuh satu persatu kepipinya.
"Kenapa? Kenapa harus Ayah?!"
Cassandra POV Off.
~~~~~~