Chereads / Love In The Action World / Chapter 26 - Twenty-Seven. Hari senin hari Rumit

Chapter 26 - Twenty-Seven. Hari senin hari Rumit

Hari senin lagi. Entah mengapa, rasanya malas sekali jika harus berhadap dengan hari senin. Apalagi sekarang adalah ujian kelulusanku, berhubung aku anak IPA, otomatis dihari senin yang cerah ini jam pertamanya adalah Fisika.

Bagai disambar petir dihari yang cerah. Katakanlah begitu. Rasanya, apa yang aku makan ketika sarapan tadi seperti tidak meninggalkan jejak apapun didalam perurku.

Tapi ada hal yang lebih menyebalkan, karena namaku berawalan C, alhasil aku duduk paling depan. Kalau sudah seperti ini, sulit bagiku untuk menanyakan sesuatu pada murid yang paling rajin disini.

Aku tidak pintar, hanya saja aku bisa mengerjakan soal soalnya, itupun karena aku ingat dan mengerti. Jika tidak, aku yakin, satu soalpun tidak akan ada yang terjawab.

"Anak anak, pengawas kalian sekarang adalah adik sepupunya pemilik sekolah ini. Tuan James Houre."

Aku yang sedang membulati huruf huruf yang ada dikertas ini sontak diam untuk sejenak. Sekolah ini...milik Tuan Houre? Jadi...minggu lalu mereka datang kesini..untuk mengunjungi sekolah ini? Kemana saja aku? Kenapa baru tahu hal ini sekarang? Ketika aku sudah hampir lulus.

"Nah ini, bapaknya udah datang."

Aku menoleh kearah pintu kelas, dan kini kulihat orang yang sangat Familiar, Yohannara Malikkan Houre. Ibu Anjani ini, Yohan kan masih 26 tahun, harusnya dipanggil...ya...eum...emang cocoknya Pak sih kalo disekolah.

"Selamat pagi anak anak."

"Pagi Pak!"

Aihhss, kebiasaan cewe cewe nih kalo liat yang bening dikit, kalo engga caper, ya berisik.

Prinsipku, jika aku dan 'teman' kerja, sekolah, event, atau sebagainya, akan saling bersapa salam, dan memperlihatkan keakraban hanya ketika diruang lingkup itu saja, tidak disembarang tempat. Jika hanya ingin menyapa tidak apa, selebihnya, jika diluar konteks tadi, kita tak saling mengenal.

"Mata pelajaran apa hari ini? Nomor Absen 04 siapa ya?"

Aku yang merasa nomor Absenya dipanggil, mau tidak mau mengangkat tangan kananku, dan menjawab. "Saya, Pak."

Yohan beralih menoleh kearahku, dengan senyumnya, dia berjalan menuju mejaku, yang berada dipojok depan, sebelah kanan kelas.

Apa yang ingin orang ini lakukan? Mencari masalah saja kerjanya.

"Ah kamu, yang waktu itu membantu saya, ya?"

Dengan senyum yang dipaksakan, dan hembusan nafas kecil, aku berusaha untuk menjawabnya dengan seramah mungkin.

"Heheh iya, saya yang bantu." Jawabku dengan senyum—ingat—yang dipaksakan.

"Berhubung belum bel, dan kalian belum mulai mengisi soal soal yang bikin kalian mumet itu, gimana kalau kita kenalan dulu? Yah kebetulan, cuma kali ini aja saya kesini, mungkin selanjutnya akan diwakilkan oleh adik adik kakak saya yang lain."

Jelas saja, teman temanku mengangguk dengan sangat antusias. Kapan lagi memangnya mereka akan melihat orang tampan nan gagah datang kesekolah ini?

"Baiklah, saya mulai dari diri saya terlebih dahulu, ya. Nama saya, Yohannara Malikkan Houre, kalian bisa panggil saya Pak Yohan aja." Ucapnya yang kini beralih kepapan tulis.

"Aihss, kalo panggil mas aja gimana, Pak?"

Sebagian dari kami tertawa untuk menanggapi ucapan Zeya, pasalnya anak itu memang senang sekali menggoda guru guru, atau tamu yang memang bisa dideskripsikan 'Ganteng.'

"Pak Yohankan bukan tukang bakso Ze, kenapa gak panggil sayang aja? Iya kan pak?"

'HAHAHAHA BISA AJA LO KAMBING!'

Semua orang, termasuk aku dan Yohan tertawa. Bukan, bukan seorang perempuan yang mengatakan hal itu, akan tetapi Rido, cowo letoy tapi gantle. Bingungkan? Yah itu juga yang aku rasakan ketika kenal dengannya.

"Gaya doang maco! Meletnya ke pisang lagi!"

Memang mulut Fatur tidak bisa dikondisikan, maafkan dia teman teman, tapi ucapannya memang membuat kami tertawa dengan sangat keras. Rido bukan sorang gay kok, hanya memang seperti itu saja sikapnya. Alih alih Gay, dia malah pantas disebut seorang Playboy. Pacarnya saja bejibun sampai sampai banyak yang minta tolong padaku untuk dipertemukan dengannya.

"Sudah sudah, sepertinya kita lanjutkan dilain waktu ya. Saya mulai Ujiannya, sambil kalian mengisi soal, akan saya absen satu persatu ya."

*******

"Ada Ayah?" Ujarku saat melihat mobil Ayah terparkir rapih dihalaman rumahku.

Mengingat mereka akan menginap disini selama satu bulan, tidak heran jika Ayah akan bulak balik datang kerumah Rehan. Iya, rumah Rehan. Rumah inikan peninggalan orang tua Rehan, namun karena Rehan masih terlalu muda, jadi mau tidak mau harus ada yang menemaninya dulu.

"Pulang atau engga ya?" Tanyaku pada diri sendiri.

Setelah kejadian minggu lalu, jujur saja aku muak melihat wajah Tante Mira yang sok baik itu. Dan untungnya, minggu kemarin latihan dihentikan terlebih dahulu, karena beberapa anggotanya masih ada yang belum pulih.

"Kak Cassa!"

Aku dengan terpaksa menoleh kearah sumber suara itu. Niatnya mau kabur, tapi malah kepergok, menyebalkan.

"Eh Ana.." Ucapku saat melihatnya lari menuju kearahku.

"Kakak kenapa gak masuk?" Tanyanya polos.

"Ah tadi, ada yang nelfon, jadi kakak jawab dulu." Maafkan kakakmu yang berbohong ini Ana. Jangan percaya dengan apa yang dibalik senyum kakak.

Lecia hanya mengangguk kecil seraya mengucapkan 'ohh' dengan volume suara yang rendah. Sudah terlanjur ketahuan, mau tunggu apa lagi? Terpaksa aku masuk kehalaman rumah, dan mendorong motorku kebagasi yang ada disebelah kiri Rumah.

Entah ada tujuan apa lagi, namun sepertinya, aku belum bisa berprilaku baik pada Ayah untuk saat ini. Apalagi pada Tante Mira dan Anaknya. Tapi apa yang bisa aku lakukan? bagaimanapun mereka adalah orangtua.

Setelah mengucapkan salam dan alakadarnya, aku naik keatas untuk berganti baju dikamarku, mengingat hari ini aku harus mengecek keadaan diCafeku. Dan...melihat kejadian Bagas dengan Rafael dibalik camera CCTVku.

"Sandra? kamu mau kemana?"

Aku menoleh kearah Ayah yang kini sedang duduk sofa ruang tamu. Aku berjalan kearahnya dengan senyum simpul yang aku tunjukkan.

"Mau ke Cafe Yah, ngecek keuangan." Jawabku sembari mencari tempat untuk duduk.

"Ayah anterin, mau ya?"

Tatapan heran kini tercetak jelas diwajahku. Yaa..pasalnya Ayahkan tidak pernah ikut campur masalah hidupku lagi, dia hanya akan turun tangan jika itu masalah sekolah, bukan yang lain.

"Tumben? Gausah lah Yah, lagian udah biasa Sandra kesana sendiri." Ucapku dengan seutas senyum.

"Iya Mas, mending gausah, nanti lama lagi kita pulang."

Aku hanya memutar bola mataku malas ketika Tante Mira ikut campur dalam percakapan ini. Haishh, kentara sekali jika dia memang tidak mau Ayah menghabiskan waktu bersamaku.

"Kamu kan bisa pulang duluan Mir, biarin Ardan sama Sandra ngobrol, lagian setelah tiga tahun mereka baru ketemu lagi." Tante Mira hanya berdecak malas mendengar ucapan Nenek, jika Nenek sudah bicara, macanpun enggan membuka suara.

"Jadi gimana? Kamu mau ya Ayah anterin?" Dengan kedua alis yang terangkat, Ayah bertanya lagi padaku, namun dengan nada yang sedikit memaksa.

"Iya iya, yaudah, Sandra keluar duluan."

Setelah mengatakan hal itu, aku berjalan kearah pintu. Akhirnya, setelah sekian lama aku punya waktu untuk berbicara berdua dengan Ayah.

Leciana tidak ikut, karena dia sedang sibuk dengan barang barunya, Yaitu album yang berisi foto foto idolnya. Dia itu, memang seorang kpopers garis keras, setiap bulan, pasti merengek minta dibelikan atau dicarikan album Idol yang terbaru, namun dengan harga murah. Jelas saja Album mereka itu tidak murah, ada ada saja memang.

"Yah puter musik dong, bosen tau denger suara motor sama mobil dijalan." Ujarku yang hanya ditanggapi kekehan Ayah.

"Kamu kan bisa puter sendiri Sandra." Balasnya seraya menggelengkan kepala.

"Aihhh, Sandra mana ngerti Yah, lagiankan Sandra jarang naik mobil, kalo motor ya tiap hari." Ucapku dengan nada yang sedikit kesal.

"Yaudah yaudah.."

A Thousand Years, itulah lagu yang kini aku dengar. Tidak kusangka, Ayah juga suka dengan lagu ini.

"Sandra...Lecia ikut kamu aja sekarang."

Aku menatap bingung kearah Ayahku, biasanya, Ayah akan membuat banyak alasan agar Lecia tidak tinggal denganku.

"Terus, perusahaan Ayah, kamu juga yang urus ya, Nak."

Ekspresi bingungku benar benar tercetak jelas sekarang, ada sebenarnya? Kenapa semua tanggung jawab tiba tiba dilimpahkan padaku?

"Ayah...Sandra rasa, Sandra belum pantes deh buat ambil alih perusahaan Ayah. Lagipula Ayahkan tau, Sandra mau ngambil jurusan komunikasi internasional." Jelasku perlahan.

"Emang Ayah bilang sekarang? Mangkanya dengerin dulu orangtua ngomong."

Aku menyingkirkan tangan Ayahku yang menarik hidungku sampai memerah. Kebiasaan Ayah dari dulu, banyak basa basi, sulit sekali jika aku menyuruhnya untuk to the point.

"Ayah tau, kamu juga kerja sebagai Agent Rahasiakan?"

Aku semakin menatap bingung kearah Ayah, darimana dia tahu akan hal ini? Nenek saja tidak tahu, kenapa Ayah tiba tiba bisa tahu dengan pekerjaanku.

"Ayah...Ayah tau kerjaan Sandra?" Tanyaku seraya menautkan kedua alisku.

"Iya, kamu kenal Davial kan? Beberapa hari lalu Ayah ketemu dia, kami ngobrol ngobrol, terus ujungnya dia bilang kalau kamu satu kerjaan sama dia, Nak."

Ah benar juga, Davial pasti mencari kesempatan untuk bertemu dengan gurunya lagi. Tapi...untuk apa dia memberitahukan hal ini? Menyebalkan sekali.

"Sebelum kamu umur 21 tahun, Ayah bakal percayakan urusan perusahaan ke Jane sama Agung." Lanjutnya.

"Nanti kalo kamu udah umur 21 tahun, perusahaan itu benar benar akan jadi milik kamu, bukan Ayah lagi."

Aku berpikir sejenak, jika perusahaan itu benar benar diberikan padaku, artinya, Ayah tidak memberikan apapun pada Tante Mira dan Anaknya. Tunggu dulu...Ayah juga tidak ada embel embel mengakatan aku harus bisa berbagi hasil dengan mereka, artinya...

"Ayah, Perusahaan itu.. bener bener Sandra yang megang? Leciana gimana?"

Ayah hanya tersenyum simpul, dan tidak terasa sekarang kami sudah sampai didepan Cafeku.

"Turun dulu, kita lanjutin nanti."

Aku hanya bisa memandang punggung Ayahku dengan tatapan bingung, dan menuruti perkataannya untuk turun dari mobil, lalu mulai mengikuti langkahnya yang sudah menginjakkan kaki dihalaman parkir Cabang Cafeku ini.

Jika dipikir pikir, hubungan Ayah dan Tante Mira akhir akhir ini terlihat tidak baik. Dari Ayah yang datang kesini sendiri, dan tiba tiba menawarkan diri untuk mengantarku.

Sulit dipercaya, sangat sulit dipercaya kejadian langka ini, pasalnya, topik yang Ayah buka juga bukan masalah tujuh tahun lalu. Biasanya Ayah akan memaksaku untuk menerima Tante Mira sebagai pengganti Bunda.

Namun sepertinya, kali ini berbeda. Ada sesuatu yang Ayah sembunyikan, dan hal itu, harus segera aku ketahui.

~~~~~~