Cassandra POV.
"Paman? Apakah lukamu masih sakit?"
Disini aku sekarang, diruangan serba putih, yang memiliki aksen 'mati'. Didepanku, ada Yohan yang sedang memegangi kepalanya, dia tidak menjawab pertanyaanku, atau sekedar menoleh padaku.
Kulihat dari kejauhan, tubuhnya menejang, urat tangannya pun kini semakin terlihat, aku segera berlari kearahnya, memegangi pundaknya seraya ingin menanyakan ada apa.
Namun, nafasnya mulai tidak teratur, tubuhnya menjadi panas dan dingin secara bersamaan. Ada apa?
"Paman? Kau kenapa?" Aku sedikit mengeraskan suaraku, saat seperti ini, mustahil seseorang dalam keadaan yang sadar untuk mendegar dengan jelas.
"Paman?..."
"Paman apa yang terjadi?!"
Karena terkejut, nada bicaraku sedikit tinggi. Tubuhnya yang tiba tiba menggigil tanpa sebab, dan bola mata yang hanya menunjukkan warnah putih saja membuatku sedikit ketakutan.
"CUKUP! SUDAH CUKUP!"
"Paman?"
"ARRGGHH!"
Dia mencekeram kuat pinggiran kasur rumah sakit ini. Refleks aku memegangi kedua tangannya, benar benar keras.
"BODOH! KAU PENGECUT YOHAN!"
"Paman! What happend?!" Aku berusaha memegangi tangannya yang kini sedang memukuli dada bidangnya.
Untuk sementara, dia kembali tenang, walau kedua bola matanya masih tertutup, dan kepalanya terus menunduk.
"Paman, Open your eyes..." Ujarku seraya melihat wajahnya.
Dia menoleh kearahku, aku tahu tatapannya, sama seperti Rehan, jika traumanya sedang kambuh.
Sedikit berbincang, dan menunggunya menghabiskan makanan dan meminum obat. Setelah itu, aku harus pergi ke Bandara bersama Rehan, untuk menjemput Ayahku, yah Ayah.
"Telfon aku jika terjadi sesuatu." Aku menutup pintunya perlahan, ucapanku dibalas anggukkan dan sebuah senyum kecil.
'Brukk'
Sesuatu menabrakku, ah tidak, tepatnya aku yang menabrak sesuatu. Aku memfokuskan penglihatanku, dan mulai mendongkakan kepalaku.
Aku mundur beberapa langkah, Pria yang kini berada dihadapanku hanya menatap dengan tatapan bingung. Berbeda denganku, yang syok sekaligus ngeri saat melihat wajahnya.
'Reoden Holter.'
Aku langsung memalingkan wajahku, seraya berkata. "I'am sorry." Dan dengan segera aku meninggalkannya, yang kuyakini masih menatapku.
Aku menoleh kebelakang, hanya ingin memastikan apakah diriku sudah aman atau belum, semoga saja aku tidak bertemu dengannya lagi. Semoga, yah, sangat semoga.
"Tapi ngapain dia berdiri didepan pintu kamar Paman?" Batinku membeo.
Namun setelah mengingat sesuatu, aku mewajarkan hal itu, yah pasalnya, mereka memang seorang teman bukan? Jadi wajar saja kan jika dia 'menjengkuk' temannya.
'Ting'
Aku mengambil ponselku dari saku setelah mendapatkan bunyi notifikasi yang terhubung lewat earphoneku. Kulihat sebuah nama yang mengirimkan pesan singkat lewat whatsapp.
'Kak Sinta'
Tanpa berfikir lagi, aku langsung membuka pesan darinya, kini sudah ada 5 pesan yang belum aku baca, yah, belum aku baca.
Kak Sintul
Dimana San?
Kakak tunggu lu didepan RS ya.
Jam set 4 harus udah ada dibawah
Kalau engga
Gue teriak pake toa manggil nama lu.
Rs? berarti dia disini? Oh ayolah, orang ini selalu merepotkan. Aku tidak bisa mengatakan Whatever sekarang, Cause apa yang dia katakan, akan selalu dia lakukan. Menyebalkan.
Aku berlari kearah lift, yang sialnya sudah tertutup, terpaksa aku harus turun lewat tangga, sekarang jam yang berada ditanganku menunjukkan angka 15.20.
"10 menit go!"
Aku menarik nafas panjang, ternyata rumah sakit ini benar benar besar. Turun dari lantai 2 menuju halaman Rumah Sakit saja sampai selelah ini.
"Datang juga."
Aku hanya memutar bola mata malas kearahnya, pasalnya sekarang, dia sudah memegang sebuah pengeras suara khas tukang tahu bulat.
"Udah kasihin lagi toanya, jangan bikin malu Kak." Ujarku walau masih sedikit kesal.
"Langsung ganti baju, jangan sampe Uwa Ardan nunggu lama." Ucapnya sambil menyodorkan satu set baju kepadaku.
Aku hanya menghela nafas malas, aku ingat, sangat ingat, Ayah sudah mengatakan bahwa ia akan pulang besok, besok dalam waktu Inggris, bukan Indonesia.
Indonesia lebih cepat 7 jam, yang artinya, disana masih jam 8 Pagi. Ayah pergi jam 2 subuh waktu di Britain's, mungkin sekitar malam nanti ia akan sampai kemari.
Yang kutahu, dari london menuju jakarta memerlukan waktu 15 jam. Tapi kenapa, perempuan ini seolah mengatakan Ayahku sudah berada di Bandara sekarang.
"Heh, Ayah pasti masih di dalem pesawatkan sekarang?" Tanyaku setelah selesai berganti baju.
Kak Sinta hanya mengangguk, dan dia masih tetap fokus dengan apa yang dia kerjakan sekarang.
"Ngapain ngeburu buru?" Tanyaku dengan nada kesal.
"Banyak yang harus dipersiapin sebelum bokap lu balik. Jangan lupa, sosoknya cukup terkenal, mengingat marganya Halther, salah satu Marga yang diakui didunia perbisnisan." Jawabnya masih tetap Fokus.
"Harusnya itu udah diatur." Ujarku malas.
Kini dia menatapku dengan wajah bingung, aku enggan menjawab, karena aku yakin, dia akan segera tahu jawabannya.
*****
"Ini yang lo maksud?" Tanyanya begitu sampai dibandara.
Aku mengangguk sembari memasukan satu batagor kemulutku. Dia masih setia menengok kekanan dan kekiri, sedangkan dibangku belakang, ada Rehan yang sudah nyaman dengan posisi tidurnya.
Diluar sana, sudah ada beberapa bodyguard yang aku siapkan. Percayalah, memiliki keluarga yang terkenal itu membuatku selalu merasa waspada, pada ancaman atau hal apapun yang membahayakan.
Bukan tanpa alasan, 7 tahun lalu, saat ada perkumpulan Bisnis, yang dihadiri para pengusaha, pembisnis, dan orang orang yang memang 'memiliki' Marga, seperti keluargaku misalnya.
Sebuah komplotan bersenjata dengan sangat tiba tiba, dan tanpa ijin, masuk kedalam acara, mereka menyandra, dan 'katanya' ada beberapa wanita yang diperkosa disana. Banyak orang yang terluka saat itu, Senjata Api yang mereka tembakkan merenggut banyak nyawa.
Sialnya, kejatahan mereka tak sampai disitu, mereka sudah mempersiapkan pembakaran gedung milik keluarga Jonathan. Yah, kebakaran 7 tahun lalu yang sudah meninggalkan banyak luka untukku, dan orang orang yang ikut serta.
"San?"
Aku membuyarkan lamunanku, menoleh pada wanita yang menyerukan namaku tadi.
"Ada apa?" Ujarku.
"Bokap lo, udah mendarat."
Aku melihat lagi sosok wanita yang kini ada disebelahku, dia juga sedang menatapku, menyunjingkan bibirnya kearah kiri seraya menaikkan kedua alisnya.
"Rehan bangunin, gue duluan."
Aku membuka pintu mobil, berjalan kearah pintu masuk Bandara yang sudah tengah malam begini masih senantiasa terbuka. Setelah 3 tahun, akhirnya, aku akan bertemu sosok yang selama ini selalu menjadi mimpi burukku.
Jam berapa sekarang? Entahlah, tapi untungnya aku tidak merasa ngantuk ataupun lelah, setelah kejadian pagi tadi. Aku mencari cari sosoknya, melihat ke kanan dan ke kiri, sesekali menjinjitkan kakiku untuk melihat kearah yang lebih jauh.
Di ujung sana, aku melihat pria berperawakan tinggi, dengan mantel berwarna coklat terang. Diumurnya yang sudah menginjak 47 tahun, Ayah masih gagah layaknya pria muda diluar sana.
Aku segera berjalan kearahnya, memasukan kedua tanganku kedalam saku celanaku, setelah sebelumnya merapikan kerudung dan jaket jeans yang aku gunakan.
"Sandra." Ayah menunjukkan senyumnya, membuka lebar kedua tangannya, agar aku bisa berlari ke dalam pelukannya.
Aku hanya tersenyum simpul, berjalan kearahnya dan mulai memeluk Ayah yang memang sangat aku rindukan.
"How are you daddy?" Tanyaku setelah melepaskan pelukannya.
"I'm fine, and how about you?" Balasnya balik bertanya.
Aku hanya tersenyum seraya menganggukkan kepalaku, pandanganku beralih kearah belakang, tidak ada siapapun.
"Ayah datang sendiri?" Ujarku seraya menautkan kedua alisku.
"No, mereka nyusul besok." Ucapnya.
"Ya sama aja, sekarangkan sendiri." Aku memutar kedua bola mataku, jika ada cara yang simple, kenapa Ayah harus menggunakan cara yang berbelit? Menyebalkan.
"Biar aku yang bawa barang Ayah." Kini koper milik Ayah, sudah berada ditanganku.
"Aku?" Batin Ardan-Thor.
"Kau masih belum melupakannya, Nak?"
Deg
Apa yang ayah katakan sekarang? Tolonglah, jangan mulai lagi.
"Sudahlah Ayah, tidak perlu dibahas." Aku menarik pegangan koper ini agar lebih tinggi, supaya lebih mudah untuk membawanya.
"Sandra Ayah mo-"
"Paman." Ucapan Ayah terpotong oleh seruan Kak Sinta dan Rehan, yang kini sudah berjarak 1,5 meter dari kami.
Ayah tersenyum melihat kehadiran mereka, dulu, saat Bunda masih hidup, kami sering sekali bepergian, jalan jalan, yah pada intinya, liburan bersama.
Akan tetapi, konflik dimulai ketika Ayah membawa pulang sosok 'Ibu' yang sekarang sudah merubah Ayah. Mengacaukan kebahagiaanku, dan menoreh luka kepada Mendiang Ibuku.
Ngakunya temen, tapi kok suami sahabat sendiri diambil.
Begitulah keluarga besarku mengejeknya. Tak bisa dipungkiri, perkataan mereka memang benar, bahkan sangat benar.
"Paman, yang bawa barang biar kita aja." Rehan mengambil tas yang sedari tadi berada digenggaman Ayah.
"Kalian ini, biasanya panggil Uwa, kenapa jadi Paman?"
Hening sejenak. Aku hanya pura pura tak mendengar apa yang ucapkan, untung saja, saat ini 'Istrinya' itu tidak ikut. Jikalau ikut, pasti mulut tak tahu dirinya akan segera membeo.
"Hahah, sekarangkan Paman tinggalnya diluar negeri, udah jadi Warga negara sana, gak etis dong kalo kita panggil Uwa. Masa paman lupa, itukan istri Paman yang bilang, Tante Mira."
Skakmat.
Ayah hanya membuka sedikit mulutnya, bingung harus membalas apa. Ucapan Kak Sinta, memang selalu bisa diandalkan, aku jadi bangga padanya.
Aku menghembuskan nafas kecil, seraya menyunjing senyum tipis dan mulai berjalan mendahului yang lain.
Jika melihat Ayah, yang kuingat hanyalah bayangan saat Ayah dengan terang terangan meninggalkan ibu ditangga gedung yang sedang terbakar hebat. Sedangkan Ayah? ia memilih menyelamatkan calon istrinya itu. Ingat, C a l o n.
"Kak.."
Aku menoleh kearah Rehan yang sudah menaruh tanganya dipundakku, dia sekarang menatapku dengan tatapan bertanya, 'Ada apa?'.
Aku menggeleng kecil untuk membalas tatapannya, Rehan hanya menghela nafasnya, ia cukup mengerti tentang apa yang kualami sekarang, karena bukan hanya aku yang merasakan rasa sakitnya.
"Ayah pulang bareng Kak Sinta sama Rehan aja, soalnya barang Ayah banyak sih." Dengan nada hangat, aku mencoba untuk mencairkan suasana yang tadi sempat menegang.
"Kamu pulang bareng siapa, Sandra?"
Ayah mengedarkan padangannya keseluruh sudut Bandara, aku tahu apa ia cari, tentu saja orang yang akan pulang bersamaku.
"Banyak banyakin peduli sekarang Yah. Karena besok Ayah gabisa deket deket Sandra." Batinku.
"Nanti juga nyampe Rumah, Ayah tenang aja." Ujarku seraya menepuk pundak Ayah.
"Semua Rumah menerima Ayah. Namun hanya orang lugu yang mau nerima Istri Ayah." Batinku, lagi.
Aku masuk kedalam mobilku, walau pada akhirnya Rehan ikut denganku. Mobil yang dikendarai Kak Sinta melesat jauh di depan sana, aku memang sengaja memelankan mobilku, karena jujur saja, lebih baik Ayah pulang dengan Adikku, dan tidak perlu membawa siapapun.
Aku memang memaafkan mereka, toh mendendampun tidak akan mengembalikan orang orang yang sudah pergi untuk selama lamanya.
~~~~~~~