"Cepetan yah, waktu kita cuma 15 menit. Aku laparrrrr, aku juga mau makan", pinta Jasmina sambil mengelus-elus perutnya yang bundar. Bagas tersenyum sumringah, namun belum juga memberikan komentar. Ia masih tetap menatap Jasmina dari atas ke bawah, sekarang dari bawah ke atas. Maksudnya apa ya? Kemudian dia berbalik badan dan berjalan pelan, dan menjentikkan jarinya, memberikan gestur "follow me". Dia kira dia siapa? Dan dia kira Jasmina siapa?
Mereka tiba di ruangan OSIS, dan hanya mereka berdua yang ada disana. Sebuah meja besar berwarna putih dengan 2 kursi telah disiapkan di tengan-tengah ruangan. Bagas duduk di salah satu kursinya, dan mengeluarkan sebuah bungkusan, sepertinya makanan. Oh tunggu dulu, itu bau pasta!!!
"Duduk, dan makan ini. Kamu laper kan?", perintah Bagas dengan suara lembut. Tidak perlu waktu lama untuk Jasmina setuju. Pasta adalah kesukaannyaaaa! Yeay! Dalam 5 menit saja, ia mampu menghabiskan setengah kotak makanan berukuran kecil itu. Bagas hanya memperhatikan sambil tersenyum. Ia akui, melihat Jasmina melahap makanan, memang sangat menggugah seleranya, tapi ia sudah makan tadi. Jasmina begitu polos dan jujur. Refleks, Bagas mengambil tisu dan berusaha mengelap saus yang menempel di ujung bibir Jasmina. Jasmina terkejut berusaha menjauh.
Bagas terkejut dan mulai membuka pembicaraan. "Okey Jess, sepertinya kita harus meluruskan beberapa hal agar kita bisa bekerja sama dengan baik selama setahun kedepan. Kamu setuju kan? Sepertinya ada aura kebencian atau cinta yang terlalu kuat yang kamu pancarkan sama aku. Kita jadi seperti air dan Minyak".
Jasmina sebenarnya malas untuk berkonfrontasi dengan makhluk ini. Tapi karena dia sudah menyajikan makanan kesukaannya, dia mencoba sedikiiittt berdamai kali ini. Baiklah. Mari kita gencatan senjata. "Ya, kita seperti air dan minyak. Aku air zam-zam dan kamu minyak jelantah", sahut Jasmina sambil menghabiskan seluruh pasta yang tersisa. Bagas tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban kocak Jasmina. Hey, kalau cowok ini tertawa, ternyata manis juga, gumam Jasmina.
"Ok begini saja. Waktu kita ga banyak. Bagaimana kita main truth or dare. Atau enggak deh. Kita masing-masing menyebutkan 3 hal yang tidak kita sukai dari masing-masing secara bergantian, kemudian kita akan memberikan 1 aja harapan dari masing-masing. Kita perlu mengosongkan fikiran dan hati kita, agar kita bisa memulai hubungan kerja ini dengan nol-nol. Setujua?", jelas Bagas.
Jasmina setuju. Sepertinya ia memang harus mulai merelakan dendam kesumat yang selama ini berkarat dalam hatinya. Ia cukup profesional untuk tahu, jabatannya di OSIS ini akan sangat terganggu bila mereka belum berbaikan.
"Ok, aku mulai. Aku ga suka kalo kamu pura-pura ga kenal sama aku. Jess, kita ini tetangga dan teman dari SD loh!", seru Bagas dengan tatapan super tajam ke Jasmina.
Jasmina cemberut. "Aku ga suka kamu panggil aku piggy bank! Aku bukan celengan babi!!!!!!", jawab Jasmina hampir terisak. Ya ampunnnn keluar juga uneg-uneg yang sudah berkarang hampir selama 10 tahun di hatinya itu.
Bagas terkejut. Posisi duduk santainya sambil menopang wajahnya dengan satu tangan, sontak berubah. Ia terduduk tegak dengan tatapan yang sangat serius. "Aku gak pernah bilang kamu seperti celengan babi. Karena apa? Maksud kamu apa? Kapan aku pernah bilang begitu?", tanyanya dengan tulus. Tatapan tajamnya berganti dengan tatapan hangat yang ingin tahu.
"Waktu kita SD, kamu mulai nyebut aku celengan kan? Kenapa? Karena aku gemuk seperti babi kan? Aku tuh sakit hati banget Gas. Terus terang aku insecure donk. Ada cowok yang nyebut aku begitu. Mati-matian aku coba ngurusin berat badanku loh selama SD dan SMP! Bahkan almarhum mama aja bingung sama sikap aku! Puas kamuuu?! Puas?!", Jasmina tidak sanggup lagi membendung uneg-unegnya selama ini.
Bagas terdiam. 30 detik... 30 detik lagi... dan 30 detik lagi. Kesunyian ini serasa mencabik-cabik hati mereka berdua. Kesalah pahaman yang bertahun-tahun meledak. "Aku nyebut kamu celengan bukan karena kamu seperti babi Jezz. Aku tuh cuma becanda nyebut kamu celengan, soalnya kamu tuh dulu... dulu loh ya... suka banget nerima lungsuran makanan dari temen-temen kita. Gak pilih-pilih lagi, semua di samber. Dulu loh yaaaa... Aku tuh cuma kuatir ama kesehatan kamu. Aku ga ada maksud nyakitin perasaan kamu, apalagi sampe bertahun-tahun gini", Bagas mencoba memegang bahu Jasmina yang mulai bergetar. Jasmina sontak berdiri menjauh.
"Jasmina, Jasmina Winata... Pliss dengerin aku dulu", seketika Bagas lupa akan 3 hal yang tidak disukai dan 1 harapan masing-masing di awal. Dia hanya ingin kesalah pahaman selama ini bisa selesai, walau butuh waktu 15 menit, 15 jam atau 15 hari. Setidaknya, dulu Jasmina adalah sahabatnya. "Kenapa kamu ga tegur aku waktu itu? Kenapa gak kamu marahin aku? Kenapa gak pukul aja sekalian? Kalo kamu ngerasa aku salah dan nyakitin perasaan kamu, aku tuh harus tau! Ya aku harus dihukum", Bagas mulai memohon.
Bagas benar. Jasmina juga lupa kenapa saat itu dia tidak langsung mengkonfrontasi Bagas. Tapi apa yang bisa diharapkan? Saat itu dia masih berumur 7 tahun dan insecure. Cibiran Bagas, Sharon dan teman-teman lain saat itu cukup mendominasi hatinya. Sekarang rasanya dendam itu perlahan-lahan menguap. Toh sebagian dari kesalahan itu adalah miliknya, ia harusnya cukup berani untuk bertanya dan membela dirinya sendiri.
Tiba-tiba bagas mendekati dirinya, benar-benarrrrr dekat sehingga ia bisa menciup wangi shampo cowok itu. "Mau maafin aku kan? kita mulai dari nol-nol lagi kan?", tanyanya perlahan dengan tatapan hangat yang langsung ke mata sayu Jasmina. Oh dear, Jasmina tiba-tiba merasa lemah, jantungnya tercekat, nafasnya memburu, sebuah sinergi yang tidak cocok. Dia akan memaafkannya bila begini...
"Heyyyy kalian sedang apa?", tiba-tiba Marcella sang bendahara OSIS masuk ke ruangan tanpa mengetuk. Sontak Bagas dan Jasmina terkejut dan refleks melompat 1 langkah ke belakang.
"Kita bicarakan lain waktu aja", Jasmina meninggalkan Bagas. "Bye Marcel, aku ke kantin dulu ya. Lapperrrr", sapa Jasmina kepada sang bendahara...
Bagas tertegun. Belum pernah ia bertemu dengan seseorang yang sangat membencinya karena alasan yang ternyata salah paham. Bukan salahnya, namun ia merasa ikut bertanggung jawab untuk Jasmina.