Chereads / Pacaran Paksa (Dengan Ketua OSIS) / Chapter 19 - BAB 18: Pelantikan OSIS

Chapter 19 - BAB 18: Pelantikan OSIS

Acara pelantikan OSIS berlangsung khidmat dan meriah pada upacara hari Senin berikutnya. Para pengurus harian (jajaran elit) dan seluruh ketua bidang berdiri berjejer di barisan paling depan. Sementara, para anggota bidang berbaris rapi di lapisan kedua dan ketiga. Jasmina sangat bangga berada di barisan depan, berdiri di samping sang ketua OSIS, Bagaskara. Sekilas ia melihat kak Miko dan kak Tyas mengacungkan jempol mereka sambil sesekali bertepuk tangan. "We did it", dalam hatinya.

Saat ini, ke-55 anggota OSIS terpilih seperti sedang dipajang: Di puji atau di hina. Tentu saja decakan kagum akan ditujukan kepada anggota seperti Bagas sang ketua, Devon terganteng, Sharon terhits, Mikail tergagah atau Revi terkocak. Beberapa cewek-cewek junior kelihatan bersorak ketika sang ketua OSIS terpilih memberikan kata sambutan yang singkat, padat namun penuh kharisma. Ciihhhh. Sharon yang tak henti-henti tersenyum dan melambaikan tangan bak Putri Indonesia terpilih mengundang decak kagum sekaligus tampang sinis dari beberapa penonton. Ketika dia menjabat sebagai anggota humas sih, dia tidak begitu membantu, namun tidak begitu merepotkan. Tapi bagaimana di bidang kesenian? Beda cerita donk.

Dan salah satu cibiran kebencian dan keraguan ditujukan kepada Jasmina, si underdog, si yang tidak disangka, si yang tidak diharapkan. Kok bisa si gembrot itu tiba-tiba menjadi pendamping Bagas? Jasmina pura-pura tidak melihat tatapan-tatapan sarkastis yang tertuju padanya. Ia sudah bisa membayangkan kehidupannya setelah ini: menghadapi cibiran yang tidak percaya akan kemampuannya dan menerima perlakuan buruk dari fans fanatik sang ketua. Sekilas ia melihat Bagas ketika ia menutup pidatonya. Timing yang salah, Bagas ternyata sedang menatapnya, persis di detik terakhir pidatonya. Mereka saling memandang dengan canggung. "Maksudnya apa ya?", gumam Jasmina.

Bagas kembali ke posisi semua, di samping Jasmina. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Jasmina dan berbisik, "Jadi, apa rencanamu? Kita akan selalu bersama sekarang. Sepertinya kamu gak akan bisa lagi menghindari aku Cel". Cel? Celenangan kah maksudnya? Jasmina tiba-tiba mendidih. Mendidih di kepala, mendidih di dadanya. Paru-parunya seakan sedang terebus karena ia tiba-tiba susah untuk bernafas. Semangat yang tadinya begitu membumbung pagi ini, tiba-tiba meredup. Sepertinya menjadi anggota OSIS tahun ini sedang menjadi bumerang bagi dirinya.

-----

Ketika pelantikan selesai, semua siswa memasuki kelas masing-masing. Mila segera menggandeng tangan Jasmina memasuki kelas. Dalam perjalanan, ia merasa begitu banyak mata yang menatapnya dengan penuh takjub, penasaran atau kebencian. Di satu sisi, ia berhasil membuktikan kepada siswa-siswa introvert, bahwa bahkan seorang imperfect seperti Jasmina mampu menembus batas. Walau ia bukan juara kelas, tidak memiliki tubuh indah bak model, bukan dari keluarga kaya raya dan memiliki koneksi di sekolah, ia mampu memiliki prestasi. Bahkan ia masuk ke jajaran elit sekolah. Seorang sekretaris OSIS, mewakili gunung es, eh, maksudnya cowok paling populer, tampan, pintar dan berprestasi di sekolah. Seseorang yang kebalikan dari dirinya.

Energi Jasmina telah tersedok begitu banyak hari ini, ia kurang begitu bersemangat mengikuti pelajaran. Saat ini sepertinya ia butuh team building atau aktifitas pencerahan bersama 4 sahabatnya, termasuk Mila. Ia sangat bersyukur, ia memiliki genk solid di sekolah ini. Walau kelima temannya ini bukan teman-teman yang super kaya, super cantik dan super pintar, mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mereka semua imperfect yang bersinergi menjadi perfect friends untuk seorang Jasmina. Bukankah itu yang kita butuhkan? Bukan fake friends, tapi "just perfect friends" yang bisa kita lengkapi dan melengkapi kita.

Karena itu, ketika bel istirahat berbunyi, kelima sahabat langsung bergegas berdiri dan berlari menuju kantin. Uppss... ternyata di depan pintu kelas, telah menunggu sang ketua OSIS. Berdiri menyamping dengan salah satu bahu menempel di dinding kelas Jasmina, dengan kedua tangan terlipat di dadanya. Tatapannya teduh, tidak tersenyum, tidak cemberut, tapi juga tidak ramah. Kelima sahabat berhenti sejenak dan mulai saling memandang. Jasmina berpura-pura tidak melihat, dan kelima sahabat tetap berjalan super lambat menuju kantin.

"Jasmina, bisa kita bicara sebentar?", ohhh akhirnya saat itu datang juga.