Melewati jalan jalan dan orang orang yang dengan suasana yang serasa sama bagiku meski hal ini baru saja terjadi. Sepeda motor yang aku tumpangi terus melaju cepat melewati pasar Tempuran menuju ke dekat jumbatan.
Kebetulan hari ini jalanan sedikit sepi sehingga temanku dapat mempercepat lajunya. Terpaan angin yang menyapu kulit wajahku dari kaca helm yang kubuka membuatku serasa hanyut dalam suasana damai. Entah bagaimana ketika sekilas aku sadar dari kedamaian itu sebuah truk datang dari arah depan mencoba menyusul mobil yang ada di sisi jalan lainnya yang secara otomatis akan menabrak sepeda motor kami, padahal kejadian ini tepat terjadi di atas jumbatan yang dibawahnya adalah sungai Progo dan tidak cara lain untuk menghindar selain meloncat ke sungai yang airnya sedang sangat deras karena seminggu ini sering turun hujan deras. Temanku berteriak memintaku untuk segera terjun meninggalkan sepeda motor yang akan bertabrakan. Tanpa pikir panjang aku melakukan apa yang ia katakan sampai air menyelimuti tubuhku dan tersadar bahwa aku tidah bisa berenang. Tubuhku yang terus dibawa oleh arus sungai.
"Bagaimana keadaanmu nak??"
Aku terbangun dengan kepala terasa nyeri dan pandangan berkunang-kunang, butuh waktu sejenak untuk mencerna apa yang telah terjadi. Suara lemah itu terus mengusikku, tidak tahan terus diganggu aku akhirnya bersedia membuka mata. Sebuah gubuk dari bambu beratapkan damen kering yang begitu pengap dengan kepulan asap bakaran singkong, bahkan tiada sekat yang memisahkan dapur itu dengan ranjang tempatku berada, dan lagi.... siapa mereka? Wanita tua yang hanya terbalut kain sebatas dada kalau tidak salah namanya temben dan 3 orang anak laki laki berpakaian ala kadarnya seperti orang jaman dulu.
"Maaf, Ini di mana ya?"
" Kau sudah sadar? syukurlah, tadi anakku Ragil menemukanmu di tepi sungai jadi dan membawamu kesini dengan bantuan warga desa" bola matanya berputar mengamati pakaian yang kugunakan, meneliti jaket coklat tipis dari bahan drill serta celana hitam kedodoran
"Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya, adek dari desa mana?"
"Desa jambu" jawabku agak enggan.
"kalau begitu adek akan kami antar kesana setelah setelah adek merasa lebih baik"ia menarik tas hitam kotak milikku dari bawah ranjang dan masih basah, aku bersyukur bisa melihatnya lagi.
"Ini pasti milikmu" ujarnya menyerahkan tas itu.
"Terima kasih" ia tersenyum kemudian segera kembali ke dapur mengambil bakaran singkong yang telah masak dan membagikannya kepadaku dan ketiga anaknya.
Sederhana mungkin, bahkan terlalu sederhan untuk rumah zaman ssekarang, tapi sejujurnya justru terasa nyaman.
"Kalau boleh tau dimana suami ibu? Apa dia sedang berkerja?" tanyaku mencoba mencari topik pembicaraan dan ternyata pertanyaan itu membuatku benar benar menyesal setelah melihat ekspresinya yang muram.
"Ia sudah pergi 2 tahun yang lalu" jawabnya dengan nada parau, aku tidak tahu yang dimaksudnya pergi itu adalah benar benar pergi atau justru meninggal tapi aku tidak berniat untuk melanjutkan pembicaraan ini. "Nama adek siapa?"
"Fatim, Sayidati fatimah...."
"Namaku Hartini. Mereka anak anakku, yang pertama bernama Joko..." menunjuk kepada salah satu diantara mereka yang berbadan kurus tapi kekar dan berwajah serius tapi ramah "...kemudian Supri..." seorang anak kurus berkulit gelap kehitaman dan tatapan matanya terlihat begitu tak peduli sekitarnya benar benar membuatku pusing bagaimana mendapat perhatian anak malas itu "...dan yang terakhir adalah Ragil..." kali ini dia menunjuk seorang anak berkulit kuning langsat yang agak gemuk tapi terlihat ramah dan menyenangkan. Dan selalu saja kesan pertama begitu berpengaruh terlebih lagi kesan pertamaku biasanya tepat meski terkadang melenceng sedikit. " ...aksen bahasa melayu moderenmu sangat bagus, karena aku juga orang melayu itu membuatku sedikit bernostalgia" krena tak tahu harus menjawab apa aku hanya membalasnya dengan senyuman ya.
Malam semakin larut, aku ingin segera pulang... tidur di amben bersama ketiga anak ini membuatku tidak nyaman, berusaha untuk tidak membuat suara segaduh mungkin aku pergi menuju keluar rumah. Berjalan jalan tidak jauh melewati perumahan sampai aku menemukan tempat yang tepat untuk menyandarkan punggungku di dekat sebuah pepohonan. Sejenak berfikir, apa yang harus kukatakan ketika pulang kerumah dan kenapa juga disini tidak ada sinyal bahkan untuk sebuah ponsel.
Puas dapat tidur sejenak disuasana dingin, aku kembali ke tempat ibu hartini sebelum subuh. Beruntungnya mereka saat itu belum terbangun sehingga kepergianku tidak diketahui
Matahari telah memendarkan cahayanya. Aku sudah bersiap siap untuk pulang dengan tas yang kutenteng di punggungku, perjalananku diantar oleh anak tertua joko. Sejak awal kedatanganku ke tempat ini memang ada hal yang mengganjal dan semakin terasa dengan perjalanan ini. Ketika kami melewati jalan besar yang masih berupa hamparan tanah serta lokasi layaknya imitasi tempat yang biasa kulalui. Belum lagi kenapa harus jalan kaki? Tidak adakah bus?
Joko menghentikan langkahnya, sopan dan tegas ia berkata
"Kita sudah sampai" akupun menghentikan langkah dan melihat kesekeliling tempatku berada. Tidak ada yang kukenali di tempat ini, aku panik tapi mencoba agar tidak terlihat demikian.
"Apa kita di desa Jambu?"
"Ya" Joko menatapku heran "Ada yang salah?" Aku menundukkan kepala kemudian menghela nafas.
"Aku rasa aku tidak dapat menemukan rumahku, tahun berapa sekarang?"
"1848..." sudah kuduga "...Apa mungkin rumah kakak digusur?" lanjutnya.
Aku berfikir sejenak "Mungkin..." jawabku berbohong.
"Apa ada kerabat kakak yang tinggal di dekat sini?"
"Mereka sudah tiada" aku lagi lagi berbohong.
"Maaf..." jawabnya merasa bersalah. "Kakak bisa tinggal bersama kami kalau kakak mau" tawarnya
"Apa tidak merepotkan?" tanyaku memastikan.
"Tidak...Justru kami senang" ia tiba tiba memelukku "kakak..." sebagai anak pertama mungkin yang diinginkannya adalah seorang kakak. Aku menelus ubun ubunnya.
Kini pagi telah menjemputku dalam kehidupan baruku di zaman ini, membawaku terbang ke suasana masa lalu nan damai tanpa kebisingan tehnologi, memikirkan tentang damai... mengingat apa yang dikatakan ibu hartini mengenai suaminya masih mengganguku, pikiran pikiran tentang penjajahanlah yang begitu berkecambuk dalam hatiku... derita rakyat pada masa itu, masa ini....
Penduduk desa yang masih asing dengan kehadiranku, setiap tatapan yang menebarkan aura yang kemudian berputar putar diatas kepalaku, memikirkan tatapan dingin yang mungkin terjadi. Tapi ternyata aku salah ! sama seperti romor rumor agung yang masih makmur sampai zamanku berasal mengenai keramah tamahan penduduk nusantara ini bukanlah sebuah isapan jempol belaka. Ketika kujejekkan langkah kakiku melangkah keluar bilik rumah simbok, sejuknya udara yang masih murni disambut oleh senyum dan salam para tetangga yang sudah menyiapkan keperluan jual beli mereka, anak anak yang sedang bermain dengan santainya, kusambut dengan senyum manis yang bahkan mengembang tanpa sebuah dorongan apapun, hanya mengembang begitu alami dan sepontannnya... kekeluargaan yang pernah kumimpikan ketika masih duduk di bangku taman kanak kanak. Kini terwujud dalam bentuk yang sangat riil di depan mata kepalaku sendiri.