Chereads / Pematik Waktu / Chapter 5 - Nyanyian (1)

Chapter 5 - Nyanyian (1)

"Ada keperluan apa kisana ke pesantren kami?"

" Kami hanya ingin meminta sedikit tempat milik tuan untuk sekedar menginap malam ini karena hari telah mulai gelap" ucap Jo dengan anggunnya meski gak seperti mencibir.

"Silakan, ikut dengan saya" balas pak tua itu sambil menunjukkan jalan ke ruang tamu yang terhubung dengan pesantren putra, kurasa ia adalah pemilik pesantren ini,

"Jo, aku akan menaruh kuda kuda ini di kandang, kau duluan saja" Ia hany tersenyum dan aku mengerti itu bererti I'm counting you, sementara aku mengantarkan kuda kuda yang kami bawa ke kandang para prajurit yang mengawal kamipun mengistirahatka dirinya di depan rumah itu dengan awas. Dan Jo berada di dalam membicarakan sesuatu dengan pak tua itu.

"Dasar kau kompeni! Mati saja ! Tidak ada tempat untuk manusia sepertimu di dunia ini!" segerombolan pemuda dari pesantren ini dengan berbagai senjata yang dibawanya mulai menyerang Jo dan pengawalnya.

Dari tempatku menaruh kuda aku merasa ada sesuatu yang janggal ketika 4 orang santri menyerangku tadi dan terlebih ketika suara tembakan senapan beberapa kali terdengar begitu nyaring di tempat ini, aku buru buru menuju ke tempat Pak tua, yang tertinggal di sana adalah Jo yang terikat dengan beberapa prajurit dan beberapa dari pemuda dan prajurit kami terluka parah bahkan ada seorang dari prajurit kami dan lima orang pemuda tergeletak mati. Di depanku berdiri pak tua itu dan dibelakangnya berdiri pemuda pemuda yang telah terbakar kemarahan seperti siap mencabik cabikku, akupun menghela nafas

"Assalamu'alaikum waroh matullahi wabarokatuh" salamku yang telah mencengangkan mereka apa lagi dengan penampilanku yang memakai pakaian buttler dan rambut yang telah kupotong pendek.

"Walaikum salam warohmatullahi wabarokatuh, aku memang sudah menduga kau adalah orang pribumi tapi aku tidak menyangka kau masih ingat pada-Nya, kisana..." balas pak tua itu

"Bukankah tuan lebih tidak sopan memperlakukan tamu yang datang dalam damai seperti ini? Sepeti yang Jo bilang, kami hanya ingin menginap malam ini saja, Adakah kesalahan yang kami buat ? dimanakah keramahan yang dulunya begitu mashur dari tanah air tercinta ini ?" sindirku yang tidak tanggung tanggung ketika marah.

"Kalianlah yang telah menyerang kami duluan!" bantah salah seorang pemuda yang berada di depan kerumunan di belakang pak tua tersebut.

"Hhu...Pemuda Indonesia itu memang sangat mudah terpancing emosi melakukan segalanya hanya berdasarkan insting tapi tidak pernah memikirkan akibatnya, sudahkah kalian melihat kami melakukan kejahatan itu?" balasku ragu dan untuk jaga jaga aku menyiapkan Handgun kaliber 5mm pemberian Jo yang selalu siap sedia di lengan baju panjangku.

Semuanya terdiam beberapa saat,

" Sudahlah! Tidak ada gunanya kita berdebat dengan penghianat itu pumpung ada kesempatan kita tawan saja dia sebagai peringatan bagi penghianat lainnya!" seru pemuda itu lagi.

"Tunggu! Dia bukan penghianat, dia menjadi pelayanku karena dia ingin menyelamatkan warga desanya" seru Jo meski dengan dengan mulut berdarah, ketika pemuda itu mulai menyerang, dua orang pemuda lainnya menghentikanya dan berkata

" Hentikan Maksum! Kyai... semua yang dikatakan orang ini benar, wanita itu telah menyelamatkan desa kami ketika suatu ketika ada tentara yang datang dan ingin mengamambil beberapa pemuda termasuk kami untuk kerja rodi, jadi tolong bebaskanlah ia"

"Maksum ! tidakkah kau ingat dia?! Kakak yang telah menyelamatkan kita dulu? Meski penampilannya berubah tapi aku tidak akan pernah melupakan mata itu" ternyata kedua anak itu adalah Supri dan Ragil, tapi di mana Joko?

Meraka bertiga kemudian melihat ke arahku disusul oleh yang lainnya seolah mereka tidak percaya apa yang telah kuperbuat atau justru mereka tidak percaya kalau aku adalah seorang wanita hhu~ itu sering terjadi apalagi dengan penampilan seperti ini. Aku pun menarik kembali senapan itu ke tempatnbya semula padahal tadi nyaris saja aku mengeluarkannya, pak tua itupun akhirnya angkat bicara

"Baiklah, aku percaya... kalian boleh bebes menginap malam ini di sini, tapi senjata kalian akan kami tahan hingga kalian meninggalkan pesantren ini, Nona kau menginaplah di penginapan putri biar Ragil yang mengantarmu dan gantilah pakaianmu. Sedangkan kalian akan menginaplah di gudang, Maksum antarlah mereka!"

"Dengan senang hati Kyai, terlebih jika aku bisa mengantarkan mereka ke pintu gerbang neraka" ucapnya begitu sinis.

  

Magribpun tiba, namun matahari belum sepenuhnya tengelam ke tempat peristirahatannya....langitpun masih berwarna merah ditemani hujan gerimis. Hari ini tidak seperti kebiasaanku sejak memasuki zaman ini, akhirnya aku dapat membaca ayat ayat suci Al-Qur'an di pesantrenm jadi sedikit mengingatkanku pada masa lalu... 'eh seharusnya masa depan ya~

Ketika aku memasuki ruangan aku rasa seluruh santri yang ada di sini sedang membicarakanku, merakupun terkejut ketika melihat penampilanku yang memakai jilbab. Aku melewati mereka dengan perasaan sedikit tidak nyaman bagaimanapun beberapa rekan mereka telah terluka parah bahkan tiada karena kecerobohanku yang tidak mengatakan semuanya dari awal. Ketika aku sudah selesai membaca surah, seorang wanita muda yang telah menunukkan kedewasaannya menghampiriku begitu ramahnya.

"Assalamu'alaikum"

"walaikum salam, Kalau boleh tau nona ini siapa?"

"panggil saja aku Halimah, kau tahu kyai yang tadi sempat berselisih denganmu? Dia adalah suamiku" Ucapnya dengan senyum yang menawan dan wajahnya yang begitu bersinar meski ia tahu kalau aku telah berbuat hal yang tidak sopan pada pak tua itu.

" Eh?! yang benar?!"

"Ada masalah? Bukankah itu sudah wajar, wanita harus mlayani laki laki" senyumnya lagi, benar-benar abg tua.. orang tua itu! dasar laki laki gak ada puasnya, sudah dikasih hati masih minta jantung

"Maaf kalau boleh tau Nona istri yang keberapa ya?"

" Ke tiga, tapi meski begitu aku tidak apa apa, bliau lah yang telah menyelamatkanku saat aku sebatangkara karena orang tuaku terbunuh, memberiku rumah dan kasih sayang, itulah sebabnya...."

"Kau juga menyukainya! kalau itu kasusnya sih tidak apa apa," ia tertawa kecil kemudian menjawab dengan nada sedikit menggoda.

" Kau sendiri menyukai pria itu kan? Dia juga mencoba menyelamatkanmu tadi"

"Entahlah, kisah cintaku selalu tragis. Aku bahkan tidak percaya pada perasaanku sendiri... terlebih aku rasa aku tidak akan lama berada di sini..."

"Kalau begitu kau hanya perlu menikmati setiap detik bersamanya, pikirkan dulu saat ini maka saat yang akan datang pasti sudah pasti baik...semangat! biarkan perasaan menuntunmu pada kebenaran, sekarang antarkan makanan ini untuk mereka"

"Ya !!! da terima kasih banyak"

Sampailah aku ke gudang, tempat dimana Jo dan prajuritnya menginap,

"Aku pikir karena di sini dingin jadi aku membawakan selimut untuk kalian" namun, raut muka Jo masih terlihat murung

"Jo.... kau tidak apa apa? Kau tidak usah khawatir, besok pagi pagi buta kita segera pergi dari sini"

"Maaf, kau terlihat bahagia bersama mereka... seharusnya kau tinggallah di sini" ucap Jo sedih memaksakan tersenyum, akupun tersenyum dan mengusap rambut Jo kecilku yang basah

"Jo... aku adalah pelayanmu, aku akan melakukan apa yang kau inginkan kalau itu adalah keinginanmu...Jadi katakanlah apa yang hatimu inginkan karena aku akan selalu berada di sisimu"

"Terimah Kasih, Kumohon tetaplah disisiku" Tangisnya sambil memuluk erat diriku, seakan tidak ingin lepas. Inilah pertama kali seseorang menganggapku penting seperti ini, rasanya begitu tentram dan hangat meski sederas apapun hujan dan dingin malam ini yang menyelimuti aku tidak peduli.

Jo sudah terlelap dalam tidurnya... terbang ke dunia mimpi dengan senyum manisnya. Ketika aku keluar ingin hendak menuju penginapan putri. Ragil, salah satu anak dari si mbok yang paling dekat denganku menemui diriku disaat perjalanan. Ia hendak bercerita kejadian apa yang telah menimpa dirinya dan keluarganya.

Dikala Sebulan sudah kedamaian menyelimuti desa setelah kepergianku, rombongan dari divisi yang lain datang dengan tujuan yang sama. Mereka semua ditahan sebagai pekerja di tempat yang sebelumnya aku lewati. Beruntungnya mereka dapat melarikan diri meski jalan tidak selancar yang diharapkan. Joko, anak tertua mati tertembak karena hendak menyelamatkan adik adiknya. Ketika sampailah mereka kembali ke kampung halaman, semua harapan telah pupus tersapu debu dari abu mayat mayat warga desa yang terbakar di dalam rumah mereka. Lama jua perjalanan yang mereka tempuh tanpa tujuan, mereka kira aku telah tiada saat itu makannya mereka tidak berusaha mencariku. Hingga sampailah mereka ke pesantren tersebut. Dan memang benar adanya bahwa pesantren tersebut adalah salah satu tempat rahasia yang digunakan untuk melatih pejuang pejuang tanah air secara rahasia. Ragil juga menunjukkanku tempat dimana mereka berlatih bela diri.

"Aku percaya padamu mbak, maukah kau berjuang bersama kami?" ajak Ragil

"Dengan senang hati aku akan membantu, tapi sekarang ini ada tugas yang harus aku lakukan" jawabku dengan menyesal, memandang tempat Jo terlelap

"Ini karena laki laki itu! tak bisakah kau melupakannya! Dan berjuang bersama kami... tahukah kau, semenjak hari itu aku selalu mengharapkan kau selamat sebagai pahlawanku.... mbak... sampai kapanpun aku akan menunggumu, datanglah pada kami" harap Ragil, aku hanya diam... ia pun pergi meninggalkanku