Aku tahu dia adalah seorang wanita, dalam balutan jas hitam ketat yang ia kenakan, wajah oriental serta bibir merah delima yang kehitaman ia tersenyum berat padaku.
"Mulai sekarang aku akan menjadi pelayan pribadimu tuan muda, mohon untuk tidak sungkan" ia sedikit menunduk, sekarang aku ingat, dia adalah gadis yang dibawa ayah sekitar seminggu yang lalu. Dari penampilannya dia sudah banyak berubah.
"Aku akan pergi selama tiga hari ke kota bersama Damien, jadi kuserahkan kebutuhanmu pada dia" ayah mengelus kepalaku. Ia hendak menghampiri kereta dan aku mengikutinya sampai ruang utama untuk menyapanya. Dia memang lebih banyak bekerja baik sebelum maupun sesudah ibu meninggal. Aku memutar balik badanku hendak bermain di taman. Gadis itu sudah berdiri dibelakangku dengan senyum beratnya. Itu membuatku jengkel karena diikuti.
"Siapkan minuman dan snack!" setidaknya aku bisa membuatnya pergi. Dan aku langsung melesat ke taman dan berbaring sebentar diantara tanaman adenium dan mawar mawar merah. Kuulurkan tanganku untuk membut bayangan yang dapat melindungiku dari terik matahari. Disini mulai panas, aku ingin pindah ketempat lainnya. Aku berguling guling untuk melemaskan badan, di sampingku ada sebuaah bayangan.
"Silakan..." ia menyodorkan cangkir berisi minuman berwarna hijau "...karena hari ini sangat panas, saya siapkan jus melon yang masih segar dangan air yang bersuhu dingin" aku meraihnya, membauinya, rasanya memang segar.
"Cobalah menyiapkannya lebih cepat lagi!" aku meraih beberapa cemilan bolu yang ditaruh di nampan yang dibawanya. Lain kali kau tidak akan berhasil.
"Saya tidak akan mengulanginya lagi" ia mengambil cangkir yang kujatuhkan, membereskannya dan membawanya.
"Siapkan baju ganti dan kuda! Aku ingin jalan jalan ke lembah" ia terhenti, menengok ke arahku.
"Maaf Tuan Muda, anda tidak boleh meninggalkan tempat ini selama Tuan Sebastian pergi"
"Kau masih ingatkan apa yang dikatakan ayah, turuti semua keinginanku!" aku menaikkan volume suaraku, sedikit kesal memang. Ia mendesah.
"Yes My Lord"
"Satu lagi, siapa namamu?"
Ia sedikit membungkukkan badannya, menaruh tangnnya diperut sebagai tanda penghormatan seperti biasanya
"Terserah Tuan mau memanggilku siapa"
Melewati pepohonan di jalan menurun, seorang yang menaiki kuda dan seorang lagi yang berjalan disampingnya, kini di depan mereka adalah sebuah pasar tradisional besar yang sedang ramai. Mereka berdua terus melaju, melewati anak anak yang sedang bermain layang layang serta orang orang yang sedang jual beli.
"Apa yang menarik disini?"
"Maksud tuan?"
"Semuanya, mereka sedang dijajah bukan? Tapi kenapa mereka masih saja dapat terlihat senang? Itu membuatku jengkel" mereka berhenti di depan sebuah toko.
"Apa yang ingin tuan beli?"
"Aku menginginkan kalung itu" ia menunjuk pada sebuah kalung dari batu giok yang sangat cantik. Si penjualpun mengambilkan kalung tersebut. Allen, anak yang menaiki kuda langsung mengambilnya dan membawanya pergi.
"Maaf tuan, anda belum membayarnya" keluh si penjual setengah berteriak
"Ini milikku sekarang" balas Allen sembari menodongkan senjata, si penjualpun diam. Dan mereka berdua terus berjalan menyusuri jalan setapak menuju persawahan. Mereka berhenti dibawah pepohonan kelapa. Allen bersandar di kudanya sambil menimbang nimbang kalung yang dibawanya sampai ia bosan dan melemparkannya ke pelayan di sampingnya.
"Ambillah!" si pelayanpun merasa heran.
"Kalau begitu, dalam perjalanan pulang nanti aku akan mengembalikannya"
"Hai! Aku memberikannya padamu bukan untuk dikembalikan!"
"Karena tuan sudah memberikannya padaku artinya aku dapat memperlakukannya sesukaku bukan?"
"Geezz, Kau...." Flok!!! Sebuah layang layang mengenai bagian belakang kepala Allen. Ia mengduh dan mengumpat. Tak lama kemudia gerombolan anak anak menuju ke tempat mereka. Mereka sedang mengejar layang layang yang menghantam kepala Allen.
"Maaf nona, layang layang itu milik kami, bisakah kami mendapatkannya kembali" si pelayanpun memungut layang layang tersebut dan memberikannya pada anak anak di depannya tanpa mempedulikan Allen yang sedang kesal.
"BERANINYA KALIAN!" Allen lagi lagi sudah menodongkan senapannya lagi. Bersiap untuk menembak, anak anak sebaya didepannyapun ketakutan dan lari berhamburan. Salah seorang anak perempuan yang ada dirombongan tersebut ternyata tergelincir dan terjerumus ke sawah karena roknya yang sempit dan panjang. Allen meloncat dari kudanya, menghampiri anak perempuan yang tergelincir tersebut. Kemudian mengcungkan senapannya akan tetapi pada waktu yang tepat seorang anak lelaki diantara mereka memutar haluan dan menamengi anak perempuan yang sedang menangis tersebut. Allen awalnya terkejut tapi dengan cepat ia kembali ke dirinya yang angkuh.
"Tuan Muda, sudah cukup ayo kita pulang" ajak sang pelayan memegang senapan tersebutdari samping. Allen tetap diam dengan angkuhnya tidak menggubris.
"SUDAH KUBILANG HENTIKAN!!! DASAR KAU ANAK MANJA!" si pelayan langsung menarik paksa senapan tersebut dan membuat kaget yang ada di sana.
"Maaf atas kelancangan saya, anda dapat menghukum saya saat kita kembali, makan malam sudah menunggu" si pelayan mengembalikan senapan tersebut ke sabuk Allen, pada beberapa saat tersebut wajah mereka cukup dekat. Allen tertawa terpingkal pingkal.
"Kau itu telalu serius! Senapan itu bahkan tidak memiliki peluru...menyenangkan untuk melihat orang orang ketakutan.... tapi kau masih dapat hukuman"
Anda "Merah darah" aku sedikit menyeringai
"Tepat seperti apa yang aku pikirkan, dan ini benar benar akan menjadi hadiah yang cocok untukmu" ia menyodorkan setengkai mawar mereh segar dari kebun
"Arigatou, tidak ada yang pernah memberiku mawar sebelumnya" ucapku agak berbisik beharap dia tidak terlalu mendengarnya.
"Apa arti kalimat awal tadi?" aku sadar tadi aku menggunakan bahasa jepang yang sekedar sering aku dengar
"Itu bahasa jepang, yang berarti terima kasih"
"Kukira Jepang tidak terlalu membuka dirinya,kau pernah ke Jepang? Bisakah kau mengajariku? Kumohon" pintanya sambil merengek.
"Belum, tapi kuharap bisa ke sana...kalau soal mengajari, aku tidak pandai. Aku kan hanya kebetulan mendengar beberapa lagu berbahasa jepang yang sangat menarik. Mau mendengar? Meski suaraku tidaklah sebagus penyanyi penyanyi top" jawabku sangat antusias kalau mengenai satu hal itu.
"with my pleasure~" ucapnya begitu ringan sambil tersenyum dengan mata tertutup. Kemudian kami saling berbicara cukup panjang mengenai hobi kami masing masing. Aku juga mengajarkan beberapa lagu yang aku ketahui sambil memberi tahu arti ala kadarnya.
" Jo, kenapa kau selalu memberiku mawar merah? Bukan mawar putih atau kuning?" tanyaku agak pelan sambil memandangi mawar yang baru saja ia berikan padaku seperti biasanya
"Kau tidak suka" jawabnya agak sedikit kecewa
"Aku suka, hanya saja aku ingin tahu" jawabku agak menyesal karena telah menanyakan hal tersebut
"Itu karena..." ia diam sejenak "karena mawar merah melambangkan cinta abadi berbeda dengan mawar kuning yang melambangkan cinta bertepuk sebelah tangan ataupun mawar putih yang melambangkan tanpa cinta, karena bungapun juga memiliki makna tersendiri" ia tersenyum memandangku, pandangan yang begitu hangat, juga termasukuk kata katanya bagai serbuan angin yang menghangatkan, menyuntikku dengan perasaan aneh yang menggelitik, masuk ke dalam aliran darahku dan mengalirkannya ke ssetiap penjuru nadiku dan kami masih saling menatap, semkain dalam- sangat dalam hingga seakan jatuh kedalam lubang nan gelap dan hanya ialah cahaya tercerah yang menjadi perhatianku.
"Maaf Jo, aku harus segera pergi membereskan sesuatu" ucapku terburu buru tak ingin melaakukan sebuah kesalahan fatal, meski tubuhku telah pergi tapi jiwaku masih berada di sana, memandangnya yang semakin sedih. Sungguh maaf Jo, bukan maksud diriku...
Malm ini aku benar benar tidak bisa untuk tertidur jadi aku memilih untuk membereskan semua pekerjaanku esok, memikirkan ucapan Jo.... Benarkah perasaannya yang ia tujukan padaku adalah sebuah pernyataan cinta sedangkan diriku sendiri sama sekali tidak mengerti apa itu cinta, sebuah kata yang maknanya sama sekali tak bisa dijelaskan hanya dengan nalar, meski kusadari aku sangat senang mendengarnya. Meski ada satu hal yang mulai mengganjalku, ancaman Lord Sebastian waktu itu "Jangan pernah menaruh perasaan apapun pada anakku, kalau tidak ingin jadi musuhku dan tentunya kau tahu apa akibatnya jika itu terjadi"
"Kau sudah bangun ya? Sepertinya pekerjaanmu juga sudah selesai" Sapa Deman ketika melihatku sedang bersih bersih di pagi pagi buta ini "butuh bantuan?" tawarnya
"Tentu" jawabku yang dibuat agak kekanak kanakan. Ia pun membantuku membersihkan tempst ini
"Tidak biasanya kau bangun sepagi ini, apa sesuatu yang spesialkah?" sejenak aku terdiam dan berfikir
"Tidak juga, aku hanya mendapat sedikit insomnia seperti dulu, lagipula entah kenapa aku lebih memilih untuk tidur siang, itupun kalau tidak agenda Jo tidak terlalu padat" ia menatapku, seolah ada sesuatu yang ingin ia terawang dari kepalaku, entah bagaimana ia seolah terlihat mengetahui sesuatu
"Aku akan menyiapkan sarapan, kau lanjutkan pekerjaanmu" ia meninggalkanku menuju dapur.
Aku benar benar sangat sibuk dengan pikiranku sampai sampai tak sadar seseorang sudak berada di belakangku dan mengagetkanku dengan ucapannya
'"Maaf membuatmu tidak enak karena kata kataku, haruskah aku tidak memberimu mawar lagi? Kalau itu akan membuatmu merasa lebih baik?"
"Kau tidak salah, aku tadi memang harus melakukan tugasku sebentar, kau tidak perlu sesensitive itu dong... kau kan laki laki" aku tertawa kecil. Ia tesenyum
"Maukah kau menememaniku sebentar? Mengbrol di taman, kau tahukan tidak ada di rumah ini yang bisa menemaniku bercakap cakap selain kau"
"Tentu, setelah semua ini selesai"
"Kalau begitu biar aku bantu" ia mengambil lap yang ditinggalkan Deman dan membantuku membersihkan mansion miliknya sendiri, benar benar membuatku merasa bersalah
"kau tidak perlu melakukan ini"
"aku suka melakukannya, jadi kau tidak perlu khawatir dipecat" ia tertawa kecil.