Kalya pov
Aku membuka mataku, tubuhku terasa hangat karena terbalut selimut. Luka-luka akibat terombang-ambing di lautan tidak terasa perih lagi. Siapa yang melakukannya?
Aku turun dari ranjang, mencari tahu di mana aku sekarang. Aku keluar kamar. Di kamar langsung tangga. Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh menghampiriku. "Nona, jangan jalan-jalan dulu. Nona masih lemah."larang wanita berpakaian pelayan itu.
Aku menggeleng. "Aku baik-baik aja Bibi."
"Nona jangan. Tuan muda bisa marah kalau nona pergi dari sini. Kumohon nona menurut dengan permintaan saya."mohon wanita paruh baya itu sambil membungkuk. Wajahnya seperti orang ketakutan.
"Ah, Bibi ini berlebihan. Siapa tuan muda Bibi? Biar aku hadapi dia."kataku sambil tertawa. Wanita paruh baya itu tetap menghalangi langkahku.
"Nona, kumohon patuhlah. Saya tidak ingin dipecat oleh tuan muda. Keluarga saya bergantung pada saya."mohon wanita paruh baya itu sambil membawa-bawa atas nama keluarganya.
"Di mana tuan muda Bibi? Biar aku yang negosiasi sama dia."tantangku.
"Kamu mencariku, Sherry?" sapa suara cowok dari belakang sambil memelukku erat. Aku menoleh ke belakang. Wajahnya sempurna. Matanya tidak sipit, tidak belok juga, bola matanya hitam pekat. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis lagi merah. Rambutnya tersisir rapi. Dari jarak sedekat ini, aku bisa merasakan desah nafasnya yang harum seperti aroma bunga.
"Eh, eh."Aku gelagapan. Kenapa ada orang setampan ini? Aku mati gaya di pelukannya. "Namaku Sherry?"tanyaku tak mengerti.
"Sherry, kamu tidak mengingatku? Aku William. William Lewis."kata cowok tampan itu.
Sherry? William? Ia salah mengenaliku. Ia mengira aku Sherry, orang yang mungkin kekasihnya.
"Sherry, kamu sudah ingat?"tanya William. Aku mengangguk perlahan. Aku sendiri tidak ingat namaku.
"Bagus. Karena itu malam ini kita ke rumah besar Lewis. Aku ingin menunjukkan pada Papa dan Mama tiri bahwa Sherry-ku sudah kutemukan."katanya senang. Aku tertawa garing.
Seorang pria paruh baya menghadap William. "Tuan muda, ini pakaian untuk nona Sherry sesuai yang tuan muda inginkan."kata pria paruh baya itu sambil membungkuk hormat.
William mengangguk, ia menyerahkan toothbag kepadaku. "Pakailah ini untuk makan malam di rumah orang tuaku."perintahnya. Aku menerimanya dengan gemetar. Aku merasa tidak pantas untuk William, karena kesucianku telah terenggut. "Sherry."tegurnya.
William beranjak pergi. "Aku ada urusan di perusahaan. Bibi, jaga Sherry baik-baik."pesannya.
"Baik, tuan muda."kata Bibi menyanggupi perintah tuan mudanya. William dan pria paruh baya itu bergegas pergi, menyisakanku dan Bibi di rumah sebesar ini.
"Nona."kata Bibi sesaat setelah kepergian William. "Saya bersyukur nona telah kembali. Saya tidak tahan melihat Tuan Muda seperti orang gila mencari nona. Tuan Muda tidak makan berhari-hari, tidak mau bekerja, tidak mau kuliah membuat hati kecil seorang pembantu sedih. Kehadiran nona membawa perubahan yang besar. Tuan muda seperti dulu lagi. Rajin bekerja, kuliah, dan berkegiatan. Seolah-olah wajah muram Tuan muda tidak pernah ada."tutur Bibi dengan mata berkaca-kaca.
"Bibi, aku tidak mengerti situasinya. Aku bahkan tidak mengingat namaku."kataku.
"Nona mungkin hilang ingatan. Nona ditemukan tuan muda di pesisir pantai dengan gaun yang koyak sana-sini, dan tubuh penuh luka."cerita Bibi. Aku melihat luka di lenganku dan di kakiku. Ucapan Bibi ini benar.
"Setelah itu, tuan muda membawa pulang nona, dan meminta saya menggantikan baju nona serta mengobati luka-luka nona. Ekspresi tuan muda antara senang dan sedih."kata Bibi. "Tuan muda terus menyebut nama nona."lanjut Bibi.
"Aku berhutang budi padanya."gumamku. "Bibi, seorang Sherry yang dikenal William seperti apa?"tanyaku.
"Nona adalah wanita tangguh, bebas, pintar, dan mudah akrab."jelas Bibi.
Aku tersenyum puas. Sifat-sifatnya tidak jauh dariku. Aku yakin aku adalah Sherry.
"Nona, berhati-hatilah. Orang tua tuan muda tidak mudah dihadapi."nasihat Bibi.
Malam harinya, sebelum William datang menjemputku, aku memakai baju yang diberi oleh William. Bajunya adalah gaun panjang dari bahan brokat dan organza supaya lukaku tidak kelihatan.
Tok, tok, tok. Pintu kamar diketuk. Aku mempersilakan masuk. William yang masuk. Ia menatapku lamat-lamat.
"William? Menurutmu gimana?"tanyaku meminta pendapat.
"Tidak buruk."komentarnya. Artinya selama ini aku jelek di matanya? Aku menjitaknya.
"Bilang aja aku jelek."gerutuku.
"Siapa yang bilang kamu jelek?"bantah William sambil meringis kesakitan karena jitakanku.
"Tidak buruk artinya jelek."tegasku sambil memanyunkan bibir.
"Lipstikmu berantakan."komentar William sambil menyentuh bibirku dengan jari telunjuknya. Aku melihat kaca, namun ditahan oleh William. Ia menciumku beberapa detik karena aku mengigit bibirnya.
"Aw!" Ia menjauhiku dan mengusap bibirnya dengan tissu. "Kamu gila ya!"umpatnya. Aku menjulurkan lidah. Siapa suruh menciumku tanpa persetujuanku. Rasakan akibatnya!
Aku membenahi lipstik yang berantakan akibat ciuman mendadak tadi. "Orang tuamu suka menantu yang seperti apa?"tanyaku.
"Asal kamu menyenangkan hati mereka saja."kata William santai. Tubuhnya bersandar ke kursi. Seperti seorang raja berada di atas singgasananya.
Pria paruh baya yang selalu di sisi William datang sambil membungkuk hormat. "Tuan muda, nona. Sebentar lagi waktunya makan malam. Tuan besar dan Nyonya besar menanti tuan muda."
"Oke. Sherry, lekas selesaikan dandanmu. Kita tidak boleh terlambat."kata William sambil menyeretku. Langkahnya terburu-buru. Aku harus menyeimbangkan langkah besar William.
Brak, pintu mobil ditutup dengan kasar. William tidak bisa tenang sedikitkah? Aku menutup telinga saat pintu mobil ditutup. Mobil dijalankan dengan kecepatan sedang.
"Kamu ini bikin jantungku mau copot."omelku setelah nafasku teratur.
"Maaf. Aku terburu-buru."katanya sambil menggenggam tanganku yang segera kutepis.
"Lain kali jangan diulangi. Oke?"kataku. William hanya bergumam. Aku melihat pemandangan di luar. Perkotaan dan gerimis mewarnai malam ini. Tak lupa bunyi klakson mobil di perempatan, menunggu kesempatan untuk keluar dari jebakan macet.
"Tuan muda, kita lewat jalan lain ya."imbuh Paman meminta izin.
"Terserah."jawab William pasrah.
Tak jauh dari mobil ini ada gang yang muat untuk satu mobil. Paman itu membelokkan mobil yang kami tumpangi melewati gang itu.
Telepon pintar William bunyi, sepertinya ada panggilan dari orang penting. William mengangkatnya. "Halo."
"William, kamu ada di mana? Mama bosan menunggumu datang."bentak suara wanita dari seberang seperti tidak bisa mentoleransi apa pun alasannya.
"Mama, aku datang dalam waktu lima menit lagi."jawab William dengan wajah pias.
"Baiklah. Mama gak mau kamu datang lebih dari itu."kata wanita itu dengan nada tegas dan menekan. Wanita itu menutup telepon tanpa salam.
Ciit....mobil berdecit di depan rumah mewah. "Tuan muda, kita sudah sampai."kata Paman memecah keheningan.
"Oke."William turun dari mobil, aku juga turun dari mobil dengan uluran tangan William. "Pelan-pelan, Sherry."katanya lembut. Aku mengangguk.
"William." Kami disambut Nyonya Lewis. Beliau memakai gaun tanpa lengan selutut, selendang dibalut di punggung, dan jepit rambut khas Nyonya-Nyonya. Tatapan Nyonya Lewis tak bersahabat. Mampukah aku menghadapinya?
Bersambung...