Chereads / Pengantin Yang Terbuang / Chapter 6 - Melamar Pekerjaan

Chapter 6 - Melamar Pekerjaan

Ketika pagi datang, sinar matahari menelusup ke kamar di mana Ivy tinggal. Ivy terbangun dari tidurnya. Ia mengeliat sejenak. Ugh, perutnya terasa mual, mungkin karena efek janinnya. "Selamat pagi, nak."kata Ivy sambil mengelus-elus perutnya.

Ivy beranjak dari tempat tidur, ia bersiap-siap untuk memulai kehidupan baru di kota asing ini. Selesai persiapan, ia keluar mencari makan untuk mengganjal perut. Ia berhenti di penjual makanan di pinggir jalan. Ia makan di situ dengan lahap. Setelah itu, Ivy pergi ke sebuah perusahaan yang direkomendasikan William. Perusahaan itu cabang dari perusahaan Lewis.

"Selamat pagi Pak Direktur."sapa Ivy dengan sopan di ruangan direktur.

"Silahkan duduk."kata Pak Direktur tegas. Di ruaangan itu, ada calon karyawan lain yang mendaftar ke perusahaan ini. Mereka semua adalah lulusan universitas terbaik. Asisten direktur meminta berkas-berkas persyaratan masuk perusahaan kepada seluruh calon karyawan termasuk Ivy.

Saat membaca identitas Ivy, asisten direkur itu menyembunyikan keterkejutannya, "Nona Lewis."gumam asiten direktur itu.

Selanjutnya tes wawancara. Satu persatu calon karyawan dites di tempat terpisah. Pertanyaan yang diberikan adalah wawasan dasar tentang perusahaan. Ivy bisa menjawab semua pertanyaan itu, semalam ia mempelajarinya lewat buku yang diberikan William.

"Semuanya lulus."kata asisten direktur. Ivy tersenyum puas sambil menatap perutnya, "Nak, Ibu diterima."bisiknya.

Seorang perempuan berwajah lugu, memakai kacamata kotak menghampiri Ivy. "Namamu Ivy, kan? Aku Sara. Kita bekerja di divisi yang sama. Nanti kita saling membantu, ya."kata Sara sambil mengulurkan tangan. Ivy menerimanya.

"Namaku Ivy. Oke, kita saling membantu."kata Ivy pendek. Ivy merasa mual, ruangan yang berac dan kegiatan yang berat membuatnya kelelahan. Kepala Ivy terasa berat,mata Ivy sayu. Ivy memijit keningnya supaya terus sadar.

"Kamu baik-baik saja?"tanya Sara khawatir. Wajah pucat Ivy dan tubuh yang lemas menandakan Ivy sedang sakit membuat Sara cemas. Sara menyarankan Ivy minum minuman berenergi atau makan sesuatu yang membuatnya berenergi. Ivy menolak, ia malah meminta Sara mengantarnya ke toilet. Sara mengangguk. Ia mengantar Ivy ke toilet, ia menyangga Ivy berjalan ke toilet.

Saat di toilet, Ivy memuntahkan segala isi perutnya yang ia makan tadi pagi. Sara semakin cemas. "Ivy, kamu pulang saja. Istirahat di rumah. Aku akan mengantarmu pulang."saran Sara. Ivy menolak. "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir."kata Ivy berusaha tersenyum manis.

"Ivy, tapi." Sara bingung mau berkata apa lagi. Ia mencemaskan kesehatan Ivy, namun orang yang dicemaskan merasa baik-baik saja. "Ivy, makan bekalku saja."tawar Sara. Mereka menuju tempat kerja. Sara mengeluarkan kotak bekalnya bewarna merah muda.

"Iya."Ivy mengangguk. Ia menyuapkan makanan pemberian Sara. Rasa mual kembali menyerangnya. Kepalanya pusing sekali. "Sara, aku..aku..." Bruk. Tubuh Ivy jatuh ke lantai. Sara menjerit dan meminta pertolongan.

"Pak, Bu, Mas, Mba'. Tolong, ada yang pingsan."panggil Sara. Para karyawan berkerumun, bingung mau berbuat apa. Mereka bisik-bisik. Antara bisikan negatif maupun positif.

"Minggir."kata suara tegas meminta jalan di antara kerumunan itu. Suara seorang berwibawa, berkuasa, dan disegani seluruh karyawan. Siapa lagi kalau bukan presdir. Presdir itu memiliki wajah yang tampan, kecerdasan yang luar biasa, ketelitian yang tiada bandingnya, dan kemampuan memimpin perusahaan. Presdir yang hilang lima bulan telah kembali.

"Beri jalan untuk tuan presdir."kata asisten sekaligus sekretaris perusahaan. Semua karyawan mundur memberi jalan. Bisikan-bisikan bak dengungan pebah terhenti. Mereka diam seperti orang bisu. Tak ada yang berani mengangkat suara, karena salah bicara sedikit saja takut menyinggung presdir dan berdampak dikeluarkan dari perusahaan.

Presdir itu mengangkat Ivy ke pelukannya, matanya yang biasanya menatap orang dingin sealan melemah dan hanyut dalam kepedihan. "Sherry."bisiknya. Ya, nama Presdir yang telah lama pergi adalah William Lewis.

"Pa-pak."kata Sara gagap. Untuk pertama kalinya ia berhadapan dengan bos besarnya di hari pertama dalam jarak dekat. William menoleh. "Sa-saya yang menemani dia selama di sini."kata Sara gugup. William menatap Sara dingin.

"Kamu beri makan apa wanitaku?"tanya William membuat tubuh Sara gemetaran. Sara tak mampu mengeluarkan suara. Aura menakutkan yang terpancar dari tubuh Presdir membuatnya tak berkutik. "Wanitaku tidak layak memakan sampah darimu."kata William membuat mata Sara berkaca-kaca.

"Sa-saya tidak akan mengulanginya, Pak."janji Sara sambil membungkukkan badannya. Sara tidak mengerti kesalahannya. Sepengetahuan dia, bekal nasi yang selalu ia bawa ketika istriahat ketika dia kuliah dulu tidak mengandung racun. 'Apa salahku Tuhan? Apa hubungan Ivy dengan bos besarku? Huhuhu.' Sara menangis dalama hati.

"Tuan, setelah ini kita mau ke mana?"tanya asisten Presdir sambil membungkuk hormat. Ia tahu tuannya sedang sedih.

"Ke rumah sakit."perintah William.

"Baik, tuan."kata asisten patuh. William menggendong Ivy sampai ke tempat parkiran. Keringatnya bercucuran, dan nafasnya terengah-engah. Semua itu dilakukan demi wanita yang mirip 'Sherry'. "Sherry, bertahanlah."bisiknya.

Mobil mewah dilajukan ke jalan bebas hambatan. Mereka menuju rumah sakit khusus kalangan kelas atas. Sampai di sana, William menggendong Ivy ke ruang pemeriksaan.

"Periksa dengan benar!"perintahnya kepada dokter begitu sampai. Dokter itu mengangguk. Ia menahan tawa melihat wajah cemas dan outus asa dari tuan muda Lewis. "Baik, tuan."kata dokter patuh. Dokter memeriksa kening, detak jantung, perut, pengan, dan kaki demi melegakan rasa gelisah William. William menunggu dengan duduk di kursi di samping ranjang pasien. Ia terus menggenggam tangan Ivy. "Sherry...Sherry..."bisiknya berulang-ulang.

Dokter melepas masker dan meletakkan peralatan dokternya ke tasnya. William bertanya, "Bagaimana keadaannya dokter?" Raut muka William cemas, seperti akan kehilangan belahan jiwanya.

"Nyonya Lewis kurang sehat."kata dokter yang segera dipotong William. "Karena salah makan dok?"tanya William lagi.

"Nyonya Lewis kurang cairan dan makanan. Mungkin karena gejala kehamilannya. Ia selalu memuntahkan isi perutnya."kata dokter dengan tenang. "Pilihan yang pas buat Nyonya Lewis adalah membelikan makanan kesukaannya.''saran dokter.

"Makanan kesukaan?"gumam William. Ia bertemu Ivy dua hari yang lalu. Seandainya wanita yang ditemukannya terdampar di pantai itu Sherry tentu makanan kesukaannya adalah sea food. Apakah Ivy suka sea food juga? William menyalahkan dirinya sendiri.

"Bagaimana tuan? Sudah menemukan makanana kesukaannya?"tanya dokter mengusik perang batin William. William melotot. Ia belum menemukan makanan kesukaan Ivy. Dokter tersenyum. Di lubuk hatinya ia merasa kagum dengan perubahan besar dari William. William yang dulu cuek sama cewek kini mencemaskan seorang wanita hamil yang tergolek lemah di ranjang pasien.

'Sepertinya wanita ini kekasih tuan William. Sangat cantik.'batin dokter itu.

"Aha! Aku tahu. Dia suka lobster saus tiram."sorak William selang sepuluh menit berpikir. Ia teringat makanan kesukaan Ivy dar perisitiwa makan malam bersama di rumah besar keluarga Lewis.

🌷

"Bagaimana masakan Tante?"tanya Nyonya besar Lewis sambil memperhatikan gaya makan Ivy yang terbilang rakus.

"Sangat enak! Lobster saus tiram ini sesuai seleraku."jawab Ivy di tengah-tengah makan.

Nyonya besar tertawa. "Syukurlah, kalau kamu suka."

🌷

"Hm, untuk orang sakit tidak baik makan makanan berminyak dulu."larang dokter agak sungkan. "Sebaiknya makan yang mudah dicerna seperti bubur ayam dan sejenisnya."lanjut dokter.

"Oke."kata William cepat. Ia berlari kecil ke kantin rumah sakit.

"Masih kekanak-kanakan."kata dokter sambil terkekeh. Ia duduk dengan tenang di kursinya, ia menulis laporan kesehatan Nyonya Lewis. Namun, ia menemukan keganjilan. "Nama dan tanggal lahirnya ini, mirip sekali dengan nona kedua Lewis. Ada apa dibalik ini? Bukannya Nyonya ini namanya Sherry?"gumamnya.

Bersambung...