Chereads / Pengantin Yang Terbuang / Chapter 9 - Sherry ke Tempat William

Chapter 9 - Sherry ke Tempat William

Ivy berangkat ke perusahaan dengan diantar Nita. "Mari nona." Nita mempersilahkan nonanya turun.

"Nita, kamu pulang saja. Aku bisa mengatasi sendiri."kata Ivy dengan tatapan meyakinkan. Nita mengalah. Ia pamitan pada nonanya. Sebelum pergi, ia mengirim pesan singkat pada tuan mudanya bahwa nonanya tiba di perusahaan.

Ivy masuk ke perusahaan dengan langkah cepat. Seluruh karyawan perusahaan memberi hormat kepada Ivy. "Selamat pagi nona." Ivy tersenyum.

Sampailah ia ke ruang kerjanya. Sara, teman satu divisi dengan Ivy menyapa Ivy. "Selamat pagi, Ivy."sapa Sara sambil tersenyum lebar.

"Selamat pagi, Sara. Maaf, kemarin aku merepotkanmu. William tidak melakukan hal aneh-aneh seperti mengancammu kan?"tanya Ivy. Dalam ingatannya, setelah ia makan bekal punya Sara, ia jatuh pingsan dan terbangun di rumah sakit. Nita yang mendampinginya makan makanan yang dibeli William. Kata Nita, William yang membawanya ke rumah sakit.

Sara bingung menjawab pertanyaan Ivy. Kejadian kemarin serba mendadak. Ia memberi bekal makan siangnya pada Ivy, dan Ivy memakannya dengan lahap, tiba-tiba Ivy jatuh pingsan. Para karyawan berkerumun. Kemudian Presdir datang dan memaki-makinya. Mengingat kejadian itu membuat tubuh Sara gemetar.

"Sara?"tanya Ivy sambil menepuk Sara.

"Tidak. Kemarin presdir berterima kasih padaku karena menjagamu dengan baik."kata Sara berbohong. Sara tidak ingin hari keduanya kena masalah lagi karena menyinggung presdir.

Ivy ber-oh pendek. Ia menyalakan komputer. Berkas-berkas yang menumpuk tinggi di sampingnya. Ia memulai bekerja.

Sara tersenyum lega melihat Ivy sehat dan segar bugar. Hari ini dilalui dengan mudah.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Di halaman perusahaan cabang Lewis group, sebuah mobil bermerk berhenti. Kemudian turunlah seorang gadis berpakaian modis dengan gaya tomboy. Siapa lagi kalau bukan Sherry mantan William. Ia datang ke perusahaan itu dengan maksud tertentu. "Wah, gak kusangka, William kerja di sini. Kupikir William anak si cengeng itu tak punya bakat apa-apa."komentar Sherry sambil melangkah angkuh.

Dua orang security menghadang langkah Sherry yang ingin masuk perusahaan. "Permisi, tunjukkan kartu identitas Anda."

Sherry melepas kacamatanya sambil menghembuskan napas kesal. "Hoo, mau menghalangi calon istri presdir kalian? Seburuk inikah kinerja perusahaan ini?!" Sherry mengeluarkan kartu identitasnya di depan wajah security tersebut. "Apa William belum mengenalkanku pada kalian?"eram Sherry dengan tatapan menusuk.

"Ba-baik. Silahkan masuk, nona."jawab security ketakutan. Mereka ketakutan bukan karena Sherry adalah calon William. Mereka takut karena Sherry anak tentara angkatan laut. Mereka bisa dihajar Sherry kalau menolak permintaannya.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

William duduk di bangku kerjanya sambil menatap layar. Letih rasanya mengurus nasib perusahaannya yang selama lima bulan ini diurus pamannya. Semua rancangannya kacau sehingga William meninjau ulang. William mengerutkan keningnya. Kadang-kadang ia meminum kopi buatan sekretarisnya.

Pintu ruangan diketuk-ketuk berkali-kali. William mengangkat kepalanya penasaran. "Siapa yang mengetuk?"tanya William heran.

Asisten William membuka pintu ruangan. Belum sempat bertanya, yang mengetuk pintu menerobos begitu saja dan berjalan menghampiri William. "William, ini aku."

"Sherry."bisik William. Sherry merangkul William dengan erat. William merasa jijik dengan rangkulan Sherry, membuat seisi perutnya merasa teraduk-aduk dan ingin memuntahkannya.

"Aku kangen kamu, William. Ayo kita seperti dulu. Kamu menjadi pacarku, kita duduk di restoran di tepi pantai. Mau ya?"kata Sherry memelas.

William melepas rangkulan Sherry dengan kasar. "Lepas!"bentak William. Sherry terkejut. William yang biasanya lembut padanya,memberikan perhatian padanya kini membentaknya, mendorongnya dengan kasar.

"William."kata Sherry lirih. Di dalam hatinya, ia mengutuk dirinya, membodoh-bodohi dirinya. 'Seandainya aku gak meninggalkan William, tentu William tidak semarah ini padaku.' Air mata Sherry meluncur ke pipinya. "William, aku... aku mohon, berilah ruang untuk mengisi hatimu. Aku janji gak akan meninggalkanmu. Aku janji."kata Sherry di sela-sela tangisnya.

"KELUAR!" bentak William. Asisten William menyeret Sherry keluar ruangan sebelum tuan mudanya mengamuk. Sherry menangis keras. Sekuat apa pun fisiknya, saat kondisinya terpuruk, ia lemah seperti wanita pada umumnya.

BAM! Pintu ruangan kerja William ditutup dengan kasar. Sherry terus menangis sampai matanya bengkak. Rasa sedihnya itu berubah menkadi dendam.

"Akan kubalaskan rasa sakitku dengan penderitaan wanita yang kamu cintai." sumpah Sherry sambil mengepalkan tangan.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Jam makan siang

Sara mematikan komputernya. Ia merapikan berkas-berkas yang tertumpuk di atas meja. Kemudian ia menawarkan Ivy untuk makan siang bareng. "Ivy, sudah waktunya istirahat. Makan siang bareng aku yuk." ajak Sara pada Ivy yang fokus mengerjakan berkas-berkasnya. Ivy tak kunjung menjawab saking fokusnya. Sara tersenyum. Ia menepuk bahu Ivy. Ivy menoleh.

"Kenapa?"tanya Ivy.

"Istirahat dulu, Vy. Nanti lanjut lagi."kata Sara.

"Oke." kata Ivy. Ia membereskan berkas-berkasnya dan merapikan rambut gelombangnya yang terikat oleh pita kupu-kupu. Meskipun Ivy mengandung bayi, ia tak terlihat seperti orang hamil. Ia terlihat seperti gadis yang baru mekar. Makanya ada beberapa pekerja laki-laki menggodanya.

"Hai, Ivy. Gabung sama kami yuk."ajak seorang pemuda lulusan terbaik salah satu universitas ternama. Ia satu tahun lebih tua dari Ivy. Ivy memanggilnya kakak.

"Oke, kak."kata Ivy sambil mengangguk. Ivy dan Sara duduk di bangku kosong tepat di depan kakak yang mengajak mereka bergabung.

"Namaku Aldrian. Ini temanku Rafa. Kami waktu kuliah seangkatan." kata kakak itu memperkenalkan diri.

Aldrian seorang cowok berpenampilan dewasa, sopan, dan jujur. Ia seperti sesosok Michael, orang yang pernah melindungi Kalya sebelum insiden itu. Ivy tertawa garing. Hatinya nyut-nyutan. Ia merasa perutnya ada pergerakan. Mungkinkah bayinya?

Sedangkan Rafa sesosok pria yang polos, apa adanya, dan tidak suka mencampuri urusan orang kecuali jika orang itu butuh bantuan. Menurut pandangan Ivy, Rafa cocok dengan Sara.

"Hm. Sudah memesan makanan?"tanya Aldrian memecah keheningan.

"Belum."jawab Ivy sedikit gugup. Bayangan Michael melekat dalam benaknya.

"Kalau kamu?" Aldrian melempar pertanyaan kepada Sara sambil tersenyum.

"Aku bawa bekal sendiri kak. Biar irit." jawab Sara sambil tersenyum tipis.

"Ah, pesan minum saja. Tenang, temanku yang traktir kalian." kata Aldrian sambil menunjuk Rafa yang cuek sama keadaan sekitar. Pandangannya tertumbuk pada jalanan. Rafa mengangguk karena malas berkomentar.

"Apa saja Kak?" tanya Sara senang.

"Apa saja." jawab Aldrian yakin.

Ivy dan Sara memesan minuman bermacam-macam. Ivy juga memesan makanan junk food. Tanpa menyadari ada sepasang mata yang mengintainya. Sepasang mata itu menatap Ivy dari kejauhan dengan tatapan amarah dan dendam.

"Nona." Nita tiba-tiba muncul mendekati Ivy. Ia datang membawa bekal makan siang untuk nona dan tuan mudanya.

"Nita. Kok kamu tahu aku di sini?"tanya Ivy.

"Tuan muda menyuruh saya mengirim makan siang untuk nona dan tuan muda." jelas Nita dengan penjelasan yang masuk akal.

"Hm, tapi aku sudah memesan makanan." kata Ivy. Wajahnya menjadi murung.

"Ivy sudah memesan banyak makanan. Mubadzir kalau ditinggalkan." dukung Aldrian. Nita mengangguk paham.

"Akan saya sampaikan pada tuan muda. Nona jaga kesehatan, ya." pesan Nita sesaat sebelum pergi.

Sara kembali menggigil ketakutan. Selera makannya hilang. Ia bertanya pada Ivy, "Tidak apa-apakah kita menolak bekal tuan mudamu?" tanya Sara cemas.

"Santai saja. Dia akan kalah dalam genggamanku." jawab Ivy santai.

"Tuan muda siapa? Kamu punya kenalan tuan muda?" tanya Aldrian penasaran.

"Iya. Dia menolongku. Sejak saat itu, aku hidup di bawah pengawasan William." kata Ivy santai.

"William?" tanya Rafa kaget. "William Lewis maksudmu?"

"Iya, William Lewis." jawab Ivy santai. Ketiga teman Ivy membeku, wajah mereka memucat.

"Hei, hei. William tidak mengendalikanku kok. Kalian santai aja. Aku jarang bertemu dengannya." kata Ivy yakin.

"Oh, jadi ini wanita yang merebut hati William dariku?" tanya Sherry dengan tatapan mematikan. Ivy meletakkan sendok. Mereka saling berperang dengan tatapan mata.

Bersambung...