Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

KENANGAN YANG TERSIMPAN

dhila_6432
--
chs / week
--
NOT RATINGS
13.4k
Views
Synopsis
Kalau ada Bram, aku justru lebih senang. Kalau tidak ada Bram, rasanya sepi. Perempuan berambut gelombang itu semakin jatuh cinta pada Bram. Ia masih teringat dengan masa lalunya bersama Rakha. Rakha yang sudah lama meninggalkannya. Kini, Kei hanya ingin dicintai oleh Bram.
VIEW MORE

Chapter 1 - BRAM

Sebagian orang memilih jatuh cinta diam-diam. Diam-diam, ialah yang memiliki cinta paling dalam. Namun, bukan berarti orang yang banyak bicara tidak memiliki rasa sayang. Kebanyakan, hanya disimpan rapat-rapat. Sebagiannya lagi ia akan menunjukkan, kalau memang pantas untuk ditunjukkan.

Memasuki bulan Oktober. Jakarta dengan segala keramaiannya. Banyak dari mereka lalu-lalang untuk mencari nafkah demi sesuap nasi. Sebagian bekerja untuk orang lain, sebagiannya lagi bekerja untuk diri sendiri.

Jakarta terkenal dengan kepadatan penduduknya. Sangat banyak. Bahkan kata sepi dan sunyi tidak berlaku di Jakarta.

Pukul tujuh pagi. Aku sudah berpakaian rapi, dengan mengenakan pakaian kemeja berwarna hitam, dipadukan dengan celana jeans putih dan tidak lupa kerudung berwarna abu-abu misty. Benar-benar perpaduan warna yang sempurna.

"Kuliah pagi?" Suara lembut wanita itu menyapaku di pagi hari.

Bunda. Bunda yang sudah merawatku selama dua puluh tahun ini. Wanita yang paling berjasa, yang rela sakit ketika ia berusaha untuk membuatku hidup di dunia ini. Tanpanya, aku bukan apa-apa.

"Iya, Bun. Ada jadwal kelas pagi." Jawabku pada Bunda.

"Sarapan dulu yuk?" Ajaknya padaku. Aku langsung turun menuju ruang makan keluarga.

Di sana sudah terlihat laki-laki paruh baya, yang usianya hampir sama seperti Bunda. Ayah. Laki-laki paling menyenangkan untukku. Cinta pandangan pertamaku adalah Ayah. Beliau selalu ada, ketika aku membutuhkannya.

Dan yang sekarang ada dihadapanku adalah, laki-laki yang umurnya tak terpaut jauh dariku.

Ken Syahputra. Dia adalah saudara laki-laki ku. Orang kedua yang aku cintai setelah Ayah.

Usia kami selisih dua tahun. Berarti, dia berumur dua puluh dua tahun.

Ia sedang menjalani skripsi di kuliah tahun terakhirnya. Walaupun sedang sibuk-sibuknya. Ia selalu saja mengusili ku. Sikapnya yang sedikit kekanak-kanakan membuatku malas meresponnya.

"Tumben rapi banget." Ia membuka obrolan pertama, ketika aku baru meletakkan pantatku di kursi meja makan.

"Iya, mau kuliah." Jawabku malas, tanpa menoleh kearahnya.

"Oh, jadi dijemput siapa?" Hal seperti ini yang paling tidak kusukai darinya. Selalu memulai pertengkaran yang tidak penting.

"Kak, apaan sih? Orang bareng sama temen-temen." Aku mengelak. Karena merasa tidak enak jika harus membahas tentang cinta di depan Ayah dan Bunda.

"Temen apa temen?" Kekehnya menggodaku. Aku yang semakin tidak tahan dengan celotehnya, memutuskan untuk segera makan. Tak mengubris perkataannya barusan.

Bunda dan Ayah hanya geleng-geleng melihat sikap kami berdua.

Setelah makan, aku terburu-buru untuk meninggalkan rumah. Karena kedua sahabatku sudah berada di luar. Aku segera berpamitan dengan Ayah Dan Bunda. Tak lupa dengan Bi Anna. Kemudian mencium tangan dan kening ketiganya.

"Aku nggak dicium??" Karena ia merasa aku tidak menganggap kehadirannya. Ia pun menanyakan hal tersebut.

"Nggak." Jawabku ketus padanya. Langsung pergi meninggalkan rumah.

Aku sudah malas jika harus berurusan dengan Kak Ken. Dia terlalu sulit untuk kuhadapi.

Aku dan kedua sahabatku langsung berangkat menuju kampus. Karena kelas akan dimulai pukul delapan pagi.

Sesampainya di kampus..

"Nanti selesai kuliah pada mau keluar nggak?" Tawar Jani padaku dan Rahma.

Aku sempat kebingungan menjawabnya. Karena takut tidak dibolehi oleh Ayah dan Bunda. Ah sudah lah. Nanti aku coba merayunya saja.

"Boleh deh." Mengiyakan ajakan Jani. Begitupula Rahma. Ia selalu mengiyakan kemana pun kita berpergian. Baginya jalan-jalan adalah hal yang paling ia tunggu-tunggu.

Jani dan Rahma adalah temanku ketika kami masih duduk di bangku SMA. Kami berteman semenjak duduk di bangku kelas satu. Hingga pertemanan kami berakhir sampai sini. Kami belajar mati-matian untuk mendapatkan kampus yang sama.

Semasa ujian, kami bertiga rela pulang malam untuk menghadiri tambahan bimbingan belajar yang ada di sekolah, maupun di luar sekolah.

Karena usaha keras kami bertiga, kami bisa bertemu lagi dan berkuliah bersama di sini.

Jam menunjukkan pukul delapan. Dosen memasuki ruangan kelas, yang sudah diisi oleh beberapa mahasiswa.

Aku, Rahma, dan Jani duduk di bangku paling belakang dekat dengan AC.

Bapak dosen pun memulai pembelajarannya. Aku mendengarkan dengan seksama. Sambil memperhatikan beliau menjelaskan materi yang disampaikan. Tidak sengaja, pandanganku jatuh pada laki-laki, yang mengenakan jaket hoodie berwarna hitam dan sepatu sneakers berwarna putih. Perpaduan warna yang sempurna.

Laki-laki itu duduk di sebrang bangku ku. Yang membuat mataku, dapat melihat jelas wajahnya dari samping. Matanya terlihat sayu, tatapannya datar mendengarkan penjelasan dosen, yang sedang menyampaikan materi.

Saking seriusnya aku memperhatikan laki-laki yang mengenakan hoodie tersebut. Aku juga tidak sadar, kalau dosen yang tadinya berada di depan kelas, kini sudah berada di depanku.

"Ngelihatin siapa, Kei?" Dengan nada ketusnya.

Aku dengan spontan, langsung membuang lamunanku terhadap laki-laki itu. Dengan rasa tidak bersalah, aku tersenyum kearah beliau.

"Eh, anu Pak. Saya lagi mikirin materi yang bapak jelaskan." Kekehku pada beliau. Aku tidak tahu harus mengatakan apalagi padanya. Karena saat ini, banyak sorotan mata dari mahasiswa yang ada di sekitarku.

"Oh begitu. Yasudah, sekarang tolong jelaskan ulang di depan. Apa yang sudah saya terangkan tadi." Katanya dengan nada santai. Seolah membenarkan ucapanku. Padahal tidak. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Mendengarkan saja tidak, apalagi mengetahui isi materi yang sudah ia jelaskan.

"Loh Pak? Kenapa harus saya?" Aku membela diriku sendiri. Merasa tidak terima, aku akhirnya membela diri. Dengan cara menolak apa yang beliau inginkan.

"Saya nyuruh kamu. Sekarang jelaskan di depan. Agar teman-temanmu yang lainnya bisa mengerti isi materi itu." Setelah menyuruhku, beliau kembali ke tempat duduk. Seakan memberiku kesempatan untuk menjelaskan.

Aku yang tidak tahu harus apa, kini benar-benar diam tidak berkutik. Keringatku mulai bercucuran. Sekarang aku berdiri di depan mahasiswa lainnya. Sebenarnya bukan hal yang jarang kulakukan. Karena biasanya, ketika presentasi tugas kuliah pun. Aku melakukannya sendirian di depan kelas. Hanya saja ini beda cerita. Aku tidak tahu apa-apa. Bahkan isi di kepalaku saja. Benar-benar kosong.

Lalu apa yang harus kujelaskan pada teman-temanku lainnya?

Aku merasa malu, karena tidak bisa menjelaskan apa-apa di hadapan mahasiswa lainnya.

Karena tidak bisa menjelaskan. Alhasil, aku mendapatkan hukuman dari beliau. Yang membuatku harus pulang lebih sore.

Jam istirahat tiba..

"Mau makan apa?" Belum sempat sampai ke kantin. Tiba-tiba langkah kami bertiga terhenti.

Gila. Pemandangan apa yang ada di depanku saat ini. Benar-benar ramai.

Suasana kantin, tiba-tiba menjadi lautan manusia, yang sedang menjalankan ritual mengisi perut yang kelaparan.

"Kalian yakin mau makan di sana?" Tanyaku tak yakin pada mereka berdua. Mereka hanya menggelengkan kepala. Menandakan, tidak ada yang ingin menuju ke sana.

Kami pun memutuskan untuk mencari tempat makan lain.

"Gimana kalo makan di warung depan kampus aja? Di sana nggak terlalu ramai juga." Ajak Jani.

Aku dan Rahma mengangguk. Mengiyakan ajakannya.

Setelah kami meminta izin untuk keluar, dengan embel-embel kantin sudah penuh dan tidak ada tempat lagi. Kami akhirnya bisa lolos.

Sesegera mungkin kami menuju ke warung..

Benar juga. Tidak ada banyak pengunjung. Hanya ada beberapa mahasiswa dan bapak-bapak gojek yang sedang berkumpul sembari menyantap kopi.

Mataku tertuju pada salah satu sekumpulan laki-laki.

Jani yang sudah mengerti terlebih dulu, ia langsung berjalan menuju kearah ketiga laki-laki itu.

"Yaampun.. Samuel?" Jani langsung mengenali salah satu laki-laki yang duduk di situ.

Laki-laki yang bernama Samuel itu, spontan menyerngitkan dahi. Sambil menatap Jani, laki-laki itu berusaha mengingat dengan baik.

Dan, ya..

"Jani yang dulu satu sekolah SD sama aku?" Kemungkinan mereka berjodoh. Bisa-bisanya teman satu SD saja, masih bisa mengingat satu sama lain.

"Gak nyangka, kita bakalan ketemu di sini, Sam." Jani begitu senang ketika bertemu dengan salah satu teman SD nya dulu.

"Wah iya. Kayaknya jodoh nih, Jan."

Kekeh Samuel pada Jani. Aku yang tidak tahu apa-apa. Hanya mengira, kalau mereka sudah seperti orang berpacaran.

"Makan bareng aja yuk? Gabung deh biar rame" Tawar Samuel, pada kami bertiga.

Jani yang memberiku isyarat untuk mengiyakan ajakan Samuel, terlihat senang ketika aku dan Rahma menyutujuinya.

Kami pun akhirnya makan bersama.

Jani duduk bersebelahan dengan Samuel. Rahma yang begitu semangat, duduk bersebelahan dengan teman Samuel. Tampan memang, murah senyum.

Beda cerita dengan laki-laki yang ada di sampingku.

Bukannya menyapa, ia justru menatapku dengan tatapan datar. Tak ada niat untuk menyapa.

Aku yang merasa canggung pun, akhirnya terpaksa duduk di sebelahnya.

"Duh, kenapa bukan aku yang dapet Anang sih." Ucapku membatin dalam hati.

Setelah selesai makan, kami menyempatkan waktu berbincang sembari berkenalan.

Jani membuka pembicaraan terlebih dahulu.

"By the way, kenalin nih. Namanya Kei Saira. Kalo yang ini Rahmalia Monela. Dia sekolah satu SMA sama aku. Jadi kami bertiga udah sahabatan sekitar lima tahun lebih." Jani menjelaskan pada ketiga laki-laki tersebut.

Aku hanya diam, mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

"Oh kamu namanya Kei?" Samuel menoleh kearahku. Aku mengangguk, lalu tersenyum hangat padanya.

"Namaku Samuel. Aku satu sekolah SD sama Jani. Dan well. Kita akhirnya ketemu di sini."

Rahma yang celingukan layaknya orang bodoh, ia merasa malu karena terpergok oleh Anang. Ketika ia sedang memperhatikannya secara dalam.

"Kalo kamu namanya Rahma?" Tanya Anang. Rahma yang tidak sadar, dengan hal yang barusan ia lakukan. Membuatnya malu.

"Rahma?" Ulang Anang, sambil melambaikan tangan di hadapan wajah Rahma. Rahma yang tersadar, seketika ia merasa canggung dan malu.

"Ah siapa? Aku? Iya Rahma. Teman satu sekolah SMA dengan Jani dan Kei. Salam kenal." Ucapnya gugup.

Rahma memang seperti itu. Melihat yang bening sedikit saja. Sudah membuatnya jatuh hati. Semudah itu ia jatuh cinta pada seseorang.

Anang merasa salah satu temannya ada yang belum memperkenalkan diri, ia langsung menepuk bahu temannya itu.

"Sekarang giliran kamu, Bram." Kata Anang, menyuruh laki-laki yang duduk di sebelahku itu untuk memperkenalkan diri.

"Saya, Ajie Karna Bramasta. Panggil aja Bram." Ucapnya datar. Tanpa ada embel-embel salam kenal atau senang berkenalan dengan kami.

"Cuma gitu doang, Bram? Agak panjangan kali.." Samuel yang merasa tidak enak pada kami. Bram terlalu dingin. Raut wajahnya tidak menunjukkan, bahwa ia sedang bertemu dengan kami.

Bram menggeleng, lalu membuang pandangannya kearah lain.

Samuel yang mulai merasa canggung, karena sikap Bram pada kami. Ia berusaha untuk mencairkan suasana tegang yang baru saja Bram ciptakan.

"Hehehe, maaf ya. Bram memang gitu orangnya." Kami berusaha memaklumi sikap Bram. Karena mungkin, ada alasan lain yang membuatnya tidak nyaman bertemu dengan kami.

Seusai kami makan di warung. Kami sesegera mungkin untuk kembali ke kampus. Jam istirahat hampir selesai.

Di kampus, kami berpisah arah. Samuel dan Anang berpamitan untuk menuju fakultasnya lebih dahulu. Sedangkan aku dan kedua sahabatku, melanjutkan untuk menuju ke gedung Fakultas Ekonomi.

Aku baru ingat, kalau Bram juga satu jurusan dengan kami. Buktinya, tadi pagi aku dan dia satu mata kuliah. Bukan begitu, maksudku adalah aku dan kedua sahabatku memiliki jam mata kuliah yang sama dengannya.

"Bram, mau bareng nggak?" Aku berusaha untuk melupakan kejadian kecanggungan tadi. Tawaran itu sengaja aku beri, karena memang tujuan kita sama. Ke gedung Fakultas Ekonomi.

Bram menghentikan langkahnya. Menatapku dengan tatapan dalam. Kedua pasang mata kami saling bertemu. Kali ini, aku jelas bisa melihat banyak pertanyaan di bola matanya. Jantungku yang tadinya berdegup dengan normal. Kini berbeda, ia justru berdebar sangat kencang.

"Nggak." Ucapnya, lalu membuang pandangan matanya kearah lain. Dan melanjutkan langkahnya meninggalkanku yang berdiri mematung menatap punggungnya.

Ingin sekali aku memukul wajahnya. Sikapnya yang dingin padaku, membuatku jengkel. Aku benci di diamkan. Aku juga benci ketika orang yang kuajak berbicara. Justru menjawabku dengan biasa saja.

Tapi tunggu. Mengapa Bram menatapku seperti itu?