Jakarta menjadi saksi bisu kami malam itu. Menjadikanku wanita paling bahagia di dunia. Bram membuatku senang, walaupun sebenarnya aku bukan siapa-siapanya, yang harus ia bahagiakan. Tapi secara tidak langsung, Bram membuat tubuhku yang lelah kini menjadi hati yang bahagia.
Alih-alih Bram memboncengku menuju rumahnya, ia justru membawaku ke jalan rumahku.
"Bram, rumah kamu di daerah sini?" Tanyaku yang benar-benar kebingungan.
"Enggak." Kalau tidak arah rumahnya. Lalu mengapa ia membawaku melewati jalan arah rumahku?
"Bram kamu nggak salah?" Ketika sudah dekat dengan rumahku, aku justru semakin kebingungan.
Sampai di depan rumah. Bram turun, lalu melepas helm yang ada di kepalanya.
Aku yang tadinya kebingungan, ikut turun. Dan berdiri bersebelahan dengannya.
"Udah sampe." Katanya.
"Loh, ini rumah aku Bram. Bukannya seharusnya kita kerumahmu?" Bram memang benar-benar susah ditebak. Alasannya yang tidak masuk akal, membuatku merasa dibodohi olehnya.
"Masuk sana. Udah malam. Saya pamit.." Belum ada selangkah Bram melangkah pergi. Ayah keluar dari dalam rumah.
Dengan tatapan terkejut, aku berusaha untuk menyembunyikan Bram dari hadapan Ayah. Tapi mustahil, karena tubuhku jauh lebih kecil dibandingkan dengan tubuh Bram. Dan lebih tepatnya lagi, Ayah sudah terlanjur keluar dan melihat Bram.
"Ada apa ini?" Tanya ayah menatapku dan Bram.
"Eh.. Anu Yah. Ini teman kuliah Kei. Namanya Bram." Ucapku gugup, memperkenalkan Bram pada Ayah.
"Bram? Teman baru kamu di kampus? Atau pacar baru kamu nemu di kampus?" Ucapan Ayah barusan benar-benar membuatku gila. Kali ini Ayah membuatku malu. Untuk apa Bram menjadi pacarku. Kami juga baru saja kenal.
"Ayah... Bukan gitu. Motor Bram rusak, dia minta tumpangan sama Kei. Bukannya ke rumahnya, dia malah nganterin Kei pulang." Aku berusaha jujur pada Ayah. Karena memang aku dan Bram tidak ada apa-apa. Kami hanya pulang bersama, dengan alasan ; motor Bram rusak. Dan dia menumpang padaku.
"Benar apa yang dibilang Kei, Bram?" Kali ini Ayah berbicara pada Bram.
Kali ini aku takut. Benar-benar takut, kalau Bram justru mendiamkan Ayahku. Yang membuat Ayah merasa tidak nyaman, karena sikap Bram yang dingin.
"Iya Om. Saya awalnya numpang. Terus karena udah malam. Saya yang nganterin Kei pulang." Kalimat yang kudengar barusan adalah, kalimat terpanjang yang pertama kali kudengar dari mulutnya. Tapi raut wajahnya hampir sama, hanya saja kali ini terlihat lebih lesu. Mungkin karena kelelahan.
"Jadi motor kamu rusak, terus kamu minta tumpangan sama Kei. Tapi kamu justru nganterin Kei pulang?" Bram mengangguk, mengiyakan pertanyaan Ayah.
Ayah tak ada tanda-tanda marah. Ia justru tersenyum dan berkata "Makasih ya Bram. Kamu memang anak baik." Sambil menepuk pundak Bram pelan.
Motor Bram memang rusak. Ia sebenarnya butuh tumpangan. Karena kebetulan aku lewat dan menumpangi sepeda motor sendirian, ditambah lagi hari sudah larut malam. Bram mencoba untuk memintaku untuk mengantarnya pulang. Dengan embel-embel motor rusak dan ingin kuantar pulang
Seperti yang Bram katakan, ia mengantarku pulang karena hari sudah malam. Dan Bram takut kalau aku pulang sendirian.
Bram? Apakah dia mengkhawatirkanku?
Seusai Bram berpamitan padaku dan Ayah. Ayah langsung menyuruhku untuk segera masuk ke dalam rumah. Setelah Ayah masuk ke dalam rumah, Bram berpamitan lagi denganku.
"Saya pamit pulang." Sambil membawa helm yang ada pada genggamannya. Bram mulai melangkahkan kakinya untuk pulang.
Sebelum Bram pergi, aku sempat menahannya sebentar.
"Bram?" Panggilku. Ia berhenti, lalu menatapku.
"Apa?" Aku menatap bola matanya kali ini.
"Pulang naik apa?" Tanyaku mengkhawatirkannya.
"Taxi.." Raut wajah Bram selalu dingin seperti itu. Aku hanya bingung, mengapa setiap kali aku menatap matanya. Mata Bram tidak pernah mengalihkan dari pandanganku sama sekali.
"Gapapa emang?"
"Apanya?"
"Pulang sendiri.." Sulit memang untuk mengajak Bram berkomunikasi.
"Gapapa. Sana masuk, udah malam. Udaranya dingin." Kata Bram, lalu pergi meninggalkanku.
"Iyaa.." Jawabku singkat..
Bram mulai pergi berjalan menjauh dari hadapanku. Sekarang aku hanya bisa menatap jauh punggung Bram yang lama kelamaan tidak terlihat.
Udara Jakarta yang dingin, ditambah lagi dengan Bram yang sudah rela mengantarku pulang malam-malam. Membuatku senang. Sikap Bram memang dingin, tapi aku percaya bahwa dalam hatinya ia memilik sikap yang hangat pada semua orang. Hanya saja, Bram tidak ingin menunjukkannya.
Malam ini, Bram benar-benar membuatku lebih merasa lebih indah dari Jakarta. Suasana hatiku yang tiba-tiba menjadi senang. Siapa lagi kalau bukan Bram?
~
Perasaanku lambat laun berubah. Mulai tumbuh tak beraturan dan tak tahu tempat. Kini, perasaanku sudah berjalan terlalu jauh. Rakha membuatku tak bisa menahan perasaanku lebih lama lagi.
"Aku suka sama kamu, Kha." Kataku padanya. Ia membungkam. Tatapannya datar mengarah padaku. Matanya menatap lekat bola mataku. Seakan mencari-cari jawaban atas ucapanku.
"Sejak kapan? Sejak kapan kamu suka sama aku, Kei." Nada bicaranya tiba-tiba pelan. Aku yang tadinya berharap ia menjawabnya dengan semangat. Kini, justru ia memberiku jawaban pertanyaan kembali.
"Sejak kamu bilang, kalo kamu seneng deket sama aku." Ucapku penuh keyakinan. Yakin bahwa Rakha juga menyukaiku. Ternyata tidak.
"Kei. Aku seneng deket sama kamu itu sebagai sahabat. Nggak lebih. Lagian, masa iya kamu suka sama aku." Hatiku seketika hancur mendengar jawabannya.
Aku menatapnya dengan lembut. Memberinya senyuman, seakan tidak akan menangis. Nyatanya tidak semua air mata bisa kubendung dengan mudah.
Rakha memberiku harapan, namun ia juga yang mematahkan harapan itu. Ia sengaja memberiku ruang di hatinya untuk kutempati. Namun, dirinya menolak. Karena bukan aku, yang dia mau.
Tiga tahun aku menyukai laki-laki seperti Rakha. Laki-laki yang kucintai, tepat di mana aku mulai bisa membuka hati untuk orang lain. Rakha mengajarkanku tentang bagaimana mencintai orang, yang bahkan untuk dimiliki saja, itu tidak mungkin.
Dari Rakha. Aku tahu betul. Bahwa kata memiliki, bukan berarti harus bersamanya setiap hari.
Matahari terbit dari sebelah timur. Membuatku terpaksa untuk membuka mata. Hangatnya kini bisa kurasakan. Sinarnya menembus lapisan kulit, seakan memberikan energi baru untuk kuhadapi hari ini.
Jadwal kuliahku masih sama dengan yang kemarin. Karena hari ini aku bangun sangat pagi, mengisi waktu kosong cukup baik untuk kulakukan saat ini.
Saat ini, aku sedang duduk di balkon belakang rumah. Ditemani secangkir teh hangat buatan Bi Anna. Tak lupa ditemani sebuah buku catatan dan pulpen berwarna biru.
Kali ini aku ingin menyuarakan suara hatiku yang sudah lama mendesak pikirankuu. Membuatku terlalu berlarut di dalamnya.
Kubuka lembar demi lembar halaman. Mencari halaman kosong untuk kutuang cerita di atasnya.
Mentari pagi ini menyapaku dengan kehangatan. Setelah dihujam dengan kedinginan semalam.
Ia menyapaku dengan sapaan paling hangat di bumi.
Ia menyeruak di dalam tubuhku.
Hangatnya menusuk ke dalam pori-pori kulitku.
Senja memberikan kehangatan, selepas membuatku kedinginan semalam.
Kututup halaman buku bersampul coklat itu. Lalu, meminum teh hangat yang sudah menemaniku menulis pagi ini.
Laki-laki yang usianya lebih tua dariku dua tahun, menghampiriku. Ia duduk dan menyilangkan kedua kakinya di atas kursi balkon. Sambil menikmati terik matahari pagi ini, ia mengajakku untuk mengobrol.
"Seneng kemarin diantar pulang Bram?" Ia yang tak lain adalah Kakakku, membuka pembicaraan.
"Seneng sih.." Ucapku sesuai dengan apa yang kurasakan saat ini.
"Sesenang apa?" Tanyanya padaku. Aku yang sedang menikmati teh hangat yang kini mulai dingin itu, merespon apa yang Ken tanyakan padaku.
"Senang aja. Nggak tahu, rasanya kayak aneh banget. Aku merasa jadi orang paling beruntung, karena udah ketemu sama orang kayak dia, Kak." Aku beruntung, karena semesta sudah mau mempertemukanku dengan Bram.
Pria dingin yang irit bicaranya, bisa membuatku merasa paling beruntung karena-nya.
Ken memang tahu, apa yang sedang aku pikirkan. Pikiran kami terkadang, menyatu tidak tahu waktu. Ia bisa mengerti apa yang ingin kulakukan. Dan dia baru saja menebak pikiranku.
"Bram asik orangnya?" Tanyanya padaku. Salah besar kalau aku menjawab Bram adalah orang yang asik. Justru sebaliknya, ia bahkan tidak suka dengan kehadiranku di hidupnya.
"Asik. Kadang aja suka diem. Tapi ya, kadang juga peduli. Kayak kemarin malam." Sengaja tidak kukatakan sifat asli Bram. Karena memang seharusnya begitu. Biar aku saja yang merasakan sifat dingin Bram itu.
"Udah?" Katanya padaku. Aku yang tidak mengerti ucapannya, menatapnya dengan bingung.
"Udah apanya?" Ucapku asal.
"Udah mulai suka sama Bram?" Perkataan Ken barusan membuatku benar-benar bungkam. Ia sengaja membuatku mati membisu seperti itu.
"Ngawur, enak aja. Bram bukan selera Kei, Kak Ken." Ucapku berbohong. Padahal Bram adalah pria yang ingin kukenal lebih dalam. Ia berbeda dengan Rakha.
"Ciee.. Ya terus kalo emang nggak suka. Kenapa kamu harus marah?" Benar, mengapa aku marah. Padahal, kalau memang aku tidak menyukainya. Harusnya aku tidak usah marah seperti itu. Terdengar aneh rasanya.
"Udah ah Kak. Kenapa malah bahas Bram sih?" Aku kesal. Tidak terlalu suka, kalau harus membahas Bram bersamanya.
"Kei nggak semua perasaan itu harus disimpan rapat-rapat. Kadang kala, kita juga harus egois sama diri kita sendiri. Terlebih lagi tentang perasaan." Kali ini ucapannya benar-benar membuatku bungkam. Ken yang biasanya tidak pernah berkata sebijak itu. Membuatku terdiam kaku, dan tidak tahu bagaimana harus membalasnya.
Kalimat yang baru saja ia lontarkan. Benar-benar membuatku bingung. Apa yang baru saja Ken katakan, membuatku berpikir lagi. Bahwasannya memang benar, tidak semua perasaan harus disimpan rapat-rapat. Tidak semua hal juga dapat dikatakan dengan tepat. Apakah aku mulai menumbuhkan perasaan pada Bram, atau memang sudah tumbuh dari awal?
Tapi Bram bukan laki-laki yang aku inginkan. Tapi, sejak malam itu. Bram memberiku sedikit harapan untuk memilikinya. Untuk dapat masuk ke dalam hatinya. Secara tidak langsung, ia memberiku celah agar aku dapat masuk, menempatkan perasaanku di dalam hatinya.
"Menurut Kakak, ciri-ciri orang yang lagi jatuh cinta itu kayak gimana sih?" Aku sedikit penasaran.
"Ciri-ciri orang yang lagi jatuh cinta itu. Moodnya berubah-ubah. Ada sedikit perubahan dalam dirinya, dan yang bisa ngerasain itu cuma diri orang itu sendiri."
Benar juga. Bahkan setelah kejadian semalam, aku hampir tidak bisa tidur. Meskipun hanya diantar pulang saja, paling tidak. Itu sudah membuatku merasa senang. Bram merelakan dirinya untuk pulang sendiri, dan memilih untuk mengantarku pulang.
Sembari menikmati mentari pagi. Perbincangan hangat membuatku sekilas memikirkan tentang Bram. Bram laki-laki dingin yang ketemui pertama kali dengan jaket hoodie berwarna hitam disertai sepatu sneakers berwarna putih.
Membuatku sudah mencintainya lebih dulu.
"Kalau Kei suka sama Bram. Itu wajar nggak Kak?" Tanyaku berusaha untuk terbuka pada Ken.
"Iya wajar aja lah. Kenapa? Udah mulai ragu sama perasaan sendiri ya?"
Aku memang tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Semenjak kejadian malam itu, rasaku mulai tumbuh. Bahkan ketika Bram mengantarkanku pulang beberapa hari lalu. Aku sudah lebih dulu menyukainya.
Walaupun sikapnya yang dingin dan rumit. Aku masih dapat merasakan kehangatan dalam hatinya.
Bram sudah dua kali mengunjungi rumahku. Ah bukan. Maksudku ia sudah dua kali mengantarku pulang. Yang pertama, ketika ia tidak sengaja menabrakku, alih-alih ia membiarkanku. Ia justru menolongku, dan memberi tawaran untuk mengantarku pulang. Motornya rusak, ia memintaku untuk memberi tumpangan. Mana bisa kusebut meminta tumpangan, kalau dia tidak meminta izinku.
Sikap Bram memang keterlaluan. Tetapi, yang membuatku aneh adalah mengapa aku tidak bisa marah pada Bram? Justru aku menuruti apa yang dia katakan.
Semesta memang sengaja mempertemukanku dengan Bram. Membuatku mencintai Bram lebih dulu. Tapi apa mungkin Bram bisa mencintaiku juga? Sebuah ketikdakmungkinan yang hanya menjadi harapanku saja. Seorang Bram yang berhati dingin itu memiliki perasaan terhadapku. Ada-ada saja.
Pukul empat sore. Aku sudah berada di kampus. Tak lupa bersama Jani dan Rahma. Kami memiliki jam kuliah yang sama. Sambil menunggu dosen masuk, sembari menunggu aku menyalakan ponsel. Berharap ada pesan masuk dari Bram. Ah, bagaimana bisa, kontak linenya saja aku tidak punya.
"Kei.. Lihat deh. Ada Bram tuh.." Aku tidak tahu harus apa. Senang rasanya karena harus satu kelas dengannya. Ada Bram, membuatku lebih semangat.
"Bram?" Sapaku padanya. Ia hanya menoleh, tanpa menjawab sapaanku.
Aku mendekatinya, berusaha untuk mengajaknya berbicara.
"Bram?" Ia berdeham.
"Makasih ya untuk kemarin malam." Ucapku, lalu tersenyum.
"Iya.." Pandangannya fokus pada ponsel yang sedang ia genggam. Aku yang merasa takut menganggu, segera pergi dari sebelah bangkunya.
Kelas sedang dimulai. Dosen pun, memberikan materi demi materi..
Karena jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kelas pun diusaikan. Aku segera bergegas pulang.
Menuju parkiran mobil bersama Jani dan Rahma.
Ketika di perjalanan, aku teringat sesuatu yang mungkin aku lupa untuk membawanya.
Dengan perasaan tidak enak, aku membuka tas memeriksa sesuatu di dalamnya. Ah benar, buku catatan puisiku yang selalu kubawa setiap hari tertinggal di meja.
Karena sudah hampir setengah perjalanan, mana mungkin harus kembali ke sana. Yang ada, pasti akan pulang terlambat. Tapi kalau tidak ke sana sekarang, takut ada yang mengambil buku itu.
Dalam hati, pikiranku kacau. Mengapa aku begitu ceroboh. Padahal sebelumnya, buku itu tidak pernah tertinggal. Tapi baru kali ini, aku melupakannya di kelas.
"Mau balik lagi ke kampus?" Tanya Jani yang sedang mengemudi.
Aku merasa tidak enak dengan teman-teman jika harus kembali ke sana. Karena hari sudah cukup malam, dan lagipula ini juga mobil Jani. Mana bisa aku seenaknya bolak-balik ke kampus, hanya untuk mengambil sebuah buku yang tidak terlalu penting. Ya, sebenarnya buku itu sangat penting untukku. Tapi mau bagaimana lagi.
"Nggak usah deh. Mungkin, nanti yang tukang bersih-bersih kampus yang nemuin. Biar besok pagi aja aku ke sana." Jawabku merasa tak enak kepada Jani dan Rahma.
Aku pulang dengan tangan hampa. Tak berbekal buku catatan yang selama dua tahun ini kusimpan. Yang membuatku berat hati adalah, takut buku itu hilang. Kalau rusak, sebenarnya tidak apa-apa. Tapi kalau sudah hilang? Aku bahkan tidak tahu harus apa.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Aku bangun dengan keadaan sangat berantakan. Rambutku yang acak-acakan, membuatku terlihat meggelikan di mata orang yang sedang menatapku kali ini.
Bram sudah di hadapanku. Ia berpakaian santai. Kaos oblong hitam dengan celana jeans biru. Membuatnya terlihat tampan pagi ini.
"Kei?" Panggilnya padaku.
"Iya?" Aku masih belum sadar dengan keadaanku saat itu.
"Ini.." Sambil memberikan sebuah buku catatan bersampul coklat kepadaku.
Aku terkejut. Senangnya luar biasa buku catatan itu bisa kembali padaku. Tapi, bagaimana bisa buku itu ada pada Bram?
"Yaampun Bram.. Kamu nemu ini di mana?" Kataku masih tak percaya. Sambil memeriksa buku catatan itu. Dan benar, masih sama dengan yang terakhir kali kulihat.
"Bukunya tertinggal di mejamu. Jadi saya balikin sekarang." Bram benar-benar membuatku merasa lega.
"Makasih banyak ya Bram. Aku nggak tahu, apa yang bakal aku lakuin tanpa buku ini. Makasih sekali lagi Bram.." Ucapku dengan sangat senang sekaligus bersyukur.
Karena melihat keadaanku yang sedang semrawut itu. Bunda langsung marah kepadaku.
"Kei penampilan kamu bener-bener ancur. Cepet mandi sekarang. Suruh Bram masuk." Teriak Bunda padaku. Benar, keadaanku saat ini sedang kacau. Dan lebih kacaunya lagi, aku tidak sadar aku sedang berpenampilan seperti ini di depan Bram.
Dengan sigap, aku langsung berbalik badan. Berniat untuk masuk ke dalam rumah lagi.
"Kei?" Bram memanggilku dengan suara dingin khasnya.
"Ii... Iyyaa..." Ucapku gugup.
"Puisimu indah. Lebih indah dari jakarta tentunya." Ucap Bram. Kali ini berbeda. Ia tersenyum. Senyumnya sangat tipis, tipis sekali. Aku yang tidak tahu harus berkata apa. Dengan raut wajah memerah, aku segera berlari menuju tangga dan kembali ke kamar.
Kali ini, aku ingin berteriak kencang. Kencang sekali. Pagi-pagi begini, sudah diberikan kejutan oleh semesta melalui Bram.