Chereads / KENANGAN YANG TERSIMPAN / Chapter 9 - KARENA MASA LALU

Chapter 9 - KARENA MASA LALU

Berjalannya waktu. Semakin hari, manusia dituntut untuk membahagiakan diri sendiri. Namun tidak, manusia jauh lebih mementingkan kebahagiaan orang lain daripada dirinya sendiri. Yang membuat manusia sedih dan patah adalah harapan yang mereka ciptakan untuk orang lain. Padahal, orang lain belum tentu mengertinya. Alasan mengapa manusia selalu menangis di tiap malam. Selalu berhubungan tentang kehilangan harapan.

Karena terlalu canggung jika membahas tentang perasaan kepada Bram. Aku berusaha mencairkan suasana dengan menceritakan tentang masa kecilku padanya. Bram menyimak dengan baik kalimat tiap kalimat yang kuucapkan. Ia tersenyum senang, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. Senyumannya kali ini berbeda, daripada sebelumnya. Raut wajah dingin dan kaku itu, seketika hilang dari wajahnya.

Bram tertawa, ketika mendengarku menceritakan masa kecilku yang nakal. Masa kecilku yang benar-benar, jauh berbeda dengan keadaanku saat ini. Menceritakan hal konyol di hadapannya tanpa rasa malu. Saya ikut tertawa, ketika melihatnya tertawa terbahak-bahak seperti tak ada beban sama sekali. Seperti tak ada luka yang ia simpan. Seperti laki-laki hangat pada umumnya.

Benar saja, tanpa kusadari. Ia tersenyum, dan kubalas dengan senyuman pula. Senang, karena saya bisa membuatnya lupa dengan sikapnya yang dingin.

"Kei, katamu ciri-ciri orang jatuh cinta. Selalu senyum, ketawa terus. Berarti kamu sedang  jatuh cinta sekarang?" Kalimatnya barusan membuatku seketika terdiam. Aku membisu. Aku tidak tahu harus apa, memberikan jawaban seperti apa yang pas untuknya.

Aku mengangguk, "Iya, aku sedang jatuh cinta. Tapi, orang yang sedang aku cintai, dia sudah mencintai orang lain." Aku tersenyum tipis. Bram menatapku dengan serius. Setelah perbincangan menyenangkan tadi, kini kami kembali terdiam. Layaknya orang asing.

"Maksud kamu, saya?"

"Kamu? Apanya?" Aku pura-pura tak paham maksudnya.

"Orang yang kamu maksud mencintai orang lain, itu saya?" Aku membisu seribu bahasa. Bram membaca pikiranku dengan baik. Kalimatnya barusan, membuatku tak bisa berucap apa-apa.

"Bram.." Belum saja aku menyelesaikan ucapanku. Ia sudah memotongnya terlebih dahulu.

"Saya kan, Kei?" Kini pandangannya sepenuhnya ke arahku. Aku kebingungan setengah mati. Ah, bukan. Bahkan hampir mati.

"Bukan begitu Bram maksudku."

"Saya nggak tahu. Ini cuma sekedar perasaan biasa atau memang saya bener-bener butuh kamu." Bram berbeda. Berbeda seratus delapan puluh derajat, dari awal pertemuan kami. Ia diam, membisu. Tak ada obrolan yang ingin ia ucapkan. Tapi kali ini? Bahkan mengungkapkan perasaannya, tak ada keraguan di dalamnya.

Merasa canggung dan hampir tidak ada kata lagi yang bisa saya ucapkan. Saya memutuskan untuk pergi ke toilet sebentar.

Di toilet, saya membenarkan pikiran saya. Menenangkan detak jantung yang saya rasakan daritadi, berdetak tidak karuan. Ah, yang benar saja. Bram hampir membuatku mati ditempat.

Karena hari sudah mulai sore. Bram mengajakku untuk kembali pulang. Takut kalau Bunda mencariku. Bram mengantarku pulang. Di tengah perjalanan. Tak ada pembicaraan yang kami ucapkan. Kami benar-benar sibuk dengan pikiran masing-masing.

Perasaan apa yang saat ini sedang kurasakan. Aku sedikit senang, ketika mendengarnya mengatakan perasaan yang ia simpan padaku. Hanya saja, untuk memulai sesuatu dengan hal yang baru, membuatku sedikit ragu. Perasaanku pada Bram memang begitu besar. Sampai, ketika aku melihatnya untuk pertama kali. Aku sudah menduga perasaan ini. Sudah mengakui dalam diri, kalau ternyata yang saya ingin adalah Bram.

"Udah, sana masuk. Keburu sore. Salam untuk Bunda, salam untuk Ayah. Salam untuk Kak Ken." Ia tersenyum. Aku juga membalasnya dengan senyuman.

"Bram, hati-hati ya pulangnya." Ucapku mengingatkan.

"Iya. Saya pamit." Ia pergi melajukan kendaraanya meninggalkan halaman rumahku.

Dengan keadaan senang dan bimbang jadi satu. Aku memberanikan diri untuk memulai hal baru. Aku mencoba untuk sedikit membuka hati untuk Bram. Aku tahu, mungkin tidak banyak yang bisa Bram lakukan untukku. Mungkin Bram tidak bisa menjadi Rakha. Seperti dulu. Hanya saja, sekarang aku ingin mendewasakan. Tanpa terjebak di masa lalu. Tanpa tersesat di pikiranku sendiri tentang Rakha.

Malam ini, aku begitu merasa senang. Bram yang kukenal dingin dan kaku itu. Sekarang berbeda. Dia jauh lebih perhatian. Walau terkadang raut wajahnya yang dingin selalu muncul di wajah manisnya itu.

Pesan Line, masuk dari ponselku.

Jani

Katamu waktu itu minta id linenya Bram. Ini aku udah nemu.

Serius?

Mana?

Bramastaak99

Tuh..

Thx u ya Jani.

Kamu cantik banget deh.

Dih, bilang cantik kalo ada maunya.

Dasar..

Setelah Jani memberiku Id Line Bram. Kuputuskan untuk mengirim pesan singkat padanya.

Line

Bram

Hai, aku Kei.

Makasih ya, udah nganterin pulang.

Tak ada jawaban dari Bram. Sikapku kali ini seperti orang bodoh yang menunggu pacarnya membalas pesan singkat. Sambil menatap ponsel, kutunggu Bram untuk membalas pesanku.

Bram

Kei?

Oh, ya sama-sama.

Bram?

Buat yang tadi kamu bilang.

Perasaan kamu ke aku, itu beneran?

Oh, itu.

Gk ush dipikir. Lupain aja.

Bagaimana bisa ia bersikap dingin lagi padaku. Padahal tadi ia mengucapkan dengan sungguh.

Oh, yauda.

Aku tidur dlu

By

Read.

Ah, yang benar saja dia. Baru saja tadi mengantarku pulang, berucap seolah ia yakin dengan ucapannya tentang perasaannya padaku. Namun, mengapa sekarang berbeda lagi. Suasana hatinya selalu berubah-ubah.

Aku memutuskan untuk mematikan ponsel dan meletakkannya di atas nakas dekat ranjang.

Berdiri menuju lemari kecil, dan mengambil sebuah kotak berwarna hitam berukuran sedang. Kubuka dengan perlahan. Mengamati isi yang ada dalam kotak itu. Air mataku tiba-tiba tak bersahabat. Ia terjatuh dengan sengaja.

Malam ini, kubuka kembali kenangan tentanh Rakha. Kubuka kembali kotak hitam berukuran sedang itu, dan mengambil sebuah amplop berwarna pink dengan balutan pita berwarna putih di atasnya. Pelan-pelan, kubuka kertas buram dengan tinta hitam yang penulis itu tuangkan. Isinya kubaca perlahan.

Hai, sahabatku tersayang. Apa kabar?

Kei Saira. Perempuan yang kutabrak saat sepulang sekolah dengan raut wajah tidak merasa sakit sama sekali. Bagaimana kabarmu saat ini? Maaf, aku tidak memberimu kabar sejak perpisahan itu. Maaf pula, aku tidak menjawab semua pesan masuk email darimu. Aku membacanya, tapi tak bisa kubalas. Karena aku tahu, kamu sudah bahagia sekarang. Sudah menjadi seorang Kei yang cantik, dan pintar. Seperti terakhir kali kita bertemu.

Kei, kamu senang bukan?

Kamu sudah beranjak dewasa. Sudah menjadi wanita yang semua laki-laki idamkan.

Maaf, perasaanmu sewaktu dulu tidak bisa kuterima. Aku memang menyayangimu, Kei. Tapi aku tidak mau, persahabatan itu harus berakhir, ketika kata putus dan pisah terucap dari salah satu bibir kita.

Maaf, aku tidak pernah mengunjungimu.

Bagaimana kabarmu sekarang. Aku rindu, Kei.

Balas pesanku kalau kau sempat. Senang, akhirnya bisa melihatmu bahagia.

Dari Rakha. Sahabatmu tersayang.

Sungguh. Membaca surat ini, membuatku benar-benar sakit. Membuatku menjadi orang paling menyedihkan di bumi. Ditinggalkan dengan Rakha, membuatku kehilangan seluruh duniaku. Rakha memaksaku untuk menghapuskan segala kenangan tentangnya. Memintaku untuk segera menghilangkan perasaanku terhadapnya.

Kututup kembali kotak hitam itu, dan kukembalikan ke tempat semula. Membaca surat darinya, hanya akan menimbulkan luka baru. Kuputuskan dengan beristirahat, sejenak melupakan tentang masalah hari ini. Biarlah semesta yang mengatur kesedihanku. Biarlah waktu yang memberiku jawaban atas kesedihan ini.

Tidur adalah jawaban terbaikku satu-satunya.

Hari ini aku ada jadwal kelas pagi. Bersiap-siap untuk berangkat. Berniat merapikan rambut dan memakai kerudung. Aku melihat diriku sendiri di kaca meja rias kamarku. Mataku benar-benar terlihat sembab. Seperti orang habis menangis semalaman. Padahal, aku tidak menangis separah itu. Ah, pasti malu sekali rasanya. Karena waktu yang tidak pas. Tidak akan kubiarkan kali ini aku terlambat masuk kuliah dan berakhir absen bersama Bram.

Sesampainya di kampus.

"Mata kamu kenapa, Kei?" Benar dugaanku. Pasti ada ribuan pertanyaan yang akan menyerbuku.

"Lagi galau." Ucapku malas, berjalan mendahului mereka. Mereka tak putus asa dan tetap mengejarku.

"Nangis kenapa? Gara-gara Bram? Kena pukul ayah, bunda, atau Kak Ken?"  Banyak sekali pertanyaan dari Rahma. Sampai terasa berisik sekali di telingaku.

"Enggak semua, Ma. Udah deh, jangan lebay." Ucapku dengan ketus karena tidak mau ada yang mengangguku. Jani dan Rahma membiarkanku masuk ke ruang kelas sendirian. Mereka hanya menatapku bingung.

Kuliahku kali ini tak ada yang masuk ke dalam pikiranku sama sekali. Aku tidak fokus. Perasan ini benar membuatku bingung. Di satu sisi aku sudah mencintai Bram. Sedangkan kenangan masa lalu tentang Rakha. Sepenuhnya aku belum bisa melupakan.

"Ada apa sih, Kei? Kenapa mata kamu sembab, muka kamu juga ketekuk aja daritadi." Jani merasa geram padaku.

Aku hanya menatap makanan yang sudah dingin dihadapanku ini. Tak ada nafsu sama sekali.

"Dimakan Kei, kenapa harus gitu sih. Cerita kalo ada apa-apa." Jani berusaha untuk membuatku terhibur.

"Lagi galau. Keinget Rakha."

"Lagi? Dia lagi? Udahlah, Kei. Kasihan Rakha, kalo kamu terus-terusan kayak gini." Ucap Rahma menenangkanku.

"Tapi aku kangen sama dia, Jan, Ma. Aku nggak tahu, harus berbuat apa. Pesan emailku saja belum Rakha balas. Pesan tulisku yang kukirim lewat kantor pos. Sampai sekarang belum ada balasan. Sampai kapan, aku harus nunggu?" Tangisku pecah. Kali ini tak bisa kutahan. Kesedihan selalu memihakku.

"Kei, udah. Jangan nangis ah. Tenang okey? Yang sabar. Pasti nanti, kalo Rakha ada waktu juga bakal dibales." Jani memelukku.

Sampai kapan aku harus menunggu, Kha. Aku capek. Pesan sederhana dariku saja, belum bisa kamu balas. Bagaimana kamu akan membalas perasaanku.

Harapan yang sudah kuberi pada Rakha, harus kukubur dalam-dalam. Membiarkan semua kenangan yang Rakha beri, harus segera kulenyapkan. Ia sudah lama pergi, meninggalkanku dengan luka. Tak pernah mengunjungiku, bahkan menemuiku. Aku tidak tahu, mengapa Rakha sangat begitu sibuk, dan hampir tak punya waktu. Apa yang membuatnya harus menjadi orang asing bagiku. Perasaan ini, memang harus dihapuskan benarnya.

Semesta mendatangkan seseorang hanya untuk memberi kisah dan luka. Memberi suka dan duka. Selebihnya, hanya akan memberikan kenangan. Dibiarkan kenangan itu lenyap dimakan waktu, atau dikenang sebagai hal yang paling menyenangkan.

Semesta mendatangankan Rakha, hanya untuk pengisi rasa sepiku. Mengisi waktu luangku. Tanpa memberinya perasaan lebih untukku. Aku tahu, mungkin niat semesta hanya mempertemukanku dengan Rakha sebatas sahabat. Tapi bagaimana mungkin, persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak menimbulkan perasaan apa-apa. Pasti salah satunya memiliki perasaan lebih dari itu.

Perasaanku terhadap Rakha membuatku jauh dengannya. Membuatku harus ditinggalkan olehnya.

Semesta punya hal baik untuk kudengar. Rakha mungkin sudah menemukan pilihannya. Sudah menemukan orang yang pas dan cocok. Menemukan perempuan yang lebih sempurna dan menyayanginya daripada aku.

Sepulang kuliah. Aku berpapasangan dengan Bram.

"Bram.." Panggilku. Ia berhenti, tepat di hadapanku.

"Iya, kenapa?" Mengapa cara bicaranya berbeda sekali dengan semalam?

Bagaimana bisa ia merubah sikapnya dalam waktu semalam saja?

"Gapapa. Tentang orang yang aku suka sebenernya itu.."

"Bahas lain waktu ya?" Ucapnya lalu pergi meninggalkanku.

"Bram..?" Panggilku. Sungguh, rasa sakit yang tidak bisa kujelaskan saat ini. Membuatku bingung harus apa. Sementara sikap Bram yang berubah-ubah membuatku sedikit menyerah, namun aku menolak untuk menyerah. Aku sudah terlanjur menyukai Bram. Mau tidak mau, harus kudapatkan hatinya.

Aku menatap kepergian Bram, yang meninggalkanku sendirian. Aku hampir merasa bingung dengan sikapnya yang berubah-ubah. Aku juga tidak tahu, apa yang membuatnya tidak bisa bersikap hangat padaku, tanpa memberiku sikap dinginnya itu.

Mood hari ini benar-benar tidak baik. Aku memutuskan untuk pulang. Tak lama, kedua sahabatku datang.

"Kei.."

"Kalian belum pulang?" Tanyaku terkejut setelah melihat kedua temanku ternyata masih berada di kampus. Kukira, sudah pulang dulu.

"Belum. Jadi, aku sama Rahma rencananya mau main ke rumahmu. Sekalian ngobrol-ngobrol sama Ayah, Bunda."

"Mau ngobrol sama Ayah, Bunda. Atau sama Kak Ken?" Godaku pada mereka berdua.

Mereka memang suka modus. Punya banyak alasan untuk bisa datang berkunjung ke rumahku. Padahal ya, keinginan utamanya ingin melihat Kak Ken.

"Hehehehe, ya Kak Ken juga sih.." Kekeh Jani, kami bertiga akhirnya tertawa.

Dirumah sudah ada Ayah, Bunda, dan Ken yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Kupersilahkan masuk Jani dan Rahma untuk memberi salam pada keluargaku. Bi Anna yang baru saja menyapa kami, sudah lebih dulu menawarkan minuman padaku dan kedua sahabatku.

"Mau dibikinin minuman apa, Kei?" Tanya Bi Anna, yang merupakan asisten rumah tangga di rumahku, sekaligus sudah kuanggap sebagai keluarga.

"Kei, teh manis aja, Bi. Kalo Jani sama Rahma bikinin jus kesukaan mereka aja." Pungkasku pada Bi Anna. Jani dan Rahma memang sering berkunjung ke rumahku, sampai-sampai minuman yang selalu Bi Anna suguhkan adalah Jus Jeruk dan Jus Mangga.

Untung saja, rumahku masih memiliki stock buah-buahan. Coba kalau tidak, pasti mereka kusuguhi air mineral saja.

Kami semua mengobrol bersama di ruang tamu. Keberadaan Kak Ken, membuat Jani dan Rahma semakin senang berada di rumahku. Setelah mengobrol panjang lebar, dan tak ada hentinya. Aku mengajak mereka berdua untuk menuju ke kamar pribadiku. Di sana, aku dapat bercerita banyak dengan mereka.

Mereka juga membagi ceritanya padaku. Kami saling membagi cerita satu sama lain. Setelah menuju kamar, kami bertiga mengobrol, membicarakan Bram. Jani yang sudah tahu perasaanku pada Bram, berusaha meyakinkanku tentang bagaimana Bram padaku.

"Kei, kamu suka sama Bram?" Tanya Jani yang  sedang sibuk memainkan ponsel di tangannya.

Aku masih berpikir, bagaimana memberitahu pada kedua sahabatku ini. Kalau sebenarnya aku sudah...