Belum lama ini, seorang kurir dari kantor pos mengirimiku sebuah surat. Surat tersebut dikemas dengan apik. Diberi amplop berwarna pink serta hiasan pita putih sebagai pelengkap. Di belakang surat tersebut, tertera nama pengirimnya. Anehnya itu lucu sekali. Yang ia kirimkan adalah nama samaran. Tulisannya "Pengawal Setiamu" Aku tahu betul siapa pengirim itu. Tak butuh waktu lama kubuka isi amplopnya.
Orang itu menulisnya dengan tinta berwarna hitam. Pekat sekali warnanya. Tebal pula aksara yang ia tulis. Tulisannya tak begitu rapi. Hanya saja, kurang bagus jika kupandang.
Hahaha, aneh.
Isinya begini..
Kamu pasti tahu, siapa yang mengirim pesan konyol ini untukmu. Kei, aku rindu. Aku rindu sekali denganmu. Maaf aku tak memberi kabar selama aku pergi dari kota penuh keramaian itu. Jakarta membuatku bising. Maaf ya, aku sudah meninggalkanmu dengan Jakarta.
Bagaimana kabarmu, Kei? Kamu sudah mencintai orang lain belum? Sudah mulai membuka hati dengan orang baru belum?
Aku selalu mendoakanmu, supaya kamu bisa segera mendapatkan orang yang pantas, Kei.
Di sini nyaman, Kei. Aku senang. Aku merasa bahagia. Nggak ada kebisingan lalu lintas darat. Nggak ada suara klakson, karena berebut jalanan yang macet. Di sini tenang, Kei.
Nanti, kalau sudah waktunya. Aku akan mengajakmu ke sini.
Hanya ini yang bisa kuceritakan padamu, Kei.
Salam untuk Ayah, Bunda, dan saudara laki-lakimu. Aku merindukan mereka semua.
Surat terakhir yang kubaca, yang tak kuterima balasannya. Aku selalu membacanya berulang kali. Berulang kali, aku selalu menangis setelah membaca surat kedua darinya. Sudah satu tahun yang lalu. Sampai sekarang, aku tidak mendapatkan balasan dari surat yang ia kirimkan padaku. Aku merasa sedih, merasa rindu tiap kali membuka kotak hitam penuh kenangan itu. Tentang Rakha, aku hanya menyimpannya rapat-rapat.
Pesan emailku setahun yang lalu, dua bulan yang lalu, dan seminggu yang lalu. Sudah kukirimkan padanya. Namun, tetap saja. Tak ada balasan. Yang ada dipikiranku saat ini adalah, apakah ia sibuk? Apakah ia tidak bisa menyempatkan waktu untuk membalas pesanku sebentar saja? Atau ia memang sudah tidak mau lain untuk membalas pesan singkatku itu? Yang manakah sebenarnya?
Kuputuskan untuk menyimpan kotak hitam itu di dalam lemari yang sudah usang. Kubiarkan segala kenangan yang dulu kami ciptakan bersama, habis dimakan waktu. Kubiarkan semuanya lenyap ditelan usia. Tidak apa-apa aku disini tanpanya. Walau hanya ditemani sekotak kenangan manis yang mungkin, dikehidupan selanjutnya ia tak akan kulupa.
Sampai nanti, Kha. Salam jauh dariku , dari semesta untukmu. Semoga sehat selalu.
Setelah membaca surat yang ia kirimkan untukku, melalui kantor pos. Aku membuka layar ponselku. Berniat untuk mengirim sebuah pesan singkat gmail untuknya. Tak ada balasan satupun dari Rakha, untuk pesan-pesanku sebelumnya. Kuberanikan diriku untuk mengetik sesuatu dengan jemariku, walau bisa dibilang aku sebenarnya tidak mampu.
Gmail :
Sebelumnya, terimakasih. Suratmu sudah sampai di rumahku dengan selamat. Aku sendiri yang menerimanya. Makasih, karena masih ingat warna kesukaanku. Aku nggak tahu alasanmu membalas pesan gmailku, lewat surat kantor pos. Mungkin, kamu sulit untuk mengabariku, jadi tak sempat untuk membuka ponsel dan mengecek satu-persatu pesanku. Karena memang itu terlalu banyak.
Kha, terimakasih. Karena nggak pernah lupa sama aku. Aku mungkin nggak tahu kabarmu disana baik atau tidak, dimana, kamu kenapa.
Aku di sini baik-baik saja Kha. Aku sedang menyukai orang lain, teman satu kuliahku. Orangnya cuek, dingin, kaku. Mungkin rasa suka tidak akan dianggap olehnya.
Aku berharap, dia sama sepertimu, Kha.
Tolong, kalau kamu sempat, balaslah pesanku ini.
Salam rindu, Kei.
Aku menutup layar ponselku. Air mataku menetes tanpa kupinta. Hatiku rasanya hancur berkeping-keping. Kenanganku bersama Rakha, sekilas jatuh dipikiranku. Aku tidak tahu, mau kukemanakan hal dahulu yang sempat kulakukan bersamanya.
Menghilangkan sosok Rakha dari pikiranku bukanlah hal yang sulit sebetulnya. Hanya saja, bayangan Rakha masih saja bermunculan dalam lautan imajinasiku.
Aku mengira Rakha akan menjadi laki-laki pertamaku yang hatinya bisa kudapatkan. Namun, tidak. Ia justru meninggalkanku bersama kenangan pahit ini. Ia membawaku mengitari angan-angan yang ia bangun bersamaku dulu, namun ia jatuhkan angan-angan itu menjadi angan buruk untuk selamanya. Rakha laki-laki yang dua tahun sudah lamanya ia pergi meninggalkanku. Kini bayangannya sudah hampir tak tersisa diisi kepalaku. Kini, aku belajar melepaskannya mulai sekarang.
"Kenapa murung?" Tanya kedua sahabatku yang melihatku sedang melamun.
"Nggak apa-apa. Cuma lagi pengin diem aja."
"Rakha atau Bram untuk kali ini?" Aku tak memberikan jawaban apa-apa.
Mereka seolah tahu yang ada di dalam pikiranku. "Biasanya kalau kayak begini, Rakha." Aku mengangguk. Mengiyakan jawaban mereka berdua. Setiap kali nama laki-laki itu disebut, telingaku rasanya lemah. Kedua mataku rasanya panas. Tak apa, untuk kali ini memang aku harus segera mengikhlaskan Rakha. Ia sudah pergi dari dulu. Kini, yang tersisa hanya angannya saja. Mau tak mau, aku harus berjalan maju, merangkai harapan baru untuk kujalani dengan orang yang baru pula.
Kini, sudah ada hati yang harus kujaga. Bram. Aku harus segera mendapatkan cintanya.
~
Bram berjalan dengan badaj yang sedikit lemas. Wajahnya terlihat pucat. Ia membawa beberapa buku tebal sambil mengalungkan tas berwarna hitam dibahu sebelah kirinya.
Ia berjalan sendirian, tanpa kedua temannya.
Melihat wajah Bram dari kejauhan terlihat lesu dan pucat itu. Aku segera menghampirinya.
"Bram?" Panggilku dan mendekat padanya.
Langkah Bram terhenti. Ia menoleh ke arahku.
"Ada apa?" Jawabnya dingin.
"Kamu sakit?? Wajahmu terlihat pucat, Bram."
Aku khawatir. Melihat keadaan Bram seperti itu.
"Saya gapapa. Saya mau masuk duluan." Belum lama ia melangkah jauh, tubuhnya terjatuh ke jalanan kampus yang beraspal.
"Bramm?!!" Teriakku melihat tubuhnya terjatuh ke jalanan beraspal. Buku yang tadi ia bawa, serta tas yang ia kalungkan dibahu sebelah kirinya.
Bram, pingsan. Ia langsung dibawa ke rumah sakit dekat kampus. Suhu badannya terlalu tinggi. Sepertinya ia demam. Bibir dan wajahnya memucat. Aku tidak tahu alasan Bran harus senekat ini untuk berangkat ke kampus, padahal keadaannya sedang tidak stabil.
Di rumah sakit..
Bram terbaring lemah dengan infus ditangannya. Wajah Bram terlihat lebih tenang, daripada ketika Bram yang bersikap acuh padaku. Raut wajahnya terlihat lebih hangat. Aku bisa merasakan sosok Bram yang tidak dingin lagi padaku. Yang ada dipikiranku hanyalah. Bagaimana bisa aku mencintai laki-laki yang tidak mencintaiku sama sekali, bahkan saat ia terbaring sakit pun, ia terlihat sangat menyenangkan ketika dipandang.
Semesta menjauhkanku dari Rakha, dan sekarang semesta sudah menggantinya dengan yang baru. Semesta baik. Bram juga laki-laki baik.
Bram cepat buka hatimu untukku, ya?