"Sebenarnya, aku udah suka sama dia dari awal." Kataku dengan nada sedikit malu. Aku tidak tahu akan memberitahu kedua sahabatku untuk ini. Bahkan, aku sendiri takut untuk mengakui, kalau aku sudah menyukai Bram. Hanya saja, mereka pasti sudah menebak lebih dulu. Karena sikap Bram akhir-akhir ini, juga berubah.
"Sejak kapan?" tanya Rahma padaku.
"Sejak kita kumpul di kafe waktu itu. Waktu aku lihat Bram, rasanya kayak beda."
"Terus, Bram tahu soal ini?" Jani menyahut.
"Soal apa?" Aku menyerngitkan dahi.
"Soal kamu suka sama dia."
"Enggak." Aku menggeleng, memanyunkan bibir. Sayang sekali, aku
"Kenapa nggak coba bilang?"
"Tadinya mau bilang ke dia. Cuman, dia keburu pergi. Sikapnya tuh aneh tahu. Kadang dingin, kadang peduli. Terus dingin lagi. Nggak tentu deh pokoknya." Jelasku dengan nada kesal. Aku merasa seperti dipermainkan oleh Bram. Dia mengajakku seenaknya, meninggalkanku juga semaunya. Aneh.
"Ya, namanya juga cowok dingin, Kei. Wajar aja. Sabar-sabar deh kalo sama Bram." Ucap Jani dengan raut wajah mengejek.
"Ih rese. Terus aku harus gimana dong?"
"Coba telfon dia deh." Rahma memberiku saran, untuk menelfon Bram. Tapi yang kutakutkan adalah, justru itu akan menganggunya.
Aku berpikir sebentar. Apa mungkin, Bram menjawab telfon dariku? Kuputuskan untuk menelfonnya.
Bram, Memanggil..
Telfon pun terhubung.
Halo?
Halo, Bram?
Maaf, ganggu nih.
Ada apa?
Gapapa sih. Cuma pengen ngobrol aja.
Soal, orang yang aku suka.
Sebenernya.. Itu..
Sebenernya apa?
Sebenernya, itu kamu.
Tak ada jawaban darinya. Ia hening. Tak bersuara.
Oh terus?
Kenapa?
Gapapa kok.
Udah dulu ya, dah Bram.
Tut tut tut....
Jantungku berdegup tak karuan. Hal gila macam apa yang baru saja kulakukan? Mengakui perasaanku padanya, atau menyatakan perasaan?
Ah, yang benar saja.
Aku tidak tahu, bagaimana jika aku berpapasan dengannya. Mungkin aku tidak akan memperlihatkan wajahku. Karena merasa malu.
Sekarang, Bram sudah tahu orang yang kusukai adalah dirinya. Sedangkan orang yang Bram sukai? Aku belum mengetahui itu siapa.
Aku berusaha mencari informasi, siapa orang yang ia sukai. Bukannya aku terlalu ingin tahu atau terlalu mengurusi kehidupan pribadi Bram. Hanya saja, aku sudah menyukai Bram lebih dulu. Mana bisa kubiarkan orang lain mendekati Bram, selain diriku?
Sekarang, aku ingin membuka perasaanku terhadap Bram. Bagaimana pun caranya, aku tidak bisa jika terlalu memikirkan masa lalu. Mau tidak mau, aku harus mengesampingkan egoku pada Rakha. Sekarang, yang harus kutahu adalah, Rakha sudah bahagia. Ia tidak pernah mengunjungiku, mungkin karena ia sudah memiliki pendamping hidup yang baru. Bukan waktunya, kalau aku terus memikirkan tentang dirinya. Sudah saatnya, kubuka hati dan perasaanku pada Bram.
Ceritaku tak melulu tentang Rakha dan masa lalu. Tak hanya berhenti sampai di situ saja. Bagaimana pun, semenyedihkan apapun tentang Rakha. Aku tidak bisa, jika harus menutup hatiku untuk Bram. Untuk orang lain. Tidak, bukan begitu.
Sekarang, semesta membiarkanku untuk memulai hal baru. Membuka hati dan pikiranku untuk orang lain. Yang lebih pantas tentunya.
~~
Sebentar lagi kampus akan mengadakan konser sederhana. Masing-masing fakultas harus menyumbang sebuah pertunjukan, untuk ditampilkan di atas panggung. Fakultas Ekonomi diwakilkan oleh Bram. Dan Fakultas Kedokteran diwakilkan oleh Samuel dan Anang.
Acara ini memang tidak terlalu istimewa. Karena masing-masing fakultas, harus ada yang menjadi panitia. Aku ditawari oleh Jani dan Rahma untuk ikut menjadi anggota panitia, yang mengurus acara kampus tersebut.
"Ikut ya, Kei?" Ajak Rahma padaku.
"Iya, ikut aja kenapa sih. Lagian juga seru, bisa bantu-bantu." Sahut Jani, yang berusaha membujukku.
Karena aku orang yang sangat malas dan tidak ingin terlalu banyak acara. Walaupun, ya sebenarnya menyukai keramaian. Tapi, untuk menjadi anggota tertentu. Aku tidak terlalu begitu menyukainya.
"Enggak deh kayaknya. Males banget tahu. Lagian pasti pulangnya bakal malem terus." Aku sudah bisa menebak, kalau menjadi anggota panitia. Pasti akan ada rapat, rapat, dan rapat. Dan aku tidak mempunyai banyak waktu untuk itu.
"Ya emang kenapa sih. Lagian kan enak, kita cuman jaga stand fakultas doang."
"Tapi kan..." Belum selesai berbicara. Sudah terpotong oleh mereka berdua.
"Udah deh. Ikut aja." Jawab mereka bersamaan.
"Bram yang bakal ngewakilin fakultas kita." Kali ini, mengarah pada Bram.
"Bram? Nyumbang penampilan apa emang dia?" Tanyaku tak begitu yakin, kalau Bram bisa memberikan sebuah penampilan.
"Nggak tahu. Katanya, main gitar. Ngiringin musik Nadya." Jelas Jani padaku.
"Nadya yang nyanyi?"
"Heem" Rahma mengangguk, mengiyakan ucapanku barusan.
Entah perasaan apa yang membuatku tidak tenang. Setelah mendengar kabar, kalau ternyata Bram mengiringi Nadya untuk bernyanyi. Membuat perasaanku sedikit goyah. Aku dan Bram memang tidak ada hubungan apa-apa saat ini. Tapi, mendengar kabar bahwa Bram akan berduet bersama Nadya. Membuatku sedikit iba. Rasa cemburuku muncul untuk pertama kali.
Memang bukan hakku sepenuhnya untuk marah pada Bram, karena aku bukan siapa-siapanya. Karena tidak ingin, berlama-lama dengan rasa cemburu ini. Kuputuskan untuk menemui Bram di taman belakang gedung fakultas.
Terlihat Bram sedang duduk di kursi taman, menggunakan earphone di telinganya, terlihat sibuk dengan ponsel yang ada di genggamannya. Aku menghampiri, dan duduk di sebelahnya. Ia yang sadar akan kehadiranku, seketika menoleh, selagi melepas earphone yang terpasang di telinganya.
"Bram, aku ganggu ya?" Ucapku tak enak, karena merasa Bram terganggu dengan kehadiranku.
"Oh, enggak. Kenapa?" Raut wajahnya terlihat dingin. Jauh berbeda dari kemarin.
"Gapapa. Cuman mau ngobrol aja sama kamu."
"Ngobrol apa?"
"Kamu ngewakilin fakultas kita, buat ngiringin musik?" Tanyaku jelas. Karena aku tahu, jawaban Bram pasti iya.
"Iya. Kenapa?" Kini pembicaraan kami sedikit serius.
"Oh, itu. Nggak kok, gapapa. Sama Nadya?" Sebenarnya sedikit takut untuk menanyakan hal itu kepada Bram. Karena takut dikira kalau aku cemburu dengannya.
Padahal memang iya.
"Heem. Ngiringin pake gitar." Ia mengangguk. Aku terdiam sebentar. Menelan mentah-mentah ucapannya barusan. Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan hal seperti ini. Namun, rasa cemburuku padanya, membuatku merasa tidak nyaman.
"Kalau kamu nggak usah ngiringin Nadya, nggak bisa ya?" Seperti terlihat cemburu barusan. Aku menyesali ucapanku. Aku tahu betul, aku tidak pantas untuk mengatakan hal itu padanya.
"Kenapa? Nggak boleh?" Ia sedikit ketus.
"Bukan nggak boleh, Bram. Cuman, kenapa harus kamu yang ngiringin musiknya. Kan bisa orang lain." Perasaan ini terlalu besar. Aku bingung menempatkan posisiku ini sebenarnya apa dan siapa.
"Kamu cemburu?"
Aku menelan ludah dengan susah payah. Tak ada kata dan bahasa yang bisa kujawab perkataannya barusan.
"Ha? Cemburu? Bukan begitu Bram.." Aku berusaha menolak ucapannya barusan. Terkejut ketika mendengarnya, tahu yang ada di pikiranku saat ini.
"Kalo cemburu bilang aja."
"Aku nggak cemburu, Bram.." Balasku dengan nada rendah.
"Kalau kamu nggak cemburu. Nggak ada hak, kamu buat ngatur-ngatur saya." Ucapnya dengan nada dingin, dan sedikit menekan.
Aku terdiam. Aku menutup mulutku rapat-rapat. Benar, aku tidak seharusnya mengatur keinginannya, terlebih lagi urusan pribadinya.
Kalimat barusan membuatku sadar, bahwa aku tidak seharusnya melebihi batas. Karena sudah kelewatan, aku memutuskan untuk pergi.
"Maaf, kalo aku kelewatan batas. Aku emang nggak berhak buat ngatur kamu. Aku pergi dulu." Ucapku, lalu berdiri meninggalkannya yang masih duduk di kursi.
Aku berjalan menuju kantin. Memesan minuman, sekaligus menenangkan perasaanku yang tak tahu kenapa, sedikit berantakan.
Sembari menunggu minuman datang, aku hanya terdiam. Merenung memikirkan ucapan Bram tadi, yang membuatku malu.
Aku malu, karena ucapannya barusan padaku.
Menyakitkan ketika kudengar, namun aku bisa apa?
Sungguh, perasaan ini harus kukemanakan.
Susah sekali rasanya. Mendapatkan hati Bram. Berusaha mendekat, namun Bram semakin menjauh. Semakin kukejar dirinya, semakin tidak bisa pula kugapai. Kadang, aku merasakan kehangatan dalam dirinya, kadang pula aku merasakan sikap dinginnya yang keterlaluan itu. Apa sebenarnya yang Bram pikirkan tentangku?
Apakah perasaan Bram padaku hanya sebatas rasa suka biasa, atau memang tidak benar ada? Namun, apa yang dia ucapkan kemarin? Apa yang membuatnya peduli padaku, waktu itu? Sedikit sedih, memiliki Bram adalah hal mustahil yang harus kuterima.
Air mataku menetes begitu saja. Mengingat sikap Bram barusan, membuatku teringat akan Rakha. Haruskah perasaan ini kubuang saja? Menaruh harapan pada Bram, hanya membuatku merasa menyedihkan.
Aku rindu, Kha. Sungguh. Mengingat apa yang Bram katakan padaku, membuatku teringat padamu. Aku sedang menyukai orang lain, Kha. Namun, orang itu justru semakin jauh dariku. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana bisa, tiap kali aku mencintai orang lain, aku tidak pernah mendapatkan balasan dicintai kembali.
Saya nggak habis pikir untuk perasaan ini terhadap orang lain. Membuat saya kebingungan setengah mati. Membuat saya, harus berlari-lari mengejarnya. Memenuhi permintaan hati saya, menempatkan segala perasaan di wadah yang sebenarnya.
Karena jadwal rapat panitia diadakan setelah kelas selesai. Aku dan kedua sahabatku, memutuskan untuk ke aula pertemuan, untuk bertemu dengan anggota panitia lainnya.
Di sana sudah ada beberapa perwakilan dari masing-masing fakultas. Terlihat banyak sekali yang mewakili sebagai anggota panitia. Kali ini adalah rapat pertama yang diadakan oleh ketua umum acara.
Tak hanya ada anggota panitia. Namun, peserta yang akan menampilkan pertunjukan juga turut hadir di sana. Kulihat sekeliling peserta yang sedang menunggu pengumuman, pandanganku kini jatuh pada laki-laki yang sedang duduk berdua dengan seorang perempuan. Bram dan Nadya. Mereka sedang sibuk latihan dan saling berbincang. Raut wajah Bram terlihat sangat senang. Begitupula Nadya. Ia bersemangat sekali ketika diiringi musik dengan alunan gitar yang Bram mainkan.
"Belum pacaran aja udah cemburu. Gimana kalo udah punya hubungan?" Ejek Rahma padaku. Ia tahu kalau aku sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, melihat keadaan yang ada di depanku saat ini. Aneh rasanya, melihat Bram dengan orang lain. Dengan Nadya saja ia bisa terlihat sesenang itu, tapi mengapa denganku ia justru terlihat kaku dan diam?
"Yauda lah biarin aja." Ucapku menyerah.
Dari kejauhan, Bram memandangi Kei yang baru saja berbalik arah membelakanginya.
Aku berusaha untuk tak mengubris pemandangan Bram dengan Nadya. Aku mencoba untuk membiasakan, karena rapat ini akan diadakan beberapa kali. Sampai acara tiba. Aku harus menahan sikapku pada Bram.
Rapat dimulai dengan keadaan tenang. Aku memperhatikan beberapa teknisi yang dijelaskan oleh ketua acara. Hal yang paling membuatku lebih malas adalah, namaku baru saja terpilih sebagai wakil acara dalam konser sederhana yang diadakan kampus bulan depan.
Ah, benar. Frustasi rasanya diriku.
"Cie yang kepilih wakil acara. Sering ketemu sama Farhan nih." Goda Jani padaku. Farhan adalah mahasiswa dari Fakultas Sastra Inggris. Dia terpilih menjadi ketua acara dalam acara tersebut.
"Apaan sih. Orang juga dipilih. Lagian kan, aku juga nggak mau. Tapi kalian tetep maksa." Aku merasa kesal dengan kedua sahabatku ini. Mereka senang, jika mendekatkanku dengan orang lain. Apalagi Farhan adalah salah satu bintang mahasiswa yang umurnya tak beda jauh denganku. Hanya saja, kami berbeda fakultas.
"Yauda kenapa sih, Kei. Orang kan Farhan juga lumayan. Jarang-jarang kan dapet orang ganteng kayak dia." Rahma memprovokasi diriku.
Selepas rapat selesai. Farhan mengajakku berbicara. Ia menghampiriku dengan membawa selembar kertas dan ponsel yang ada di genggamannya.
"Kei..?" Panggilnya dari kejauhan. Aku menoleh ke arahnya. Kami berdiri bersebelahan.
"Eh, kamu, Han. Ada apa?" Aku berusaha bersikap biasa saja. Karena rasanya tidak nyaman jika mengobrol dengannya berdua seperti ini. Karena belum terlalu banyak mahasiswa lainnya yang keluar dari aula pertemuan.
"Oh enggak. Kan kita udah kepilih jadi ketua sama wakil acara. Gimana kalo aku minta kontak line kamu. Biar gampang aja ngobrolnya." Ucap Farhan dengan semangat.
"Oh, boleh. Sini ponselmu." Ia memberikan ponselnya padaku. Dan tak ingin berlama-lama, aku menambahkan Id Lineku di ponselnya. Sesudah itu, aku langsung memberikan kembali padanya.
"Udah?"
"Heem" Aku mengangguk, lalu tersenyum.
"Oke, nanti aku chat deh." Ia tersenyum, lalu pergi meninggalkanku.
"Yaudah. Aku duluan ya?" Ia berpamitan, lalu bergabung kembali dengan teman-teman fakultasnya.
Tatapan dingin itu, terlihat kesal ketika melihat Kei dan Farhan sedang berbicara berdua. Sepertinya, ada rasa cemburu yang disimpan rapat-rapat oleh pemiliknya. Bersikap seolah ia tak pernah melihat pemandangan itu.
Hari sudah mulai petang. Rapat berjalan dengan lancar. Pembagian tugas dan jadwal latihan sudah tertata dengan baik. Jam pulangku akhirnya terpotong dengan adanya kegiatan ini. Ketika hendak pulang, aku melihat pemandangan yang tak pernah kuduga.
Bram berjalan menuju parkiran mobil bersama Nadya. Nadya mengikutinya dari arah belakang. Bram sempat melihatku sekilas. Lalu, ia membuang pandangannya ke arah lain.
Aku yang melihatnya barusan, membuatku sedikit kecewa. Bagaimana bisa, ia melihatku namun ia bersikap seolah ia tak pernah mengenalku. Aku memutuskan untuk mengalihkan pandangan dari mereka berdua. Hatiku bimbang. Ingin berjalan mundur, atau harus maju memperjuangkan Bram.
Sesampainya di rumah. Aku mengirimkan sebuah pesan singkat pada Bram.
Bram
Bram, kamu sedang apa?
Kalo aku tidak menganggu, boleh nggak kita bicara sebentar?
Tak ada basalan darinya. Karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan Bram belum membalasnya. Aku memutuskan untuk tidur. Ponsel kumatikan, dan memulai ritual mimpi indah.
Sebagian orang memang diartikan untuk selalu ada dihidup kita. Namun, sebagiannya lagi, harus direlakan untuk pergi. Bram, bukan tipe orang yang akan memperjuangkan orang lain. Dan Bram adalah orang yang lebih suka dengan dirinya sendiri. Aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan Bram. Bagaimanapun, Bram harus bisa menjadi milikku. Sesusah apapun, aku akan tetap mengupayakan.