Chereads / KENANGAN YANG TERSIMPAN / Chapter 8 - MULAI PENASARAN

Chapter 8 - MULAI PENASARAN

Hari ini aku terlambat bangun. Jadwal kelasku pagi ini pukul delapan. Sedangkan aku, pukul delapan lebih baru saja bangun. Dengan bergegas, aku segera pergi mandi dan berganti pakaian. Setelah berganti pakaian, alih-alih berdandan, aku justru melewatkan hal tersebut. Hanya sebatas bedak bayi yang tak terlalu tebal, dan mengenakan kerudung warna pink muda dengan rapi.

Segera aku turun menuju ke lantai bawah. Di sana sudah ada Bunda dan Ken yang sibuk dengan leptop di hadapannya.

"Bun..." Belum selesai menyelesaikan ucapanku. Sudah terpotong lebih dulu, oleh Bunda.

"Apalagi? Mau nyalahin Bunda, karena nggak bangunin kamu?" Kali ini dengan raut wajah yang sedikit ketus.

"Kenapa Bunda nggak bangunin, Kei, sih?" Bunda selalu tahu, apa yang ingin aku katakan. Bahkan sebelum aku mengatakan, ia sudah lebih dulu memotongnya.

"Tanya Kakakmu. Bunda udah berkali-kali bangunin kamu. Tapi kamu malah bilang lima menit Bun, limat menit Bun. Pake senyum-senyum segala lagi tidurnya."

Aku benar-benar malu kali ini. Apa benar yang dikatakan Bunda aku tidur dengan keadaan tersenyum.

"Apa? Tidur sambil senyum?" Tanyaku tak percaya.

"Mimpi indah gara-gara habis dianterin Bram sih kamu. Ngayal deh jadinya." Ejeknya padaku.

Karena tak ada waktu untuk berdebat dengan mereka berdua. Aku segera pergi ke kampus dengan sepeda motor. Jakarta hari ini benar-benar macet, membuatku harus melewati jalan pintas. Dengan secepat mungkin, aku sampai di kampus pukul sembilan.

"Terlambat?" Suara dingin yang tiba-tiba muncul, tak asing lagi untuk didengar.

Aku menoleh ke arahnya, dan ya benar. Benar sudah berdiri di belakangku, ketika aku hendak untuk masuk ke ruang kelas.

"Iya, sedikit." Ketika aku hendak membuka knop pintu. Bram mencegahku.

"Gimana kalau hari ini, absen aja?" Kali ini Bram menawarkan sebuah tawaran yang bagiku, bukan Bram yang kukenal seperti biasanya.

Aku masih tak percaya dengan ucapannya barusan. Ia baru saja mengajakku untuk tidak masuk kelas pagi ini.

"Memangnya boleh?" Tentu saja, tidak boleh sebenarnya.

"Sehari ini aja." Bukan sebuah permohonan, bukan sebuah permintaan. Bukan juga sebuah ide yang bagus untukku.

"Tapi aku takut, Bram." Ucapku ragu padanya. Yang benar saja, pagi-pagi begini Bram mengajakku untuk absen kelas.

"Yauda, mau bolos atau enggak?" Aku berpikir sejenak. Tak ada pilihan lain, selain harus absen. Karena percuma saja, kalau masuk kelas sekarang, aku sudah tertinggal satu jam mata kuliah. Ditambah lagi dosen kali ini benar-benar galak.

"Boleh deh." Bram tersenyum, kami berdua memutuskan untuk bolos sehari saja. Aku sendiri tidak tahu, kemanakah Bram akan mengajakku pergi.

Bram memintaku untuk menumpangi motornya saja. Membuatku harus meninggalkan sepeda motorku di parkiran belakang gedung fakultas. Aku menuruti apa saja yang Bram inginkan dariku.

Di sepanjang perjalanan, aku dan Bram hanya diam. Hening, bahkan pagi-pagi begini rasanya seperti sunyi. Aku tidak terbiasa dengan rasa hening, sehingga membuatku harus membuka pembicaraan terlebih dahulu.

Di atas motor, kami berbincang. Sembari menetapkan tujuan.

"Bram?" panggilku padanya.

"Heem?" jawabnya hanya berdeham.

"Boleh kita ngobrol?" tanyaku padanya.

"Sekarang?"

"Iya, sekarang, Bram." Sedikit kesal dengan pertanyaan Bram barusan. Membuatku ingin sekali menggigit lengan kanannya.

Bram diam. Tak ada jawaban apa-apa darinya.

Susah sekali untuk mengajak Bram berbicara. Padahal, apa salahnya kalau kami berbicara sambil menikmati perjalanan. Kalau ia hanya ingin diam dan tidak berbicara padaku sama sekali. Untuk apa, ia mengajakku absen kelas pagi ini. Kalau hanya untuk saling diam dan membisu seperti ini.

Karena sudah tidak mood dengan keadaan saat ini. Aku memilih untuk diam. Aku membiarkan Bram untuk mengajakku kemana pun.

Bram kini menghentikan kendaraannya disebuah warung bubur pinggir jalan. Aku turun, mengikuti gerak Bram.

"Kita sarapan dulu." Ia langsung duduk di kursi dan memesan dua porsi mangkuk bubur ayam.

Aku duduk bersebelahan dengannya. Tak menjawab ataupun mengajaknya berbicara.

Sembari menunggu pesanan bubur ayam yang ia pesan. Kini aku hanya membisukan mulutku, agar tak bicara dengannya.

"Kamu nggak suka hening ya?" katanya yang tiba-tiba menyeletuk begitu saja.

"Maksud kamu?" jawabku spontan, karena pertanyaannya membuatku bingung kali ini.

"Ya, kamu nggak suka diam. Maunya ngobrol terus." Tahu darimana Bram, kalau aku tidak menyukai keheningan, sepi, sunyi dan lain-lain. Hal yang membuatku bosan, aku tidak akan menyukainya. Apalagi, kalau Bram sendiri yang menciptakan kebosanan itu.

"Heem" Gumamku pelan.

Pesanan kami berdua akhirnya datang, dan kami hanya diam tak bersuara. Sama sekali. Bram sibuk dengan semangkuk buburnya, begitu pula aku. Keheningan yang Bram ciptakan, membuatku sedikit tidak nyaman. Seusai kami menghabiskan siang berdua dengan dua porsi mangkuk bubur ayam favoritku. Bram membenarkan posisi duduknya. Sepenuhnya mengarah padaku.

"Kei..?" Pandangannya ke arahku. Mataku menatap bola matanya. Hitam, bulat, menyenangkan ketika di pandang.

"Iya, apa?"

"Kamu nggak suka keheningan kan?" Bram, menanyakan hal yang sama. Apakah aku tidak suka dengan keheningan, ataukah memang Bram tidak ingin kalau aku merasa diam.

"Iya, aku nggak suka. Keheningan bagiku adalah suatu hal yang membuatku menjadi orang paling tidak dibutuhkan, Bram. Alasan kenapa aku selalu ingin mengajakmu berbicara adalah itu." Aku berusaha menjelaskan kepadanya. Mengapa aku tidak begitu suka dengan keheningan.

"Kenapa bisa begitu, Kei?"

"Ya, aku nggak suka aja. Dari dulu, aku selalu suka dengan keramaian. Hal-hal bising, selalu membuatku lupa, kalau rasa sepi itu nggak pernah ada." Kali ini, mataku benar-benar menatap matanya.

"Berarti, kita nggak sama." katanya dengan raut wajah kembali dingin.

"Maksud kamu?" Aku tidak tahu dengan kalimat yang baru saja ia ucapkan.

"Saya nggak suka keramaian. Saya nggak suka kebisingan."

"Kenapa?"

"Buat saya nggak nyaman."

Aku mengangguk mengerti. Ternyata Bram memang tidak menyukai keramaian. Pantas saja, ia tidak pernah mau jika kuajak bicara.

Aku mengurungkan niatku untuk mengajaknya bicara. Dan mengurungkan niatku untuk menyukainya. Aku memilih untuk diam, dan menyimpan perasaan ini dalam-dalam.

Benar kata Bram. Kami berbeda.

Dengan raut wajah yang sedikit kecewa. Walaupun sebenarnya saya nggak tahu, apa yang buat saya kecewa. Saya memilih untuk pulang.

"Bram, boleh nggak kalau kita pulang?" Ucapku dengan nada sebaik-baiknya.

Bram terdiam. "Kenapa? Bukannya ini masih pagi? Kenapa buru-buru pulang?" Pertanyaan yang Bram lontarkan, jauh berbeda dari Bram yang kukenal awal. Kali ini, ia sedikit cerewet. Memberiku pertanyaan dalam satu kalimat, tanpa memberiku waktu untuk menjawabnya satu-persatu.

"Nggak apa-apa. Aku capek, pengin pulang." Ucapku tersenyum kepadanya.

"Kalau saya nggak mau, gimana?" Aku menatapnya kesal. Padahal sekarang, yang kuingingkan hanyalah tidur dan beristirahat di rumah sembari menenangkan pikiranku yang sedang kacau.

"Kenapa nggak mau? Kan aku yang minta." Bicaraku ketus kali ini. Hanya mengantarku pulang saja, ia tidak mau.

"Saya nggak mau. Saya masih pengin jalan sama kamu, Kei." katanya halus. Ia menarik lenganku dengan lembut. Memintaku untuk menaiki sepeda motor laki-laki itu.

"Kita mau kemana, Bram?" Tanyaku dengan nada malas. Aku tidak tahu, kemana lagi Bram akan menculikku. Ah, terdengar kasar kalau aku mengatakan ia sedang menculikku.

"Lihat aja. Nanti juga tahu sendiri." Ia menyalakan sepeda motornya. Aku yang memutar bola mata malas, membuatku benar-benar tidak tahu harus apa.

Di perjalanan, Bram memulai pembicaraan.

"Kei?" Panggilnya. Aku tersadar dari lamunanku, bahwa Bram sudah menatapku dari kaca spion kecil sampingnya.

"Apa?"

"Kamu pernah suka sama orang?" Jakarta memang tidak sedang mendung. Tak ada hujan pula. Bahkan cuacanya terik sekali. Ada apa, Bram tiba-tiba membicarakan hal itu?

"Pernah, kenapa?"

"Gapapa. Ciri-ciri orang yang lagi jatuh cinta itu kayak gimana memang?" Bram sebenarnya tahu, atau hanya berpura-pura tidak tahu?

"Orang yang lagi jatuh cinta itu, seneng, senyum, ketawa terus. Kayak gitu-gitu deh."

"Oh jadi gitu ya? Ciri-ciri orang lagi jatuh cinta?"

"Heem.." Aku mengangguk ke arah spion kecil yang ada di depanku.

Setelah sampai, di tempat yang ingin Bram tunjukkan padaku. Ia menata rapi sepeda motornya di parkiran samping kafe tersebut.

"Mbak, nunggu pacarnya ya?" Kata salah satu tukang parkir kafe tersebut padaku.

"Oh, enggak Pak. Nunggu teman saya." Ucapku canggung pada tukang parkir yang kebetulan lewat di depanku.

"Oalah, temannya toh.." Ucapnya dengan logat jawa khas asli.

"Kei, ada apa?" Tanya Bram ketika melihatku dengan tukang parkir yang ada di sebelahku saat ini.

"Enggak apa-apa. Ini tadi, bapaknya nanya."

Bram menoleh ke arah tukang parkir tersebut.

"Pacarnya cantik , Mas.." Kata tukang parkir pada Bram. Bram tercengang, namun sedikit senyuman tipis mengukir bibir tebalnya itu.

"Belum pak. Belum jadi pacar saya." Kata Bram, lalu mengajakku untuk masuk ke dalam kafe tersebut.

Bapak tukang parkir tersebut hanya tersenyum, melihatku berjalan beriringan dengan Bram masuk ke dalam. Setelah mencari meja yang pas untuk kami berdua. Bram memesan makanan dan minuman.

Aku memesan Ice Matcha Latte dengan susu coklat favoritku, serta dessert puding rasa mangga. Sedangkan Bram memesan Stroberi Milkshake, serta dessert puding rasa stoberi pula. Aku tidak tahu, alasan Bram mengapa begitu menyukai rasa stoberi. Padahal, teman laki-lakinya yang lain, tak ada yang suka dengan stoberi. Dan stoberi memang identik dengan perempuan.

Setelah menunggu beberapa waktu, untuk pesanan datang. Dua porsi pesanan kami pun diantar oleh salah seorang pramusaji.

Kami tersenyum, ketika menerima nampan dari pramusaji tersebut.

Kami menikmati kudapan yang ada di hadapan kami saat ini. Suasana kafe siang ini yang tak begitu ramai, ditambah dengan alunan musik klasik yang membuat suasana semakin terlihat romantis. Aku dan Bram duduk berhadapan. Pandangan kami sering bertemu, hanya saja. Aku selalu memalingkan bola mataku, agar tak bertatap langsung dengan kedua bola matanya.

"Kamu suka nggak?" Tanyanya membuka obrolan.

"Suka apa?" Aku membuat wajah serius kali ini.

"Sama kafenya." Ucapnya singkat. Kukira ia meminta pendapatku, kalau aku suka dengannua atau tidak. Ternyata tidak.

"Kenapa? Kamu kira, suka sama saya gitu?" Aku yang sedang menikmati Ice Matchalatte kesukaanku, tersedak tak karuan. Setelah mendengarnya mengucap kalimat barusan.

Uhukk, uhukk!!

"Kei, kamu gapapa?"

"Gapapa-gapapa. Cuma kesedak aja." Aku membenarkan penampilanku.

Bram mengangguk-angguk. Setelah melihatku sudah dalam keadaan baik-baik saja.

"Sejak kapan kamu suka Matchalatte?" Kali ini mengarah ke minuman favoritku.

"Dari dulu. Waktu aku duduk di kelas satu SMA. Itu juga karena dia yang ngenalin Matchalatte ke aku." Kataku dengan jelas.

"Dia siapa?" Raut wajah Bram sedikit tenang.

"Oh itu. Masalalu aku. Rakha namanya."

Bram mengangguk-angguk. Mengerti arah pembicaraanku.

"Jadi, kamu pernah punya mantan?" Aku tertawa, entah kenapa rasanya asing di telingaku dengan kata mantan.

"Ah bukan. Aku sama dia nggak pernah punya hubungan apa-apa. Kami cuma berteman." Mantan darimana asalnya, aku dan Rakha saja tidak pernah memulai apa-apa.

"Terus kenapa kamu nggak coba cari pacar lagi?" Pertanyaan yang sudah kudengar berkali-kali. Tapi aneh rasanya, kalau Bram yang menanyakan langsung dari mulutnya. Beda sekali rasanya. Aku sedikit memiliki harapan untuknya.

"Sebenernya, aku lagi suka sama seseorang. Tapi kayaknya dia nggak akan ngerti." Ucapku pasrah.

Bram bingung, "Kenapa bisa gitu?"

"Iya dia nggak akan pernah tahu. Aku sama dia nggak sama. Pilihan kita juga beda. Selera? Jangan tanya, jelas sekali perbedaannya."

Bram hanya diam. Mengangguk mengerti. Ia hanya menatapku sesekilas.

"Saya juga lagi suka sama orang. Tapi saya nggak tahu, hatinya bisa saya milikin atau enggak." Bram mengatakan kalimat barusan ke arahku. Pandangan kami saling bertemu. Aku menulusuri pandangan mata Bram dengan sangat teliti.

Karena merasa canggung dan awkward. Aku memutus tatapan itu  terlebih dahulu. Rasanya aneh, kalau harus terus-menerus menatap kedua matanya.

"Kenapa kamu nggak coba deketin dia? Siapa tahu, dia juga punya perasaan yang sama ke kamu." Aku memberikan saran padanya. Sebagai teman Bram, aku mencoba untuk sedikit lebih mendukungnya. Mungkin benar, Bram bukan untukku. Namun, hanya karena Bram sudah menyukai orang lain. Bukan berarti aku harus berhenti memberinya dukungan. Dengan sangat senang hati, aku terus memberikan Bram masukan.

"Saya sedang mencoba. Tapi nggak tahu, hasilnya akan bagaimana. Doain aja" Katanya dengan tenang.

Saya hanya terdiam. Setelah mendengar pengakuan dari Bram. Rupanya, ia bertanya padaku tentang jatuh cinta. Karena ia sudah menyukai seseorang. Terlambat saya sadari, menyukai Bram adalah ketidakmungkinan.

Kami hanya saling pandang, dan menikmati kudapan yang sedaritadi sudah terlalu lama dibiarkan.

Kusimpan rapat-rapat perasaan ini untuknya. Bahwasannya saya tahu. Bram sudah mencintai orang lain, dan tentunya bukan aku. Orang yang akan dicintai Bram, pasti adalah orang yang paling beruntung. Dengan sikap dinginnya, masih ada kelembutan dan kehangatan yang Bram perlihatkan.

Saya tahu, bahwa tidak semua perasaan. Harus ada pemiliknya. Tidak semua rasa,  harus didengarkan oleh pendengarnya. Sejak bertemu dengan Bram pertama kali. Perasaan ini sudah ada. Hanya saja, aku menyimpannya. Dan aku sedang membukanya perlahan ketika sudah waktunya. Dan waktu memberiku jawaban. Kalau ternyata, Bram sudah mencintai orang lain.

Perasaan yang tak ada pemiliknya, memang sebaiknya dibiarkann mati dimakan waktu. Dibiarkan berlama-lama agar tak ada kesengsaraan di dalamnya. Dan mencintai Bram, hanyalah kesengsaraan yang tidak bisa kutahan.