Chereads / KENANGAN YANG TERSIMPAN / Chapter 5 - BIMBANG

Chapter 5 - BIMBANG

Ternyata memang benar. Terkadang perasaan datang di waktu yang tidak terlalu tepat. Perasaan muncul di waktu yang di mana, ketika manusia itu sendiri belum siap untuk membuka hati. Terlalu memaksakan diri sendiri untuk memulai lagi, bukanlah hal yang mudah.

Beberapa waktu diciptakan untuk bisa dilalui. Dan waktu bisa dilalui dengan beberapa tantangan.

Kalimat pertama yang muncul dari bibirnya adalah kalimat terindah yang pernah kudengar. Laki-laki yang kukenal dengan sikapnya yang dingin, ia berhasil membuatku diam membisu. Benar, beberapa karya puisiku memang diakui oleh kedua sahabat dan keluargaku cukup bagus. Tapi tidak ada yang lebih bagus dari ucapannya pagi ini.

Setelah mandi dan bersih-bersih. Aku segera turun ke bawah untuk menemui Bram. Namun, nihil. Bram justru sudah pergi lebih dulu. Niatnya kemari hanyalah untuk mengembalikan buku puisiku yang tertinggal di kampus. Bram membuatku terlalu PD.

Tapi tak apa-apa. Bram sudah memuji karya puisiku. Ah tunggu, karya puisiku yang mana, yang ia puji. Ada sekitar tiga ratus halaman yang ada di buku bersampul coklat favoritku. Tulisan yang manakah, yang ia sebut indah.

Andai saja Bram tak sedingin yang kurasakan. Mungkin, aku sudah bersama Bram.

"Bram udah pulang. Ngapain masih ditungguin sih?" Ken yang gemas sekali melihatku sedang menatap arah pintu gerbang rumah. Berharap Bram datang kembali.

"Iya kan, siapa tau dia dateng lagi." Kataku yang masih melihat ke arah pintu gerbang terus-menerus.

"Nggak sampe segitunya, Kei. Dasar bucin!" Teriaknya di telingaku. Membuat gendang telingaku berdenging.

"Apaan sih?! Sakit tauu, Kei bilangin Bunda ya!" Kataku marah padanya. Dia selalu seperti itu. Jail, usil. Tapi giliran ia yang disalahkan, ia justru balik marah padaku.

"Tukang ngadu!" Ejeknya, lalu pergi meninggalkanku yang duduk di kursi sofa ruang tamu.

Aku berharap Bram datang  kembali untuk  menemuiku. Ternyata tidak, Bram hanya mengembalikan buku puisi tanpa embel-embel ingin mampir. Padahal, aku ingin sekali mengobrol dengannya.

Tak lama ketika hendak melangkah menuju kamar. Seorang laki-laki datang dan mengucapkan salam..

"Assalamualaikum.." Suaranya yang tak terdengar asing bagiku.

Seketika aku langsung menoleh, dan ternyata benar. Dia Bram.

"Waalaikumsalam.. Bram?" Panggilku, lalu tersenyum lebar.

Entah rasanya senang sekali. Rasa senang yang tidak bisa kuungkapkan secara langsung. Membuatku benar-benar gila akan cinta. Apa yang membuat Bram kembali ke rumahku?

Bunda datang, membawa sepanci sup ayam, dan meletakkannya di atas meja makan.

Ia berjalan menuju arah Bram yang sudah berdiri di depan pintu.

"Eh Bram. Udah balik toh, cepet banget dari minimarketnya." Kata Bunda, lalu mempersilahkan Bram masuk.

Bram membawa beberapa kantong plastik. Sepertinya ia baru saja belanja beberapa bahan makanan. Dan siapa lagi kalau bukan Bunda yang menyuruhnya.

Aku yang tidak tahu apa-apa. Langsung mengikuti Bunda ke arah meja makan.

"Bunda nyuruh Bram ke minimarket?" Tanyaku yang benar-benar terkejut.

"Iya kenapa emang?" Bunda menoleh sekilas ke arahku.

"Bunda, ngapain sih pake nyuruh Bram. Kan Kei jadi nggak enak." Aku merasa tidak enak pada Bram. Ia justru diminta Bunda untuk membelikan beberapa bahan kue di minimarket  dekat rumahku.

"Bram sendiri yang minta, Kei." Tapi mengapa harus Bram. Kan bisa meminta Ken ataupun menungguku selesai mandi untuk ke minimarket.

Aku menoleh ke arahnya yang sedang berdiri di dekat sofa ruang tamu. Ia tak duduk, hanya berdiri kaku menatapku dengan Bunda berbicara.

"Kamu yang mau sendiri buat beli bahan-bahan kue?"

"Iya. Saya sendiri yang mau." Katanya, membalas ucapanku.

Kali ini aku membiarkan Bram untuk ikut campur dalam urusan keluargaku. Selebihnya, aku tidak akan tinggal diam..

"Yauda jangan dengerin Kei. Bram ikut sarapan sama kami aja." Bunda berniat mengajak Bram untuk bergabung makan bersama dengan kami.

Ayah dan Ken yang berjalan menuju ruang makan pun, kini ikut menyahuti.

"Nah bener tuh. Bram ikut aja bagaimana? Sekalian sarapan. Mumpung masih pagi juga." Aku yang tidak tahu harus apa, kini hanya bisa menatap Bram dan keluargaku berbincang-bincang.

Kali ini aku benar-benar takut. Sifat Bram, Ayah dan Bunda belum mengetahuinya. Bagaimana kalau nanti Bram justru tidak meresponnya. Bagaimana kalau nanti Bram, memulai ritual sifat bekunya terhadap keluargaku.

Ah, Bunda. Kenapa harus Bram sih...

Bram akhirnya mengangguk menyetujui ajakan Ayah dan Bunda. Ia duduk di kursi meja makan, bersebelahan denganku. Kami memulai makan pagi bersama.

Setelah selesai sarapan, Ayah dan Bunda mengajak Bram untuk berbincang.

"Bram udah kenal Kei berapa lama?" Tanya Ayah secara spontan. Wajah Bram tetap sama datar. Tak raut wajah yang benar-benar senang.

"Baru dua minggu yang lalu, Om." Katanya.

"Oh, berarti udah deket sama Kei lumayan lama dong.." Sahut Bunda sambil cekikikan. Aku yang paham maksud Bunda, langsung menatap Bunda dengan raut wajah tak suka.

"Iya, lumayan.." Jawab Bram singkat. Benar-benar dingin. Aku jadi merasa tidak enak dengan Ayah dan Bunda. Sikap Bram benar-benar membuatku ingin sekali memukulnya. Bagaimana bisa dengan kedua orang tuaku saja, dia seperti itu.

Aku hanya berharap, semoga Bram bisa lebih hangat denganku....

"Bram udah punya pacar?" Ken membuka suara, untuk pertama kalinya. Karena sedari tadi, ia hanya diam memandang Bram dan aku.

Bram menoleh ke arah Ken. Bram mungkin tidak tahu kalau sebenarnya Ken adalah saudara laki-lakiku. Dan pasti Bram mengiranya, Ken adalah pacarku.

"Belum." Jawabnya singkat.

"Kei juga belum punya pacar." Kata Ken sambil cekikikan.

Aku yang tidak tahan dengan sikap Ken pada Bram. Membuatku harus terpaksa menginjak kakinya di bawah meja. Ken pun teriak, dan membuat kedua orang tuaku tertawa sekaligus geleng-geleng. Bram hanya tersenyum, tipis sekali.

"Tante harap, Bram sama Kei bisa berteman dengan baik ya?"  Kata Bunda sambil tersenyum hangat pada Bram.

"Iya, Tante." Ia mengangguk, tersenyum tipis.

Seusai makan, Bram berpamitan untuk pulang. Aku mengantarkan Bram ke depan pintu. Terlihat motornya di parkir, di depan halaman rumahku.

"Bram makasih ya.." Ucapku mencoba menatapnya.

Ia mengangguk, menatapku sekilas. Lalu pergi dengan motor kesayangannya itu.

Aku yang masih diam terpaku, menatap punggung Bram mulai menjauh.

Dengan tatapan menyerah, aku membalikkan badan untuk masuk kembali ke dalam rumah.

Ketika hendak melangkah masuk, seseorang di ambang pintu sedang berdiri dengan menyilangkan kedua tangannya..

"Katanya Bram orangnya asik. Tapi kenapa sekali dicuekin, langsung murung gitu." Kata Ken yang tiba-tiba saja membuatku terkejut.

"Apaan sihh..." Ucapku langsung menorobos masuk ke dalam.

Karena sudah malas dengan keadaan. Ditambah lagi Bram yang masih saja dingin kepadaku, membuatku ingin sekali menyantap orang hidup-hidup. Benar-benar marah aku kali ini.

~~

Hari ini sekolah kami mengadakan lomba untuk memperingati hari "Kemerdekaan"

Tidak ada jadwal pelajaran ataupun bimbingan belajar. Aku ,Jani, dan Rahma berlari menuju lapangan basket untuk menonton pertandingan pemain basket laki-laki sekolah kami.

Dito, Reyhan, Ilham mewakili pemain basket kelasku. Sedangkan, pertandingan kali ini, tim Dito akan melawan pemain basket kelas Rakha.

Mengapa harus Rakha yang mewakili kelas Kei? Bagaimana bisa Kei mendukung kedua laki-laki yang akan bertanding di permainan kali ini. Kei tidak tahu, kalau Rakha akan ikut andil dalam lomba kali ini. Tahu-tahu, Rakha sudah melakukan Streching , dan bersiap untuk melawan kelas Kei.

Kei bingung, harus mendukung kelasnya, atau mendukung kelas Rakha. Tapi aneh rasanya, kalau harus mendukung Rakha. Padahal Kei tidak satu kelas dengan Rakha.

"Duh, kenapa harus lawan kelas Rakha juga sih.." Kesalku pada diri sendiri.

Rahma yang sadar, akan raut wajah Kei yang kebingungan. Ia pun berusaha menenangkan sahabatnya itu.

"Yauda nggak usah dukung siapa-siapa. Lihat aja nanti, siapa yang akan menang." Kata Rahma menepuk bahuku perlahan.

"Iya tapi kan ini juga yang nentuin kelas kita menang atau nggak Ma. Tapi aku sendiri nggak mau lihat tim Rakha juga kalah." Ucapku sembrono. Karena bimbang, takut kalau tim Rakha kalah. Dan dilain sisi, aku juga tidak ingin kalau tim kelasku juga kalah.

Hanya hal sepele saja, selalu kubuat masalah. Selalu kubesar-besarkan. Karena tidak ingin terlihat kebingungan. Aku berusaha untuk menetralisir pikiranku sejenak. Tidak memilih kedua-duanya adalah jawaban paling tepat. Kalau pun tim Dito yang kalah, aku tidak akan berkecil hati. Dan ketika tim Rakha juga kalah, aku juga tidak boleh merasa sedih. Karena ini hanya sebuah lomba.

Menang dan kalah sudah jadi hal yang biasa. Jadi ya lumrah-lumrah saja.

Lomba berakhir dalam waktu dua puluh menit. Dan tim Dito harus mundur dalam babak ini. Sedangkan tim Rakha akan maju ke babak final. Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang pasti aku senang kalau melihat Rakha bersemangat seperti itu.

Karena babak final akan dilanjut hari berikutnya. Lomba pun diakhiri..

Murid-murid berhamburan untuk masuk kembali ke dalam kelas, bersiap untuk pulang. Kali ini jam pulang agak cepat, karena hanya sekedar lomba-lomba biasa. Jadi tak ada jadwal pelajaran yang harus dipelajari.

"Rakha?" Panggilku, ketika melihat ia berjalan menuju parkiran kendaraan.

"Eh, Kei. Kenapa?" Ia berhenti, menungguku untuk menghampirinya.

"Gapapa kok. Buru-buru pulang nih?" Tanyaku pada Rakha. Berharap Rakha tak segera buru-buru ingin pulang.

"Nggak kok. Gimana kalo kita jalan-jalan dulu? Kan lumayan, jam pulang sekolahnya juga cepet." Tawarnya padaku. Aku tidak tahu, mengapa pikiranku selalu terbaca olehnya. Rakha tahu, kalau aku ingin sekali untuk jalan bersamanya.

"Boleh. Pake seragam gini?" Tanyaku pada Rakha. Ia mengangguk, lalu tersenyum.

"Gapapa. Repot kalo harus ganti dulu." Ia menggandeng tanganku, mengajakku untuk ke parkiran kendaraan.

Karena aku dan Rakha akan keluar bersama. Aku memberi pesan kepada salah satu sahabatku

Kalian pulang sendiri aja ya, aku jalan sama Rakha

Oke deh. Have a nice day, Kei.

Semoga berhasil.

Mendengar kedua sahabatku mendukungku dengan Rakha. Aku jadi bersemangat untuk lebih dekat dengan laki-laki satu ini. Semoga ada perubahan di hati Rakha.

Aku dan Rakha mengelilingi Kota Jakarta. Melihat keramaian Jakarta yang begitu menyeruak. Di sepanjang perjalanan, aku banyak berbincang dengan Rakha. Ia selalu menyahuti apa yang aku bicarakan.

"Rakha?" Panggilku padanya. Ia tetap fokus mengemudikan laju sepeda motornya.

"Iya. Kenapa?" Jawabnya dengan nada lembut, namun jelas kudengar.

"Kamu suka Jakarta nggak?"

"Suka." Jawabnya singkat.

"Kenapa?"

"Ada kamu soalnya.." Aku tersenyum. Mendengarnya mengatakan itu. Rakha punya hal-hal baru untuk ia katakan.

Suaranya terdengar lembut, membuatku tidak merasa iri pada kota yang padat ini.

"Kenapa diem?" Rakha sadar, bahwa aku tak mengubris jawabannya barusan. Karena terlalu sibuk dengan imajinasiku. Pipiku panas rasanya, dan rasanya aku ingin sekali memeluknya.

"Ah, enggak. Nggak apa-apa." Jawabku sedikit gugup.

"Kalo kamu, suka nggak sama Jakarta?" Kini, giliran ia yang bertanya.

"Nggak suka." Jawabku dengan jujur.

"Kenapa?" Tanyanya dengan heran.

"Jakarta rumit Kha. Kota ini yang membuatku nggak bisa nahan perasaan ke orang yang aku sayang. Jakarta yang buat aku bisa suka ke dia." Jawabku dengan jujur, seolah sedang menyatakan perasaanku yang sebenarnya.

"Dia siapa?" Aku tidak tahu, Rakha sebenarnya menyadari atau tidak. Bahkan, Rakha pastinya tahu betul orang yang kusukai sejak awal adalah dirinya. Tapi mengapa ia berpura-pura seolah ia tidak tahu.

"Ada. Dia tau kok, kalo aku suka sama dia. Dia juga tau, kalo aku juga sayang ke dia. Tapi yang bikin aku nggak tau. Ternyata dia nggak bisa mengembalikan rasa sayang itu ke aku." Percakapan kami semakin lama, semakin dalam.

Karena merasa percakapan itu harus kami sudahi. Rakha mengalihkan pembicaraan, karena kami sudah tiba ditujuan.

"Udah sampe." Aku melihat sekeliling. Sebuah tempat makan sederhana.

"Makan dulu. Cuacanya juga mendung. Makan yang anget-anget." Kata Rakha, mengenggam tanganku untuk masuk ke dalam.

Aku hanya mengikuti apa yang ia lakukan. Dia mengajakku ke sini, aku ikut ke sini. Mengajakku ke sana, aku ikut ke sana.

Setelah memesan tempat duduk, kami memesan makanan yang sudah tersedia di buku menu. Tempat makannya sederhana. Tak ada rasa mewah, juga tak ada kekurangan di sini. Bersih dan rapi.

"Mau makan apa Kei?" Tanya Rakha lembut, matanya menatap persis kedua bola mataku.

"Apa aja. Yang kamu pilih juga gapapa." Kekehku padanya. Rakha tersenyum, ia mengerti maksudku.

"Yauda aku pilihin. Tapi kamu harus makan ya?" Aku mengangguk mendengar tawarannya seperti itu.

"Iya. Tapi makanannya yang enak ya.." Tawaku meledak saat itu juga. Rakha ikut tertawa.

"Iya deh iya.. Siap bos!" Memberiku hormat seperti anak kecil. Aku yang melihatnya merasa geli dan tertawa.

Semesta memang benar-benar memberiku orang yang tidak terduga. Orang yang berhasil membuatku jatuh cinta terlebih dulu padanya. Semesta memang tidak pernah salah, dalam hal memberikan nasib pada seseorang. Hanya saja, nasibku kurang beruntung karena belum bisa mendapatkan cintanya.

Tak apa, aku senang dengan keadaan seperti ini. Rakha memberiku harapan jauh lebih besar dari yang kuduga. Dia peduli, baik, dia bisa membaca pikiranku. Terlebih lagi, dia selalu memberiku kejutan yang datangnya tidak pernah aku sangka. Aneh rasanya, ketika aku bersamanya. Rasa senang selalu muncul tanpa diminta.

Aku hanya berharap, semesta dapat segera memberiku Rakha secara utuh. Semoga semesta mau membuat Rakha membuka hatinya untukku.

Jakarta benar-benar membuatku menjadi orang paling bahagia di bumi.