Seusai menyelesaikan makan. Aku dan Rakha kembali untuk pulang. Karena cuaca sudah mulai gelap. Mendung berawan. Sepertinya Jakarta sedang sedih. Sebentar lagi hujan akan turun.
"Mendung. Sebentar lagi pasti hujan." Kataku pada Rakha. Rakha kebingungan, seperti mencari-cari sesuatu di dalam jok sepeda motornya.
"Cari apa?" Tanyaku pada Rakha, karena tak ada jawaban sama sekali darinya.
"Jas hujan. Aku lupa membawanya." Kata Rakha, wajahnya sangat terlihat kebingungan.
"Terus gimana?" Aku berusaha untuk mencari solusi.
Rakha hanya menggelengkan kepala lemah. Ia menatapku khawatir. Sepertinya ia tidak mau kalau kami kehujanan.
Karena tidak ingin berlama-lama di depan tempat makanan yang baru saja kami kunjungi. Aku memutuskan untuk nekat. Menerobos awan gelap, walaupun nantinya akan kehujanan juga.
"Gimana kalo kita jalan aja. Sekalian hujan-hujan?" Kataku dengan tersenyum. Berusaha menghilangkan kekhawatiran yang ada pada wajah Rakha.
"Nggak. Aku nggak mau liat kamu kehujanan Kei. Nanti sakit." Kata Rakha. Sudah dua kali, Rakha menunjukkan kepeduliannya padaku. Aku sedikit senang, karena ia memberikan hal yang tidak bisa orang lain beri padaku.
"Nggak apa-apa. Kan hujan-hujannya sama kamu. Kha." Kataku berusaha tetap tersenyum dan ceria. Kugenggam tangan Rakha untuk segera pulang.
"Tapi kamu yakin? Hujannya pasti deres Kei.." Rakha masih terlihat khawatir. Tapi mana mungkin, aku dan Rakha harus terjebak di tempat makan ini. Pasti tidak enak kan, kalau harus menunggu hujan di tempat makan orang lain.
"Gapapa Kha. Udah deh, lagian kan cuma hujan." Kataku sambil tertawa kecil. Aku berusaha untuk memohon padanya. Berulang kali membuatnya harus percaya padaku, kalau tidak apa-apa, jika harus hujan-hujanan.
"Yauda kalo kamu maksa." Jawabnya dengan pasrah.
Kami berdua memutuskan untuk lanjut mengendarai kendaraan. Walaupun risikonya jalanan licin dan harus basah-basah karena kehujanan. Tidak ada pilihan lain, selain pergi dari tempat makan tersebut.
Kami mengelilingi Kota Jakarta. Jakarta siang ini tidak terlalu padat, dibandingkan seperti biasanya. Lalu lintas kendaraan tidak begitu ramai. Hanya saja, banyak orang yang sedang meneduhkan dirinya, selagi menunggu hujan berhenti.
Hujan kali ini benar-benar begitu deras. Seragam yang kami kenakan benar-benar basah kuyup. Baru pertama kali aku bisa bermain hujan-hujanan seperti ini.
Di sepanjang perjalanan Rakha memantauku lewat kaca spion yang ia arahkan padaku. Tapi mustahil untuk dapat melihatku di saat hujan seperti ini.
Rakha melajukan kendaraannya melewati perumahan-perumahan yang jauh dari tengah kota. Menghindari macet jalanan ibu kota.
Hujan masih menghujam tubuh kami berdua. Menyaksikan kebersamaanku dengan Rakha.
Di sepanjang perjalanan, kami hanya diam. Menikmati hujan, selagi merenungi artinya kebersamaan.
Karena sudah mulai kedinginan, kuputuskan untuk meminta Rakha berhenti sebentar.
"Rakha.." Panggilku padanya yang sedang mengemudi pelan, karena takut jatuh akibat jalanan licin.
"Ada apa Kei?" Tanyanya sambil melihatku dari kaca spion.
"Bisa berhenti sebentar?" Kataku dengan ucapan yang sedikit terbata-bata. Karena suhu dingin yang kurasakan saat itu, membuatku benar-benar mati rasa.
Rakha yang mengerti maksudku, menghentikan laju kendaraannya dan berhenti di rumah yang beratap tinggi ; tak dapat dijangkau air hujan.
Aku turun dari sepeda motornya. Dan Rakha membantuku untuk membawakan tas ransel sekolahku.
"Duduk dulu." Ia membantuku untuk lesehan di depan pagar rumah yang tak dapat terjangkau air hujan.
Rakha membuka jok sepeda motornya, berniat mengambil sesuatu. Aku terus berusaha menghangatkan suhu badanku yang lama-lama terasa sangat dingin.
Setelah mengambil sesuatu dalam jok motornya, ia langsung membentangkan jaket miliknya pada tubuhku.
"Pake. Badan kamu menggigil." Jaket berwarna hitam tebal itu kini menyelimuti tubuh dinginku.
"Nggak perlu repot-repot Kha. Kamu juga harus pake." Baru saja mau kulepas, ia sudah menahan tanganku.
Ia menghela napas kesal, "Pake aja. Kamu yang lebih butuh." Lagi-lagi ia menunjukkan kepeduliannya terhadapku.
Karena kedinginan hebat, aku dan Rakha memutuskan untuk berhenti dan meneduhkan diri di depan pagar rumah yang beratap tinggi.
Kami memilih untuk menunggu, hingga hujan mulai reda. Aku masih berusaha menghangatkan tubuhku dengan menggosok-menggosokan kedua telapak tanganku, dan menempelkannya pada kedua pipi dinginku.
Rakha yang melihatku melakukan hal tersebut, kini membantuku untuk menghangatkan badan. Ia menggosok kedua telapak tangannya, bertujuan untuk menghangatkan dan menempelkannya pada kedua tangan dan pipiku.
Ia melakukannya dengan sungguh. Matanya menatap mataku dengan sangat tulus. Terlihat raut wajah khawatir yang sedang menggeluti pikirannya. Sentuhan tangannya yang lembut, membuatku senang. Menjadi wanita paling bahagia di bumi ini.
"Masih dingin ya, Kei?" Tanyanya, sambil memberikan setuhan hangat pada kedua tanganku.
"Iya. Dingin banget udaranya." Jawabku dengan sedikit gugup. Tubuhku mulai tidak merespon apa-apa. Kepalaku mulai pusing. Tak ada respon sinyal padaku.
"Kei, bibir kamu pucet banget." Kata Rakha, lalu memeriksa suhu tubuhku. Benar saja, tubuhku demam.
Rakha terlihat kebingungan dengan keadaanku saat ini. Ia langsung memintaku untuk segera pulang.
"Kei, pulang aja yuk. Kamu udah pucet kayak gitu." Rakha benar-benar khawatir saat ini.
Aku dengan terpaksa mengangguk, mengiyakan ajakannya untuk pulang. Setelah mengantarku sampai di rumah. Rakha masuk sambil menggendongku menuju kamar. Bunda yang sedang berada di ruang tamu, terlihat bingung. Karena melihat tubuhku sudah lemas. Pandanganku buram. Tak bisa fokus, hanya saja aku dapat melihat Bunda juga ikut membantu Rakha membawaku ke kamar.
Rakha menunggu di ruang tamu. Bunda menggantikan pakaian Kei yang basah kuyup tadi. Setelah menggantikan pakaian yang Kei kenakan, Bunda segera membawa semangkuk es batu dan kain basah, yang akan digunakan untuk mengompres tubuh Kei.
"Kei udah Bunda gantiin baju. Kalo mau ngompres Kei, mangkuknya udah Bunda taruh di atas meja." Kata Bunda pada Rakha.
"Iya Bun. Rakha ke atas dulu ya.." Izin Rakha pada Bunda untuk ke kamar Kei.
Di sana, Kei terkulai lemas. Badannya menggigil tak karuan. Sudah tiga lapis selimut yang Bunda kenakan pada tubuhnya. Tapi masih saja kedinginan. Bibir Kei pucat tak karuan. Suaranya menjadi lemah dan hampir tak dengar. Rakha yang melihatnya menjadi lebih khawatir. Khawatir kalau Kei akan kenapa-kenapa.
"Kei?" Panggilku pelan padanya.
Kei terbangun dari tidurnya. Ia berusaha membuka matanya perlahan.
"Ra.. Kha.." Suaranya kali ini benar-benar lemah.
"Istirahat dulu aja Kei. Jangan banyak gerak." Kataku, lalu mengompres dahi Kei.
Kei hanya mengangguk lemah. Kebingungan dengan keadaan Kei yang sakit seperti ini. Membuatku merasa bersalah. Karenaku, Kei harus sakit seperti ini. Andai saja tadi, aku tak menuruti permintaan Kei. Mungkin, Kei tak akan seperti ini.
Setelah kukompres dahinya, aku membiarkan Kei untuk beristirahat. Dengan langkah yang sedikit lemah, kukuatkan diriku untuk turun ke bawah menemui Bunda.
Di ruang tamu, Bunda sudah duduk sambil menatap layar ponsel. Seakan sibuk untuk mengabari seseorang.
"Bunda.." Panggilku perlahan. Karena aku tahu, Bunda pasti khawatir dengan keadaan Kei.
"Eh Rakha. Sini duduk.." Ajak Bunda padaku. Aku duduk di sampingnya. Rasa bersalah terus menggelutiku.
"Rakha, minta maaf Bunda." Kataku padanya. Aku takut Bunda marah.
"Minta maaf untuk apa?" Tanya Bunda padaku.
"Maaf kalo Kei sakit gara-gara Rakha. Rakha udah nyuruh Kei untuk nunggu hujan berhenti. Tapi dia maksa buat hujan-hujan. Dan bodohnya Rakha, justru nurutin permintaan Kei Bun.." Ucapku benar-benar merasa bersalah pada Bunda. Aku tidak mau membuat Bunda khawatir. Karena aku sudah pernah berjanji pada Bunda, kalau aku akan menjaga Kei ke mana pun Kei pergi.
Bunda menepuk kedua pundakku pelan. Seakan mengatakan ; tak apa-apa.
"Gapapa. Bunda tahu kok. Kei pasti yang minta hujan-hujan. Kei dari kecil nggak bisa main hujan-hujan seperti temannya yang lain. Kei punya pobia dingin. Kei sama sekali nggak bisa main hujan-hujanan. Karena, kalo sekali dia main hujan-hujanan, yang terjadi ya seperti sekarang ini. Dia demam, badannya menggigil"
Aku mengangguk paham. Ternyata Kei tidak bisa bermain hujan. Tapi mengapa ia justru memintaku untuk bermain hujan. Padahal tubuhnya sendiri tidak siap untuk itu.
"Rakha nggak tahu, Bun kalo Kei nggak bisa kehujanan. Kei juga nggak bilang apa-apa tentang itu. Rakha minta maaf Bun, karena nggak jagain Kei." Ucapku pada Bunda. Bunda tersenyum, lalu memelukku hangat.
"Gapapa Kha. Kei memang gitu orangnya. Sukanya nutupin. Tapi karna kamu udah tahu apa yang nggak bisa Kei lakuin. Bunda minta tolong jagain Kei ya?" Pinta Bunda padaku. Aku mengangguk, mengiyakan ucapannya.
"Pasti Bun. Pasti Rakha jagain Kei." Bunda tersenyum, memelukku lagi dalam dekapannya.
Aku dan keluarga Kei sudah dekat hampir tiga tahun selama masa sekolah SMA. Hanya saja, perasaan Kei padaku masih belum berubah. Kei menyukaiku sejak pertama kali kami bertemu. Dan Kei juga berulang kali meminta jawabanku atas perasaannya.
Aku hanya seorang pengecut yang belum berani untuk jatuh cinta padanya. Benar, aku memiliki perasaan terhadapnya. Tapi untuk menjalin hubungan yang lebih dari itu, aku belum bisa. Aku kecewa dengan diriku sendiri, karena sudah membuatku Kei sedih bahkan sering menangis karenaku.
Hampir tiga tahun ini, Kei selalu memohon padaku untuk mencintainya. Tapi namanya perasaan, tidak bisa walau harus dipaksa. Berulang kali sudah kukecewakan dirinya, namun tetap saja ia masih menungguku dan tetap mencintaiku sebagaimana seorang Kei padaku. Aku merasa bingung dengan perasaanku sendiri. Kei benar-benar wanita yang pantas untuk mendapatkan yang semestinya.
~
Setiap hari aku selalu bertanya pada Bunda. Apakah Bram akan datang ke rumah lagi atau tidak sama sekali. Aku selalu berharap Bram mengunjungiku dan bisa lebih dekat dengan keluargaku, seperti halnya Rakha dulu.
Mungkin sikap Bram selalu dingin, namun aku selalu percaya bahwa Bram hatinya sangat hangat. Aku tidak tahu betul, apa yang membuat Bram dapat bersikap sedingin itu pada orang lain. Namun, melihat cara Bram menatapku waktu itu, membuatku sedikit memiliki harapan untuk bisa dekat dengannya.
Yang membuat Bram berbeda dengan Rakha adalah, Rakha lebih suka menunjukkan secara langsung kepeduliannya, daripada Bram yang harus perlahan untuk menyampaikan rasa peduli tersebut. Rakha jauh berbeda dengannya, membuatku sedikit bingung dengan perasaan yang sedang kualami saat ini.
Sudah hampir sebulan kurang, aku mengenal Bram. Sikapnya belum saja berubah, masih sama. Tak ada perubahan dalam dirinya. Masih dingin, dan masih mendiamkanku. Beda dengan kedua sahabatnya, Anang dan Samuel. Mereka berdua justru terlihat sangat dekat denganku dan tak lupa Rahma dan Jani. Padahal, aku berharap, Bram bisa seperti mereka.
Sore ini, aku ada jadwal kuliah. Namun tidak dengan kedua sahabatku. Mereka tidak ada kelas sore ini. Ketidakhadiran mereka bersamaku, membuatku harus berangkat kuliah sendiri. Karena aku sedang malas untuk membawa motor. Ken yang sedang bermain game di kamar, kuminta untuk mengantarkanku ke kampus.
"Kakk..." panggilku padanya. Tak ada respon. Membuatku gemas sendiri, kalau sudah begini. Benar saja, ia menyumpat gendang telinganya dengan Headset yang melingkari kepalanya tersebut.
Kutarik benda tersebut dengan paksa. Membuatnya terkejut, ketika tangan jailku bertindak.
"Kenapa sihh???" tanyanya padaku dengan mimik wajah marah.
"Anterin Kei ke kampus."
"Enggak." Tolaknya dengan cepat.
"Kei minta tolong Kak, Kei males banget bawa motor hari ini." Dengan raut wajah memelas, aku memohon dengan sangat tulus padanya.
"Kakak lagi mager banget Kei. Minta antar Bunda, atau kalo nggak Pak Tomo deh. Serius Kei, Kakak males banget. Sibuk ngegame juga ini." Ken benar-benar membuatku ingin marah.
"Bunda sibuk masak di dapur Kak, Pak Tomo lagi cuti hari ini. Kakak aja yang anterin Kei." Rajukku padanya. Pak Tomo adalah perawat taman halaman rumah, yang sudah berkerja dengan keluargaku, yang usianya hampir sama dengan Bi Anna.
"Duh kenapa sih kamu ini. Bawa motor tinggal bawa aja kok repot." Ketusnya, sambil mematikan komputer yang ada di hadapannya.
"Kei mager Kak, tahu mager nggak sih?" sahutku tak kalah ketus darinya.
Ia menatapku tajam, "Kakak juga mager tahu nggak." Aku tertawa kecil, karena sudah membuatnya kesal sore-sore begini.
"Lagi mens ya? Sensi amat." kataku padanya. Ia memelototi mataku dengan tajam.
"Sebelum Kakak berubah pikiran, mending kamu diem. Kamu reseh, kalo lagi nyusahin gini." jawabnya, sambil mengenakan jaket berwarna abu-abu favoritnya.
Ia berjalan ke luar, dan aku mengikutinya dari belakang. Baru beberapa langkah ia berjalan ke luar dari kamarnya, ia langsung membalikkan badan, dan secara spontan aku terkejut melihatnya.
"Kakak cuma nganter. Nggak ada kata Kak jemput, Kak ini, Kak itu. Awas aja." Ia menatapku dengan tatapan mematikan.
Aku bergidik ngeri, melihatnya seperti itu. Aku hanya berguman, mengiyakan jawabannya.
"Inget!" Ulangnya sekali lagi.
Berhasil kubuat Kak Ken keluar dari kamar untuk mengantarku ke kampus. Di sepanjang jalan, kami hanya diam tak ada perbincangan apa-apa.
Sesampainya di kampus. Kak Ken mengantarku hanya sampai depan warung yang biasa kudatangi dengan teman-temanku.
"Sampe sini aja ya, Nyonya.." Ia memperlakukanku seperti ratu. Aku tertawa melihatnya bersikap seperti itu.
"Makasih ya mas gojek. Nggak bayar, nggak apa-apa kan?" Kubalas dengan lelucon pula. Ken geram, lalu tertawa. Kami berdua selalu seperti ini. Hal-hal konyol, selalu kami ciptakan.
"Nanti pulang sama siapa?" tanyanya padaku.
"Belum tahu. Gampang deh kalo pulang. Kei bisa naik taxi atau kalau nggak pesen ojek online." Sesudah itu, aku langsung berpamitan dengan Ken.
"Hati-hati my boy." Ucapku, lalu tertawa setelah mengatakan hal tersebut.
Dengan bergegas, aku segera menuju ke gedung Fakultas Ekonomi. Karena kelas akan dimulai..