Chereads / Metylphenidate (Story of Nana) / Chapter 5 - Matahari

Chapter 5 - Matahari

"Mau pakai payung?" Bibi Meng menyodorkan sebuah payung berwarna hijau.

"Tentu, terima kasih bi" Nana meraih payung tersebut.

"Kenapa bukan Nenek yang menjemput ku ?" Tanya Nana.

"Nenek mu sedang sibuk memperbaiki tanaman hiasnya, kebetulan bibi berkunjung dan memutuskan untuk menjemput mu." Jawab bibi

"Bagaimana sekolahnya hari ini? Menyenangkan?" Tanya bibi Meng sambil melangkah pelan dengan tangan menggandeng keponakannya itu.

"Membosankan, aku tidak suka matematika. Semua serba kaku dan terstandar." Jawab Nana sedikit tertunduk.

"Kamu harus mulai belajar untuk menerimanya nak."

"Belajar matematika adalah sebuah kewajiban. Suka atau tidak suka, kamu harus bertindak profesional sebagai seorang siswa. Jika sudah bisa menerima, nanti kamu akan terbiasa. Jika sudah terbiasa, maka kamu akan mulai nyaman, lalu..."

"Lalu?" Potong Nana.

"Lalu kemungkinan besar kamu akan mulai menyukainya." Terang bibi menasehati.

"Iya ya, setidaknya aku telah melewatinya hari ini." Balas Nana.

"Bagaimana dengan Nenek? Apa yang terjadi dengan tanaman hiasnya?" Tanya Nana.

"Bibi tidak begitu paham, yang jelas tanamannya banyak yang layu dan mati. Mungkin karena faktor kemarau yang membuat tanah-tanah menjadi kering dan tandus." Jawab bibi.

"Seharusnya aku membantu nenek menyiramnya setiap sore." Ujar Nana.

"Hmm, nenek bilang akhir-akhir ini kamu sibuk melukis di kamar?"

"Betul, diluar sangat tidak nyaman. Panas dan gerah bi, aku lupa kapan terakhir turun hujan."

"Matahari begitu terik, langit terlampau cerah tak ada tanda-tanda adanya air di atas sana. Aku rindu melihat pelangi." Terang Nana mengungkapkan kegelisahannya.

"Apa jangan-jangan betul yang dikatakan diberita TV kemarin?" Lanjut Nana kali ini bertanya.

"Berita apa sayang?" Bibi bertanya balik.

"Mereka bilang, kemarau panjang yang terjadi saat ini karena diakibatkan oleh gerak semu matahari. Aku tidak mengerti, bisa bibi jelaskan apa maksudnya?" Ujar Nana dan bertanya.

"Oh, betul sayang. Gerak semu matahari memang salah satu penyebab kemarau yang terjadi saat ini. Tapi juga tidak sepenuhnya benar bahwa ia sebagai penyebab tunggal.

"Fenomena itu sebenarnya adalah hal yang biasa dimana posisi matahari sekarang sedang tepat diarea katulistiwa, tempat kita berpijak. Alhasil, radiasi yang kita terima cukup untuk membuat hujan begitu malu-malu menyapa tanah." Bibi mencoba menjelaskan.

"Lalu apa itu tidak bisa dicegah bi?" Nana bertanya lagi.

"Tidak bisa sayang, itu merupakan siklus tahunan matahari. Hal yang sudah sewajarnya terjadi. Lagi-lagi kamu harus belajar untuk bisa menerima." Jawab bibi kali ini sambil tersenyum ke arah keponakannya yang penuh rasa penasaran itu.

"Iya, iya...Tampaknya benda yang bernama matahari ini sama seperti matematika, menciptakan suasana panas yang tidak ku sukai." Keluh Nana.

"Huss..Jangan bilang begitu sayang. Jika tidak ada matahari, maka mustahil akan ada kehidupan di bumi ini." Ujar bibi menasehati.

"Tapi aku tidak suka teriknya yang begitu panas bi. Bisakah matahari sedikit meredupkan sinarnya? Seperti bibi mengecilkan api kompor saat memasak sup." Ungkap Nana sambil tersenyum.

"Hahaha, mana mungkin sayang? Matahari jauh berbeda dengan sebuah kompor." Jawab bibi sambil tertawa.

"Kalau api kompor tercipta dari gas, lalu api matahari tercipta dari apa bi? Nana memulai pertanyaannya lagi.

"Sama sayang, api matahari juga berasal dari gas. Tapi berbeda dengan kompor yang punya tombol kontrol. Matahari menciptakan apinya secara alami, tidak ada tombol maupun regulator yang mengaturnya." Jawab bibi.

"Kalau begitu bisakah bibi jelaskan lebih detail tentang matahari. Aku penasaran bagaimana benda itu bekerja secara mandiri tanpa tombol, tanpa regulator? Mengapa manusia tidak menciptakan saja matahari versi mini, kan bisa masak sup otomatis, kenapa malah menciptakan kompor yang harus repot-repot memutar tombol?" Nana pun semakin menjadi dengan pertanyaan nya.

"Baiklah jika kamu penasaran.

"Dengar, matahari merupakan sebuah bintang." Bibi mulai menjelaskan.

"Bintang menciptakan cahayanya sendiri kan? Nenek pernah cerita." Potong Nana.

"Betul sekali, rupanya kamu sudah tahu banyak." Balas bibi.

"Lanjut..?" Nana kembali ingin mendengarkan.

"4,6 miliar tahun lalu, sebuah awan molekul yang besar mengalami peluruhan gravitasi. Lalu hampir seluruh materinya memadat dibagian tengah, sisanya membentuk piringan cakram yang melingkar. Materi yang begitu padat itu memanas dan memulai reaksi termonuklir di intinya. Booommmmm! Terciptalah tata surya kita, sebuah matahari lengkap dengan planet-planet yang mengitarinya."

"Reaksi termonuklir? Aku baru dengar." Ungkap Nana semakin penasaran.

"Dua inti atom yang bergabung membentuk inti atom yang lebih besar sayang. Proses tersebut biasa terjadi pada sebuah bintang. Ia menghasilkan sebuah ledakan energi yang sangat besar, jauh lebih besar dari jutaan kembang api yang dinyalakan secara bersamaan.

"Lalu karena reaksi itu, maka suhu pada matahari menjadi begitu panas. Kamu tahu berapa derajat celcius suhu matahari sayang?"

"Berapa bi?" Tanya Nana

"Suhu inti matahari diperkirakan mencapai 14 juta derajat Celcius, namun untuk suhu dipermukaan nya relatif lebih dingin yaitu hanya sekitar 5.000 hingga 6.000 derajat celcius. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk mampu merebus triliunan butir telur yang ditaruh dalam sebuah panci seukuran bumi sekalipun. Juga kenyataannya cukup untuk membuat seorang gadis kecil mengeluh panas meski ia berada dalam jarak yang cukup jauh, 150 juta kilometer." Ujar bibi menjelaskan.

"Hmm..Bibi menyindirku? Lalu bahan bakar dari reaksi itu apa bi? Bagaimana bisa matahari mampu bertahan hingga miliaran tahun? Lanjut Nana bertanya.

"Matahari merupakan bola gas raksasa yang terdiri dari 80% hidrogen dan 19% helium, menjadikannya mampu membentuk reaksi termonuklir yang berantai. Bayangkan, diameter matahari mencapai 1,4 juta kilometer dimana 100 kali lebih besar dari pada diameter bumi. Bisa kau tebak seperti apa berat dari bola raksasa panas itu?

"Seberapa berat bi?" Nana ingin tahu lagi.

"Massa matahari diperkirakan sekitar dua dikali sepuluh pangkat tiga puluh kilogram. Atau singkatnya, 330.000 kali massa bumi." Jawab bibi.

"Sungguh luar biasa. Lalu kapan matahari itu akan padam bi? Kan tidak ada tombol dan regulator." Lanjut Nana bertanya kali ini sambil bercanda.

"Tidak ada yang tahu pasti sayang. Namun para astronom meyakini bahwa matahari akan padam jika reaksi termonuklir tersebut berhenti. Atau bahan bakar hidrogen benar-benar habis. Kemungkinan sekitar 10 miliar tahun lagi." Ungkap bibi menjelaskan.

"Tidak ada satu orangpun yang tertarik untuk menunggu itu kan bi? Nana kembali bercanda.

"Hahaha" Bibi hanya bisa tertawa mendengar pertanyaan ponakannya itu.

Tiba-tiba langkah kaki bibi terhenti saat tepat berada didepan sebuah minimarket. Nana pun ikut berhenti dan menoleh ke arah bibinya.

"Ada apa bi?" Tanya Nana.

"Mau sepotong es krim?" Bibi menawarkan.

"Hmm.." Nana mengangguk pertanda setuju.

Mereka berdua pun masuk kedalam minimarket dan membeli dua potong es krim untuk dinikmati bersama sembari melanjutkan perjalanan pulang.

"Apa es krimnya terasa nikmat sayang?" Tanya bibi.

"Sangat nikmat, cukup untuk menghilangkan kekesalan ku pada gerak semu matahari ini." Jawab gadis kecil itu sambil menikmati sepotong es krim dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang payung berwarna hijau favoritnya.

"Jika es krimnya terasa nikmat, maka bersyukurlah bahwa gerak semu matahari bukanlah sesuatu yang harus kamu keluhkan."

"Coba bayangkan jika matahari tiba-tiba menjadi sangat redup. Maka dapat dipastikan seluruh dunia ini akan menjadi gelap dan dingin sayang. Sulit untuk mendapati kehidupan yang normal, tumbuhan hanya tersisa sedikit yang mampu bertahan hidup, lalu binatang banyak yang mati dan punah khususnya para karnivora, air-air disemua sumber akan membeku, kamu pun mungkin akan membenci es krim.

"Pun sebaliknya, bayangkan jika matahari tiba-tiba menjadi sangat panas. Dapat dipastikan pula hampir semua air dipermukaan bumi akan menguap, es di kutub utara dan selatan akan mencair habis-habisan, tanah akan menjadi retak dan sangat kering, sulit rasanya untuk bisa menemukan sepotong es krim dalam keadaan seperti itu." Ujar bibi sambil terus melanjutkan langkah.

"Meski matahari tercipta tanpa adanya tombol dan regulator, tapi ada sesuatu yang seperti sudah tertakar ya bi? Sebuah sistem pengaturan otomatis yang dibuat dengan penuh keajaiban. Entah itu karena Tuhan, atau ada sesuatu lain yang belum pernah tersentuh oleh nalar kita. Tapi setidaknya aku berterima kasih dan bersyukur atas sepotong es krim yang nikmat ini." Ungkap Nana membalas perkataan bibinya tadi.

Bibi pun tersenyum mendengar kata-kata keponakannya itu. Tak lama mereka berdua pun akhirnya sampai didepan rumah, tampak nenek masih sibuk merapikan pot bunga.

"Nenek..." Teriak Nana memanggil neneknya.

"Wah, sudah sampai kalian rupanya. Ayo masuk dan segera makan siang." Ajak nenek sambil merapikan peralatan tamannya dan melangkah masuk ke rumah.

"Jangan khawatir masalah tanaman itu nek, semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikeluhkan mengenai kemarau ini, itu hanyalah gerak semu matahari. Segala sesuatu di dunia sudah tertakar bukan?" Ujar Nana sambil melepas sepatunya.

Nenek terkejut dan terdiam, menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah bibi Meng dengan penuh tanda tanya. Bibi Meng pun hanya membalas pandangan nenek dengan senyum manis.