"Hi.. Es krim?" Beni telah kembali dari kantin.
"Wah, terima kasih Ben." Sambut Nana tersenyum lalu menyodorkan selembar uang.
"Pegang saja uangnya Na." Ucap Beni menolak.
"Aku tadi nitip, bukan minta Ben." Balas Nana sambil memaksa Beni menerima uang itu.
"Oke deh Na."
"Ngomong-ngomong kapan pertama kali kamu makan es krim?" Tanya Beni masih berdiri di depan meja Nana.
"Hmmmmmm.... Aku lupa, yang pasti bibi yang mengajariku menyantap benda nikmat ini. Setiap main kerumahnya pasti aku dibelikan es krim, atau bibi suka membuat es krim sendiri dari bubuk krim yang ia beli di minimarket lalu berbagi dengan ku." Jawab Nana.
"Wah, bibi mu pasti orang yang ramah dan menyenangkan." Ujar Beni.
"Bisa dibilang begitu, ia bekerja di salah satu badan yang mengawasi lingkungan, cuaca maupun bencana. Ia banyak menguasai ilmu kebumian, aku suka sekali mendengar dan belajar saat bibi mulai bercerita banyak hal." Ungkap Nana sambil menikmati es krim yang baru saja diberi Beni.
"Kenapa kamu tanya kapan aku pertama kali makan es krim?" Tanya Nana.
"Sejak kecil ibu melarang ku untuk makan es krim, cokelat dan segala makanan yang berpotensi merusak masa depan ku katanya. Entah apa yang ada dipikiran orang dewasa tentang makanan yang merusak masa depan anak. Aku benar-benar tidak paham." Ujar Beni.
"Tapi kamu terima kalau ibu mu melarang itu? Tanya Nana.
"Iya" Jawab Beni.
"Dan kamu juga tidak merasa keberatan, lalu semua berjalan tanpa ada masalah?" Tanya Nana lagi.
"Semua berjalan lancar tidak ada masalah kalau ibu melarang ku makan es krim. Justru aku juga mangajarkan hal yang sama pada adik ku yang baru berumur lima tahun. Hal sesederhana itu akhirnya menjadi budaya disebuah keluarga meski tidak tahu asal usulnya." Beni melanjutkan.
"Hahaha...Terdengar aneh sih, tapi mungkin ada benarnya juga ibu mu. Kita tidak pernah tahu kan ada hal apa dibalik masa depan?" Ungkap Nana sambil sedikit tertawa.
"Lalu bagaimana dengan keluargamu? Apa ibu mu tidak melarang kamu makan es krim?" Tanya Beni.
Nana pun terdiam dan tak menjawab sepatah kata apapun. Lalu ia menoleh ke arah jendela kaca, didapatinya pemandangan dua ekor kupu-kupu putih dan kuning melesat di dedaunan pohon cemara yang terkena hembusan angin.
"Na?" Panggil Beni sambil menggelengkan telapak tangannya tepat didepan wajah yang sedang melamun itu.
"Na...Na?" Panggil Beni kesekian kali.
"Ah iya Ben, tadi bilang apa?" Jawab Nana sambil menoleh dan tersenyum.
"Enggak, apa jarinya masih sakit?" Tanya Beni.
"Hmmm.." Nana mengangguk.
Kringgggg...Kringggg.....
Suara bel pun berbunyi, pertanda jam istirahat telah usai.
"Matematika." Celetuk Beni.
Nana pun tersenyum, lalu ia mengeluarkan buku catatannya. Tak lama seorang wanita paruh baya mengenakan kaca mata, membawa beberapa buku dan alat tulis pun masuk kelas, suasana kelas menjadi sangat hening.
"Selamat siang anak-anak!
"Hari ini kita belajar himpunan, tolong duduk yang rapi dan jangan berisik. Yang masih mengunyah permen karet segera dibuang, yang membawa smartphone maupun tablet tolong disimpan dan dimatikan atau tidak akan ibu sita! Dan yang ingin pergi ke toilet silahkan, ibu kasih waktu 5 menit dari sekarang! Setelah 5 menit kedepan, tidak ada lagi yang boleh ijin ke toilet.
"Ada yang keberatan?"
Ucap guru matematika tersebut menyapa.
***
Sepulang dari sekolah, Nana duduk dibawah pohon Kakao di kebun belakang rumah. Dilihatnya kembali dua ekor kupu-kupu kuning dan putih melesat melewati dedaunan tepat di depan matanya. Lalu tiba-tiba si kupu-kupu kuning menghampirinya dan hinggap tepat di ujung hidung gadis manis itu. Sontak Nana terdiam dan mencoba menahan nafas sambil mengarahkan pelan tangan kanannya menuju hidung berniat menangkap si kupu-kupu cantik tersebut.
"Happppp...!" Ucap nenek sambil menepuk pundak cucunya dari belakang.
Nana terkaget dan si kupu-kupu kuning pun terbang pergi.
"Nenek..." Rengek Nana.
"Trik baru menangkap kupu-kupu? Sudah makan siang kamu?" Tanya sang nenek.
"Sudah nek, aku hanya duduk bersantai, kupu-kupu itu yang tiba-tiba datang dan hinggap." Jawab Nana.
"Apa yang terjadi dengan jari mu?" Tanya nenek saat melihat jari cucunya terbungkus dengan kain perban.
"Hanya terkena silet saat memotong pensil."
"Hmm...Apa ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan?" Nenek bertanya lagi.
"Tidak ada nek, aku hanya duduk bersantai." Ujar Nana sambil melempar senyum ke neneknya.
"Baiklah, kalau begitu nenek mau menanam tomat. Akhir-akhir ini harganya di pasar cukup mahal, siapa tahu bisa panen banyak dan dapat dijual. Kamu mau ikut bantu nenek?" Ucap sang nenek.
"Apa uang pensiun nenek tidak cukup lagi buat memenuhi kebutuhan kita nek?" Dengan polos Nana bertanya.
"Bukan masalah uang sayang." Jawab sang nenek.
"Lalu apa nek? Kenapa nenek hendak menanam tomat untuk dijual? Biasanya kita menanam untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari saja." Nana bertanya lagi.
"Nanti nenek jelaskan, ayo bantu nenek ambil alat-alat." Ajak sang nenek.
"Baiklah" Nana segera beranjak.
Mereka berdua mulai menanam bibit tomat. Nenek bertugas menggemburkan tanah, sementara Nana sibuk mengambil pupuk organik dari lubang pupuk. Sejak dulu nenek telah membuat sebuah lubang dengan ukuran satu meter persegi guna menaruh dedaunan kering untuk dijadikan pupuk organik. Tak hanya diisi dedaunan, tapi mereka juga kerap menaruh sampah organik sisa konsumsi sehari-hari seperti cangkang telur, tulang ikan hingga ampas bekas parutan kelapa ketika nenek membuat bubur kacang hijau. Dengan kedalam hampir satu meter, lubang tersebut cukup menjanjikan sebagai cadangan pupuk alami untuk tanaman-tanaman di kebun mereka.
"Jadi kenapa nenek hendak menjual tomat?" Nana mulai berbicara.
"Mengajarimu" Jawab nenek.
"Mengajariku apa nek? Menanam bibit tomat? Bukankah hampir setiap minggu kita menanam sesuatu di kebun ini?" Balas Nana.
"Dengar sayang, umur nenek sudah semakin tua."
"Kamu tahukan kalau baterai senter akan habis jika ia sudah lama terpakai?"
Nana terdiam mendengar ucapan sang nenek barusan. Ia mulai mengerti apa maksud dari kata-kata sang nenek. Kehidupan, umur dan kematian. Sesuatu yang kebetulan sedang Nana pikirkan sejak tadi ia duduk di bawah pohon Kakao. Sejak percakapannya dengan Beni di sekolah, Nana terus menerus memikirkan tentang orang tuanya.
"Nenek hanya ingin kamu mengerti, jika kelak nenek sudah tiada, kamu harus bisa menjaga diri, menjadi Nana yang kuat dan bisa mandiri, bertanggung jawab atas segala sesuatu dalam hidup mu sendiri.
"Kamu harus jadi wanita yang cerdas! Terus belajar, kejar pendidikan dan cita-cita. Meski kelak jika kamu sudah berkeluarga harus mengurus anak di rumah, ibu yang berpendidikan dan cerdas akan mampu mendidik, mengajarkan dan mewariskan segala hal untuk anaknya. Tidak ada ilmu yang terbuang sia-sia.
"Pandai lah melihat peluang, jangan boros dengan uang, namun jangan lupa untuk tetap berbuat baik, bersedekah dan juga rendah hati."
Ujar nenek memberi nasihat sambil mengambil posisi duduk di batang pohon tua yang telah tergeletak di tanah tepat sebelah lubang pupuk. Nana pun ikut duduk disebelah nenek dan mulai bertanya.
"Apa nenek ingin pergi?"
"Bukan ingin, tapi suatu saat pasti." Jawab nenek.
"Apa ibu juga bagian dari pasti nek? Bukan karena ingin kan?" Nana bertanya lagi.
Kali ini nenek tiba-tiba yang terdiam.
"Aku rindu ibu nek. Meski seumur hidup aku belum pernah melihat wajahnya secara langsung, tapi ada sesuatu yang membuatku memikirkannya.
"Ada denyut di dadaku saat orang-orang mulai bercerita tentang kehidupan keluarga mereka nek. Tentang seorang anak laki-laki yang dilarang makan es krim oleh ibunya, atau seorang anak perempuan yang gemar dibelikan boneka oleh ayahnya. Lalu mereka semua bertanya tentang kehidupan keluargaku. Aku selalu diam, dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Lalu denyut di dadaku semakin kencang nek.
"Kenapa aku berbeda? Kenapa aku tidak berhak mendapatkan hadiah boneka dari ayah? Mendapatkan perhatian dari ibu? Sama seperti mereka nek?
Tetes demi tetes air mata mulai berjatuhan dari bola mata seorang gadis yang duduk dengan tatapan kosong di samping neneknya. Tubuhnya mulai bergetar, tak lama tangis pun pecah terdengar. Melihat sang cucu yang mulai menangis terisak, nenek pun tak kuasa membendung air matanya juga. Lalu ia mengarahkan tangan kanannya merangkul tubuh Nana sambil mencoba menjawab.
"Cucuku sayang, segala sesuatu yang terlahir di dunia ini telah digariskan oleh sang pencipta, ia adalah entitas tunggal yang berhak sepenuhnya atas segala takdir manusia.
"Kita sebagai manusia tidak dapat memilih dari rahim siapa kita akan dilahirkan, dari keluarga mana kita hadir di dunia. Sesuatu yang sama sekali diluar kuasa kita sayang.
"Tapi kitalah satu-satunya makhluk di alam semesta ini yang diberikan sebuah kesadaran. Mungkin kita memang makhluk yang mudah merasa kesepian, tapi dengan kesadaran yang diberikan Tuhan, kita berhak untuk menjalin hubungan, bersosial dan melawan rasa sepi itu.
"Kita satu-satunya makhluk yang menanam tomat lalu menjualnya ke pasar. Kita juga satu-satunya makhluk yang menangis karena adanya rasa sedih di hati. Bukankah itu sebuah hadiah yang sangat ajaib?" Tutur sang nenek kepada cucunya.
"Hal yang harus Nana ketahui bahwa ibu mu telah berjuang untuk sebuah keajaiban, keajaiban yang bernilai sangat mahal, jauh lebih mahal dari harga seratus miliar ton tomat. Keajaiban itu adalah sebuah kesadaran dari seorang gadis cantik yang bernama Nana. Gadis cantik yang kelak akan menjadi orang yang hebat, menjadi seorang ibu yang cerdas, ibu yang juga akan melahirkan keajaiban-keajaiban berikutnya.
"Jika Nana rindu dengan ibu, cukup do'akan beliau semoga selalu baik-baik saja di alam sana. Ibu mu pasti sangat bahagia melihat Nana tumbuh sebagai gadis yang cantik, cerdas, baik dan periang. Jangan sedih lagi, kamu juga masih punya nenek, paman Sam juga bibi Meng yang akan terus merawat kamu. Ingatlah bahwa Nana juga punya keluarga yang begitu sayang sama Nana."
Mendengar ucapan sang nenek, Nana pun sedikit lebih tenang.
"Ya sudah, kamu segera mandi dan tenangkan diri yah. Biar nenek yang lanjutkan pekerjaan, hanya tinggal menabur pupuk saja. Nanti sore kita main ke rumah bibi Meng, katanya ia hari ini hendak membuat kue nastar. Nenek mau membantunya." Ucap sang nenek.
"Baik nek. Terima kasih selama ini sudah merawat Nana. Nenek jangan pergi yah, terus panjang umur dan sehat. Nana sayang sama nenek, paman Sam dan juga bibi Meng." Balas Nana sambil beranjak dan melangkah.
"Kami akan selalu ada untukmu sayang." Ucap nenek sambil tersenyum ke cucunya itu.