"Na...Na...Nana!" Seru Beni mencoba membangunkan gadis yang sedang sibuk memejamkan mata dengan kepala diatas meja.
"Na, ayo pulang." Kali ini Beni sambil mengoyang-goyangkan pundak gadis itu.
"Hah? Beni...Aku ketiduran?" Nana terbangun dan kaget.
"Jam pelajaran telah selesai, untung tadi pak guru tidak memperhatikanmu. Ada apa? Kamu kelelahan karena habis ngepel lantai tadi?" Ujar Beni diiringi deru suara para siswa-siswi yang mulai beranjak meninggalkan meja melangkah keluar kelas.
"Hmmm.." Nana yang tampak bingung dan masih mengantuk hanya mengangguk mengiyakan.
"Ya sudah , aku pulang duluan yah." Beni berpamitan dan bergegas keluar kelas. Namun, saat Beni baru sampai pintu kelas tiba-tiba Nana memanggilnya.
"Ben....Tunggu!
"Boleh minta tolong temanin ke kantin sebentar?" Ujar Nana lirih dengan tenggorokan yang kering.
"Haus?" Tanya Beni.
"Iya, selain lupa bawa topi, aku juga lupa bawa botol air minum tadi." Jawab Nana sembari melangkah.
"Ya sudah, ayo!" Beni pun setuju mengantar Nana ke kantin.
***
"Bu, es teh manisnya dua yah! Take away!" Ujar Nana kepada ibu penjaga kantin.
"Ah, es teh manisnya satu saja bu, aku ambil air mineral." Ucap Beni bertolak dengan yang Nana pesan.
"Tidak suka teh?" Nana bertanya.
"Bukan tehnya, tapi esnya." Jawab Beni sambil membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol air mineral.
"Es teh manis satu sama air mineral berapa bu?" Tanya Nana kepada ibu kantin.
"Biar aku saja yang bayar Na." Ujar Beni.
"Jangan Ben, kan aku yang minta tolong temanin kesini. Lagi pula uang ku hari ini masih utuh karena istirahat tadi kita sibuk bersih-bersih dan enggak jajan." Ujar Nana sembari membayar minuman yang mereka pesan.
"Baiklah, dari pagi tadi kamu tampak keras kepala." Balas Beni.
Mereka berdua pun melangkah menuju parkiran sekolah.
"Hmm, begini rasanya punya teman?" Ucap nana dalam hati.
Seperti yang telah diketahui bahwa selama ini Nana bukanlah tipe anak yang mudah bersosial di sekolah. Terbukti saat ia menempuh sekolah dasar selama enam tahun, Nana sama sekali tidak punya teman yang bisa diajak berbagi sesuatu, baik itu sebotol air mineral atau bahkan obrolan seputar mainan anak-anak apa yang sedang trending ditahun itu. Setiap hari ia berkomunikasi dengan teman di kelas hanya seperlunya saja, dan Nana selalu pulang sekolah tepat waktu karena setiap hari nenek atau bibi menjemputnya. Namun kini sejak ia menginjak kelas tujuh dan berkenalan dengan Beni, ada sesuatu yang berubah darinya.
Memasuki awal sekolah menengah pertama merupakan sebuah pintu menuju keremajaan bagi anak-anak. Dimana selain umur mereka yang sudah belasan tahun, kini mereka juga berada di lingkungan sosial yang lebih luas. Mungkin, sebagian orang menganggap bahwa hal paling umum dari anak-anak memasuki masa remaja adalah mengenal rasa cinta. Anggapan tersebut memang tidak sepenuhnya salah, namun akan sangat sempit jika hanya memandang sebuah fenomena sosial dari sudut itu saja. Masa remaja adalah sebuah anugerah yang tak terbatas luasnya. Perubahan-perubahan sikap dan minat cenderung tumbuh dimasa-masa ini, komunikasi sosial dan pergaulan lingkungan juga besar pengaruhnya pada pembentukan karakter secara fundamental.
Jika kita memandang secara general fenomena keremajaan, maka jatuh cinta hanyalah satu dari sekian banyak akibat kecil. Seperti yang telah dijelaskan diatas, ini adalah pembentukan karakter secara fundamental. Justru masa remaja adalah fase lanjutan dari masa anak-anak yang berarti akan ada begitu banyak keresahan dan rasa penasaran yang lebih kompleks difase ini.
"Ben, kamu kok bisa tahu banyak ilmu anatomi tubuh?" Tanya Nana masih sambil melangkah menuju parkiran sekolah.
"Kan sudah ku bilang, ibu ku yang beritahu semua Na." Jawab Beni.
"Hmm...Apa ibu mu seorang dokter bedah?" Nana bertanya lagi.
"Hehe, bukan. Tapi dokter umum Na. Apa kamu tertarik ingin jadi dokter juga?" Beni bertanya balik.
"Tidak terlalu, bagaimana kalau kamu? Sepertinya kamu begitu mewarisi sifat ibu mu." Ujar Nana sambil menikmati es teh manis ditangannya.
"Bisa dibilang begitu. Aku pikir pekerjaan seorang dokter cukup keren. Bisa melihat orang tersenyum karena penyakitnya sembuh adalah hal yang sungguh luar biasa. Menurutku, kesehatan adalah sesuatu yang sangat bernilai harganya Na. Sejak kecil aku ingin sekali menjadi seorang dokter seperti ibu." Ucap Beni mengutarakan cita-citanya.
"Wah, pantas saja kamu tidak mau minum es teh manis. Juga kemarin kamu tidak suka es krim, kamu takut es itu akan merusak masa depan mu?" Balas Nana bercanda.
"Hahaha....Bukan begitu. Dikeluarga kami, ibu memang ketat dalam mengatur pola makan dan kesehatan bagi anak-anaknya. Tapi kurasa itu memang hal yang baik." Jawab Beni sembari tertawa.
"Kalau kamu bagaimana? Oh iya, kamu pernah cerita kalau bibi mu bekerja di badan yang mengurus lingkungan dan bencana. Apa kamu juga ingin menjadi seperti bibi mu?" Lanjut Beni bertanya.
"Hmm..Mungkin. Tapi sejak kecil aku belajar banyak dari nenek. Nenek mengajariku banyak hal tentang pertanian, bercocok tanam berbagai fenomena alam yang berkaitan dengan itu. Jujur aku sedikit khawatir tentang masa depan." Jawab Nana.
"Khawatir maksudnya?" Beni tidak memahami yang dimaksud gadis itu.
"Maksudku khawatir akan keberlangsungan hidup manusia Ben. Luas permukaan bumi tidak bertambah, sementara populasi manusia semakin banyak. Sumber daya alam terus digerus, krisis pangan adalah hal yang sangat mungkin akan terjadi dimasa depan." Ujar Nana melanjutkan.
"Krisis pangan mungkin hal mengerikan, tapi sebesar itukah keterkaitannya dengan bercocok tanam?" Beni masih bingung.
"Bercocok tanam ternyata bukanlah hal yang mudah ben, butuh waktu bermingu-minggu atau berbulan-bulan untuk kamu bisa memanen apa yang kamu tanam. Masalahnya bukan hanya diwaktu, melainkan faktor pendukung dari pertumbuhan tanaman itu. Seperti cuaca, tingkat kesuburan tanah, hingga seberapa penting rantai makanan di habitat perkebunan atau ladang itu bisa terjaga.
"Seperti yang kita tahu bahwa diumur bumi yang semakin tua ini sumber daya alam semakin menipis, hutan-hutan banyak yang ditebang, penggunaan sampah plastik mencemari tanah, pabrik-pabrik membuang limbah merusak ekosistem air di sungai dan laut, asap kendaraan yang menyebabkan polusi udara dan masih banyak lagi.
"Bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan pangan global jika dimasa depan bumi kita semakin tua dan rusak? Aku sering lihat berita di televisi kalau mereka, para astronom sibuk mencari habitat baru untuk manusia tinggal. Bukankah hal yang sangat tidak menyenangkan jika harus meninggalkan bumi yang menakjubkan ini?"
Lanjut Nana menjawab kebingungan bocah laki-laki itu.
"Wah, sepertinya bercocok tanam adalah pekerjaan yang jauh lebih mulia dari pada mengobati orang sakit Na. Jika dokter mengobati satu atau beberapa orang, maka bercocok tanam menyelamatkan seluruh populasi manusia di bumi. Hebat!" Ucap Beni terkagum mendengar gadis itu bercerita.
"Enggak lah Ben. Dokter tetaplah pekerjaan yang sangat mulia, menyelamatkan nyawa manusia yang sekarat dengan menyelamatkan manusia yang kelaparan adalah dua hal yang sekilas terlihat sama namun berbeda Ben. Dokter jauh lebih dibutuhkan untuk situasi yang darurat. Jika dokter tidak melakukan operasi bedah pada ibu saat ia melahirkanku, mungkin aku tidak pernah terlahir di dunia yang begitu indah sekaligus ringkih ini Ben.
"Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan dan dokter yang telah menyelamatkanku." Ujar Nana meluruskan komentar Beni.
"Hmmm, iya juga ya Na. Wah, kamu cerdas sekali ternyata." Beni semakin kagum dengan pemikiran gadis itu.
"Hei, itu sepedamu?" Tanya Beni sambil menunjuk sepeda berwarna hijau milik Nana. Rupanya mereka berdua sudah tiba di parkiran sekolah.
"Ah iya Ben." Jawab Nana melangkah mendekat ke sepedanya. Sementara Beni juga berjalan mendekati sepeda berwarna merah miliknya.
"Ben?" Sambil bersiap menaiki sepedanya, Nana memanggil bocah laki-laki itu.
"Kenapa Na?" Jawab Beni.
"Terima kasih ya!" Ucap Nana tersenyum.
"Karena ditemanin beli es teh manis?" Tanya Beni.
"Bukan hanya itu, terima kasih sudah mau berteman dan berbagi cerita. Ujar Nana masih dengan senyum yang sama. Beni pun membalas senyum gadis itu, lalu menaiki sepedanya.
"Yuk pulang." Ujar Beni. Lalu mereka berdua pun mengayuh sepeda meninggalkan sekolah dan jalan pulang menuju rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah, Nana mengganti pakaiannya dan sejenak merebahkan diri diatas kasur sebelum beberapa menit kemudian nenek memanggilnya untuk segera makan siang. Raut wajah gadis itu tampak memerah, untuk pertama kalinya Nana merasa bahagia karena punya seorang teman. Diusia yang mulai menginjak remaja, ia baru mengerti akan betapa penting dan menyenangkan bisa bersosial. Sekali lagi, usia remaja adalah anugerah yang tak terbatas luasnya. Fase perubahan sikap dan minat yang membentuk karakter secara fundamental tampaknya sedang dialami oleh gadis yang kita kenal sejak umur lima tahun ini.