Chapter 9 - Luna

"Tuhan, terima kasih atas makanan di atas meja ini." Ucap Nana seraya menyatukan jemari tangannya dengan posisi tepat dibawah dagu, memimpin doa makan malam bersama nenek dan bibi Meng.

"Amin" Terdengar suara mereka bertiga menjawab bersamaan.

Makan malam yang indah pun dimulai. Namun tidak ada paman Sam ikut makan di meja. tampaknya paman sedang sibuk dengan urusan pekerjaan diluar kota.

"Aku pikir, hanya bibi yang punya resep sup ayam paling enak di alam semesta ini." Ujar Nana memuji masakan bibinya.

"Hahaha kamu bisa saja, sup buatan nenek mu jauh lebih lezat. Iya kan nek?" Sahut bibi sambil melempar senyum ke arah mertuanya.

"Menyantap sup sebagai tamu di rumah orang dengan di rumah sendiri tentulah beda. Sebagai tamu, anak ini mencoba menjilat tuan rumah. Kebetulan ia juga sedang lapar, sesuai dengan pepatah kuno, lapar adalah bumbu terbaik dari segala masakan." Jawab nenek meledek Nana sambil menuang kuah sup ke piring nasi miliknya.

"Hahaha." Kali ini Nana yang tertawa.

"Bukankah indera pengecap Nenek yang mulai terasa hambar? Nenek bahkan akhir-akhir ini mulai tidak menyukai selai kacang bi, katanya selai kacang tidak..."

"Huss..Jangan bilang begitu!" Potong bibi menyela kalimat Nana.

"Kenapa? Bukankah itu semua memang benar. Nenek bahkan melarang ku memakan banyak selai kacang saat sarapan pagi." Lanjut Nana.

"Itu karena lambung mu yang manja." Balas Nenek.

"Sudah, sudah...Cucu sama nenek kok bertengkar."

"Nana, kamu makan yang banyak ya. Katanya sup buatan bibi yang paling lezat." Ujar bibi melerai pembicaraan mereka.

**

Selepas makan malam, Nana menggendong Moli dan berjalan menaiki tangga menuju ke teras lantai dua. Rupanya itu adalah tempat favoritnya Nana saat menginap di rumah paman Sam. Ada sebuah meja bundar kecil dengan sepasang kursi yang cukup nyaman untuk memandang luasnya gemerlap langit malam. Nana menarik kursi dan mulai duduk dengan tangan kiri masih menggendong Moli si kucing kesayangan bibinya. Matanya berbinar saat ia mulai melongok ke atas langit dan mendapati sebuah pemandangan bulan yang nyaris bulat sempurna dengan sinar kuning keemasan.

"Luna." Ucap bibi Meng yang ternyata juga memandang ke langit dan berdiri dibelakang gadis itu.

"Bibi...Bikin kaget saja" Ujar Nana terkejut.

"Kue nastar buatan bibi dan nenek, mau coba?" Bibi menaruh toples transparan berisi belasan kue nastar yang tersusun rapih, lengkap dengan sebotol air mineral ke meja tepat didepan Nana duduk, lalu ia menarik kursi dan ikut duduk bersama Nana memandang langit malam yang tampak cerah itu.

"Wah terima kasih bi." Jawab Nana.

"Tadi bibi memanggil nama Luna? Siapa bi?" Lanjut Nana bertanya.

"Owh, benda kuning yang bersinar terang itu sayang." Jawab bibi Meng sambil menunjuk ke arah bulan.

"Hah? Ternyata bulan juga punya nama?" Ucap Nana terkejut.

"Betul sayang, ada banyak bahkan." Jawab bibi sambil mengunyah kue nastar berisi selai nanas yang masih hangat itu.

"Dalam bahasa inggris, kita sering mendengar kata 'moon' yang berarti bulan. Namun beberapa orang juga menamainya Luna. Dalam bahasa Armenia, Luna kadang disebut sebagai Lucy. Kalau dalam bahasa sansekerta, bulan dinamai sebagai Chan." Lanjut bibi.

"Berbeda bentuk dan tampilannya, maka berbeda juga penyebutannya sayang. Misalnya bulan saat berwarna putih, orang Amerika menyebutnya sebagai Murako. Jika ia berwarna perunggu, orang Turki menyebutnya sebagai Tuncay. Orang korea sering menyebut bulan yang cantik sebagai Dalia, diambil dari kata 'Dal' yang berarti bulan. Berbeda lagi jika bulan purnama, orang Arab memanggilnya Badar."

"Wah, bibi bisa tau banyak nama-nama bulan dalam setiap bahasa. Keren!" Ujar Nana terkagum mendengar ucapan bibinya barusan.

"Hahah, masih ada yang lebih keren dari sekedar nama-nama bulan sayang."

"Apa itu bi?" Tanya Nana penasaran.

"Fisik dari bulan itu sendiri sayang. Bagaimana ia terbentuk? Mengapa ia berwarna terang? Dan untuk apa eksistensinya berada?" Jawab bibi Meng.

"Tolong beritahu bi!" Nana semakin penasaran.

"Baiklah. Benda yang tampak paling terang kedua setelah matahari ini, terbentuk sekitar 50 juta tahun pasca terciptanya tata surya kita. Dalam hipotesis tubrukan besar, bulan terbentuk karena objek seukuran Mars yang bernama Theia menabrak bumi yang belum lama terbentuk. Bommmmm...Memuntahkan material ke orbit disekitar dan kemudian terkumpul membentuk bulan, satu-satunya satelit alami bumi."

"Lalu benda itu perlahan menjadi bentuk sempurnanya dan tergolong menjadi benda langit diferensiasi dalam ilmu keplanetan."

"Diferensiasi?" Potong Nana.

"Diferensiasi merupakan penyebutan untuk golongan objek yang memiliki ciri fisik padat pada bagian pusat dan sebaliknya cenderung kurang padat pada bagian permukaan. Bulan kaya akan besi yang padat di bagian inti dalam, dan fluida di bagian inti luar." Jelas bibi masih sambil mengunyah kue nastar.

"Hmm....Lalu seberapa besar ukuran bulan bi? Kenapa ia bahkan terlihat sama besarnya seperti matahari?" Nana bertanya lagi.

"Bulan merupakan satu-satunya satelit alami bumi yang mana diameternya sekitar 25% dari diameter bumi. Artinya kamu perlu memasukkan lebih dari 400 bulan menjadi satu dalam sebuah kotak kardus raksasa agar ukuran bisa setara dengan matahari. Ukuran bulan mungkin tergolong kecil dari pada objek lain diluar angkasa, namun jarak mempengaruhi pandangan mata sayang." Jawab bibi.

"Maksudnya karena jarak bulan yang tidak terlalu jauh membuat ia tampak jelas dan besar yah bi?" Nana mulai paham.

"Betul sayang, semakin dekat jarak sebuah objek dari mata kita, artinya semakin besar penampakannya."

"Perlu kamu ketahui bahwa jarak bumi ke bulan sekitar 384.400 km, atau setara dengan 12 kali bolak balik dari Jakarta ke kota New York. Berbeda dengan jarak matahari yang cukup jauh hingga 150 juta km, bulan yang ukuran hanya seperempat dari ukuran bumi pun tampak terlihat besar sama seperti matahari karena faktor jaraknya yang cukup dekat." Lanjut bibi menjelaskan.

"Hmmm...Kata bibi tadi bulan terbentuk karena tubrukan antara bumi dengan objek lain bernama Theia. Lalu kenapa di bulan tidak ada kehidupan? Tidak ada kah sedikitpun warisan bumi yang tertinggal di sana? Telur kupu-kupu purba misalnya? Padahal kan posisi bulan dekat dengan kita, bumi. Bukankah kita berada di zona layak huni bi?" Nana mulai bertanya lagi.

"Haha, pertanyaan yang bagus sayang."

"Kamu tahu apa itu syarat pertama bagi kehidupan?" Bibi bertanya.

"Bernafas?" Nana mencoba menjawab.

"Betul! Karena di bulan tidak ada oksigen, maka mustahil akan ada telur kupu-kupu yang bisa menetas sayang." Ungkap bibi.

"Oke, lalu kenapa bulan tidak punya oksigen? Sedangkan bumi punya?" Nana semakin serius dengan pertanyaannya.

"Gravitasi sayang. Jawabannya gravitasi."

"Gravitasi di bulan sangatlah minim. Sehingga permukaan bulan tidak mengikat banyak atmosfer atau udara. Sekalinya atmosfer ada, kandungannya bukan seperti atmosfer bumi yang dipenuhi oleh oksigen. Atmosfer di bulan diisi oleh kalium dan natrium. Tidak ada kupu-kupu yang bernafas dengan natrium." Bibi menjelaskan lagi.

"Jadi kalau di bulan tidak bisa dihuni, apakah ada manfaat lain selain ia memancarkan cahaya terang dimalam hari?" Nana beralih ke pertanyaan lain.

"Ada banyak sayang. Tanpa ada bulan, mungkin kehidupan di bumi akan jauh berbeda dengan yang tengah kita lihat saat ini." Jawab bibi Meng.

"Akan tampak seperti apa bi?" Nana semakin penasaran.

"Dengar! Yang pertama, bulan mempengaruhi pasang surut air laut. Tanpa adanya bulan, gelombang laut akan berkurang hingga 60%. Bagi para nelayan dan juga mereka yang menyukai permainan papan selancar, ini berita yang tidak menyenangkan sayang."

"Yang kedua, tanpa adanya gravitasi bulan, bumi akan berotasi jauh lebih cepat dari biasanya. Kemungkinan waktu dalam satu hari hanya akan berlangsung selama 8 jam saja. Kamu pasti protes dan bingung bagaimana cara membagi waktu antara sekolah, belajar, bermain dan tidur nyenyak."

"Dan yang ketiga, bumi akan kehilangan salah satu pelindung alami dari tabrakan benda-benda luar angkasa. Perlu kamu ketahui bahwa tanpa ada bulan, bumi akan semakin terbuka dan gravitasinya lebih bebas menarik benda-benda kecil seperti asteroid untuk menabrak bumi. Jika tidak ada bulan, ada kemungkinan juga kalau Merkurius, atau yang sering kita kenal sebagai si bintang fajar itu akan keluar dari jalur orbitnya, lalu ia bisa saja menabrak Venus dan menyebabkan kekacauan di tata surya kita." Ujar bibi menjelaskan begitu panjangnya.

"Wah, sangat tidak nyaman rasanya jika tidak ada bulan bi." Nana membayangkan semua yang dikatakan bibinya barusan.

"Betul sayang, bukankah dulu kamu sendiri pernah berkata bahwa segala sesuatu di alam semesta ini sudah tertakar?" Lanjut bibi bertanya.

"Iya bi. Semakin aku banyak tahu, semakin sadar bahwa ternyata segala sesuatu di dunia ini memang mungkin sudah digariskan dan diatur. Sedikit saja ada sesuatu kecil yang berubah, maka akan berpengaruh banyak pada sesuatu lain yang jauh lebih besar." Ujar Nana sambil mengelus lembut kepala Moli yang sudah lama terlelap dipelukannya.

"Major e loginquo reverentia." Ucap bibi dengan nada lirih masih dengan posisi duduk sembari memandang indahnya gemerlap langit malam itu.