Nana merapikan meja belajarnya, ia tampak habis belajar menggambar malam ini, lalu ia mulai bergerak ke arah jendela kamar dan berniat untuk menutup gorden jendela kaca itu. Namun alangkah terkejutnya ia melihat cahaya bersinar terang di langit tak jauh dari atap rumahnya. Ia terkagum melihat puluhan kembang api dinyalakan secara bersamaan di pusat kota kecil yang mungkin berjarak setengah jam dari kamarnya. Rumah yang Nana tinggali bersama nenek memang terletak disebuah bukit yang cukup untuk dapat memandang hampir seluruh isi kota kecil itu saat malam hari.
Nana membuka jendelanya, mengambil kursi dan botol air minumnya. Ada hal yang hampir ia lupakan malam ini, ya..Ini adalah malam pergantian tahun. Orang-orang berkumpul disebuah lapangan untuk merayakan dan menyalakan kembang api, tak sedikit dari mereka mengatakan ucapan "Happy New Year", lalu berdoa dan membuat resolusi untuk tahun berikutnya. Hal seperti itu mungkin terdengar sangat menyenangkan.
Nana ingat akan tahun lalu bagaimana ia bersama nenek merayakan malam pergantian tahun di rumah paman Sam. Ada bibi juga disana, mereka membakar jagung dan daging kelinci, lalu menyantap semangkuk es cream buatan bibi. Tapi tak banyak kembang api terlihat dari rumah paman Sam, mungkin karena paman tinggal di dekat danau yang cukup sepi dan juga secara geografis itu adalah dataran yang cukup rendah.
Malam itu Nana juga hampir lupa kalau ia juga sedang merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh, itu artinya kini Nana sudah masuk sekolah dasar dan sudah tak terhitung berapa kali ia telah memotong rambut dan kukunya. Tiba-tiba nenek mengetuk pintu kamar, Nana segera beranjak membuka pintu.
"Belum tidur kamu?" Tanya sang nenek.
"Belum, aku sedang sibuk melihat kembang api malam ini. Awalnya kuhitung ada beberapa ledakan yang bersinar terang, namun semakin lama jumlah mereka begitu banyak sehingga aku tak bisa melanjutkan hitungannku dengan akurat." Jawab Nana dengan senyum kepada neneknya.
"Selamat Ulang Tahun cucu ku."
"Ada sesuatu untuk mu, nenek tadi hampir lupa menyimpannya dimana selama tujuh tahun terakhir." Ujar sang nenek sambil mencubit tipis pipi mungil cucunya.
"Wah, apa itu nek?" Tanya Nana penasaran.
Kemudian sang nenek mengeluarkan sebuah kotak kecil dan membukanya dihadapan Nana.
"Ini adalah salah satu peninggalan ibu mu yang masih tersimpan."
Nenek menyodorkan sebuah kalung perak dengan liontin berbentuk bintang yang indah.
Nana sangat senang mendapatkan hadiah ulang tahunnya, terlebih itu adalah barang berharga peninggalan ibu kandungnya. Ia pun segera mengikatkan kalung tersebut dilehernya, lalu berjalan kembali kedepan jendela kamar, memandang langit yang bertaburan bintang.
"Apa bintang itu juga sama seperti kembang api tadi nek?" Tiba-tiba Nana bertanya pada neneknya.
"Bintang adalah benda luar angkasa yang bercahaya, ia mampu melahirkan cahayanya sendiri dan mempertahankan cahayanya hingga miliaran tahun, hampir sama dengan kembang api yang harus dinyalakan oleh manusia itu, ia meledak dengan sinar indah lalu lenyap. Pun bintang juga begitu, setelah miliaran tahun, bintang akan kehabisan energi, lalu mati ditelan gravitasinya sendiri, ukurannya akan mengecil namun massanya akan semakin padat, dan tak lama kemudian supernova pun terjadi." Jawab sang nenek.
"Jika kembang api diciptakan oleh manusia, lalu siapa yang menciptakan bintang-bintang itu nek?" Tanya Nana lagi.
Sang nenek sedikit kaget dengan pertanyaan yang diajukan oleh cucunya, namun bisa berbincang dengan cucu kesayangannya adalah sebuah anugerah baginya mengingat umurnya yang sudah tidak muda lagi.
"Alam semesta ini begitu luas, bintang-bintang yang begitu banyak itu hanyalah debu kecil yang melayang diantara ribuan galaksi. Pun sama seperti kita sebagai manusia, kita adalah debu dari para debu.
"Mempertanyakan siapa yang menciptakan bintang pada akhirnya tak lebih seperti mempertanyakan lebih dulu telur atau ayam. Sebuah pertanyaan anak-anak yang memang tidak untuk dijawab. Menjawabnya hanya membuat pertanyaanya jadi bergeser dan terus bergeser tanpa berujung.
"Itulah alasan kenapa manusia tertarik pada hal-hal yang bersifat teologi. Disinilah kita tau bahwa makna siapa itu Tuhan jauh lebih jelas dan terang." Ujar sang nenek menasihati cucunya.
"Berarti Tuhan itu memang benar ada ya nek?" Tanya Nana lagi.
"Betul cucuku. Karena pertanyaannya tidak terjawab dan terus bergeser, maka Tuhan itu memang ada." Jawab sang nenek.
"Berarti jika Tuhan ada, maka yang menciptakan bintang itu adalah Tuhan? Sama seperti Tuhan menciptakan bayi ulat dari telur kupu-kupu nek? " Nana terus bertanya lagi dan lagi.
"Betul Nana sayang. Semesta dan seluruh isinya ini Tuhan lah yang menciptakannya." Jawab nenek sambil tersenyum menatap cucu nya yang sangat penasaran itu.
"Jika segalanya berasal dari Tuhan, maka Tuhan sendiri berasal dari mana nek? Apa ada sesuatu lain yang lebih besar dari Tuhan? Apa Tuhan juga menciptakan dirinya sendiri?" Tanya Nana lagi, kali ini ia lebih serius dengan pertanyaannya.
"Cucu ku yang manis, segala pertanyaanmu itu hanya berlaku untuk isi kepalamu. Kita ini hidup disebuah semesta yang menganut konsep hukum sebab akibat. Alam semesta tersusun atas satuan ruang atau dimensi, waktu, jarak serta kecepatan. Segala sesuatu yang terikat dengan hukum sebab akibat itu harus tunduk dengan susunan satuan tersebut.
"Lalu jika hukum sebab akibat itu terus dirunutkan dengan segala angka dan logika, maka hanya akan menghasilkan sesuatu yang tak berujung, sesuatu yang terus berputar, seperti metamorfosis kupu-kupu yang sempat kau tanyakan dua tahun yang lalu.
"Jika kita telah membuat pernyataan meyakini bahwa Tuhan lah yang menciptakan segala sesuatu, maka mempertanyakan siapa yang menciptakan Tuhan justru menjadi pertanyaan yang bertolak dengan pernyatan itu sendiri. Hukum sebab akibat tidak berlaku untuk Tuhan.
"Baiklah, jika kamu masih memaksa untuk memasukan Tuhan dalam hukum sebab akibat, tak apa. Anak-anak yang penasaran memang gemar memaksakan sesuatu. Begini cucu ku, setiap akibat pasti ada sebab, sama halnya seperti ada awal pasti ada akhir. Jika Tuhan adalah awal dari segala sesuatu, maka kita tidak perlu lagi mempertanyakan sebelum dari awal dari segala sesuatu tersebut. Pun jika Tuhan adalah akhir dari segala sesuatu, kita juga tidak perlu lagi mempertanyakan apa selanjutnya dari akhir dari segala sesuatu tersebut. Hukum sebab akibat terputus disini."
Begitu panjang dan lebarnya nenek mencoba menjelaskan hal tersebut kepada cucu kesayangannya.
Nana pun terdiam dan mungkin sedang berfikir mengenai penjelasan neneknya yang hampir tak berkoma tersebut. Diumur yang baru menginjak tujuh tahun, tampaknya Nana masih banyak menyimpan rasa penasaran akan hal-hal yang jarang untuk terpikirkan oleh anak seumurannya. Lalu tiba-tiba ia tersenyum dan berkata:
"Aku berterima kasih pada Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu di semesta ini."
Ucapan terima kasih adalah bentuk dari rasa syukur, pemutus dari rasa ketidakpuasan dan ketidakterhinggaan.