Melati dan Samudera duduk berhadapan dengan Aisyah di sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari Klinik tempat Aisyah memeriksakan kandungannya.
Aisyah dan Sam saling menatap dalam diam, membuat Melati merasa seperti orang luar yang seharusnya tidak berada di sana.
"Kamu mengandung anak Bara? Karena itu kamu pergi? Tapi kenapa? Kalau benar itu anaknya, kamu harus memberitahu Bara tentang kandunganmu!"
Aisyah tersenyum sinis, dia menatap nyalang ke arah Samudera.
"Ini bukan urusan Abang!"
Kembali, mereka hanya bisa saling menatap dalam diam. Tidak ada yang bisa Melati lakukan, ia hanya orang luar, jadi ia hanya duduk diam di samping Samudera.
Samudera menyeruput kopi di hadapannya dan menghela napas berat. Pikirannya benar-benar kacau sekarang.
"Jadi, kamu ingin membesarkan dia seorang diri? Kamu yakin? Syah, jangan gegabah, pikirkan masa depan kalian!"
"Aku yakin. Aku akan membesarkan anak ini seorang diri!" ucap Aisyah tanpa ragu.
"Kamu tahu betapa beratnya hidup tanpa seorang ayah? Hum? Kamu tahu bagaimana rasanya? Kalau engga, abang akan memberitahu kamu bagaimana kami hidup tanpa sosok ayah dulu!"
Melati tercengang melihat Samudera yang begitu emosional. Pria itu menatap tajam ke arah Aisyah.
"Aku bisa menjadi ibu sekaligus ayah untuk anakku!"
"Aisyah jangang konyol! Kamu pikir itu sama?" ketus Samudera.
"Mungkin dia akan terluka, tapi ada aku. Aku akan melakukan apa pun untuk mengobatinya. Aku akan membahagiakannya semampuku!" Mata Aisyah memerah, tubuhnya bergetar, ia mengucapkan kata demi kata dengan penuh penekanan.
Ia mungkin merasa pilihan itu adalah yang terbaik untuk mereka.
Melati bisa merasakan apa yang Aisyah rasakan. Ia bisa melakukan apa pun untuk anaknya.
"Aisyah, dengerin abang, anak itu butuh kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya. Dia butuh sosok ayah untuk menjadi pelindungnya, panutannya, pendukungnya. Ada hal yang hanya bisa di dapat dari sosok ayah, Syah. Meski dia memiliki ibu yang hebat seperti kamu, dia tetap membutuhkan seorang ayah!"
Aisyah terdiam. Begitu juga dengan Melati. Melati tahu Sam, juga adik-adiknya adalah anak panti, tentu Samudera lebih tahu rasanya tumbuh besar tanpa sosok ayah dibandingkan orang lain.
"Membiarkan anak itu hidup tanpa sosok ayah, hanya akan membuatnya terluka. Apa kamu yakin bisa menyembuhkan luka itu?"
Aisyah menunduk, buliran air mata mulai mengalir dari mata sayunya. Dia terlihat sangat kacau.
"Abang benar, dia membutuhkan sosok ayah, tapi aku gak yakin ayahnya akan menerima anak ini... pada akhirnya, aku akan tetap membesarkan anak ini seorang diri. Jadi kumohon, rahasiakan ini dari Bara. Dan aku mohon, jangan lagi menemuiku!"
Samudera menggeleng lemah. Bukan ini yang ia harapkan. Kenap begitu sulit meyakinkan Aisyah?
"Kamu ingin anakmu menderita karena tumbuh tanpa seorang ayah?!" Samudera terlihat sangat marah.
"Apa? Apa yang bisa kulakukan? Aku tentu ingin anak ini bahagia. Tapi Bang, ayahnya gak akan menerima anak ini. Dia mungkin akan memaksaku menggugurkan kandungan ini!" Aisyah mulai terisak pelan. Ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada Sam, dia hanya ingin hidup tenang bersama anaknya kelak.
"Abang akan bicara sama dia, abang akan minta dia menikahi kamu! Dia harus bertanggung jawab!"
"Abang gila? Gimana kalau dia menolaknya? Aku akan semakin hancur!" sentak Aisyah.
"Kalau dia gak mau nikahin kamu, abang yang akan menikahi kamu! Abang gak akan membiarkan anak itu menderita!"
Oh Tuhan.
Samudera.
Lutut Melati terasa lemas begitu saja. Ia menoleh ke arah Samudera dan menatap pria di sampingnya itu dalam diam.
Bagaimana dengannya?
Bagaimana bisa Samudera mengatakan itu saat dirinya tepat berada disamping pria itu?
Napas Melati tercekat, dan tepat di dadanya ada rasa nyeri yang tidak bisa ia jelaskan. Sam mau menikahi siapa? Untuk apa?
***
Dapur sudah kembali rapi saat Bara masuk ke dalam, mereka juga sudah mengganti mejanya.
"Lo laper Bang? Mau gue buatin ramen? Chef Yuni cuti hari ini, calon suaminya lagi gaenak badan, jadi yaudah, gue suruh jagain aja. Kasian!" dusta Elang. Sesungguhnya, ia telah meliburkan semua pekerja hari ini. Chef, para pembantu, dan bahkan tukang kebun. Ia hanya berjaga-jaga, siapa tahu emosi Bara belum juga mereda.
Bara melangkah melewati Elang. Ia duduk dengan tenang menunggu Elang yang langsung mengambil beberapa ramen instan di laci, dan mulai merebus air.
"I'm sorry, Lang. Gue gak bermaksut ngelukain lo! Lo juga sih, brengsek bener jadi orang!"
Elang langsung tertawa begitu kerasnya.
"Abisnya godaan itu coklat susah ditolak, Bang!"
"Brengsek lo!" maki Bara.
"Yaudah sih Bang, santai aja." ucap Elang sambil membolak-balik ramen instan di tangannya.
"Sakit gak?"
"Gue ini laki, Bang! Luka kek gini doang mah gak ada rasanya. Pukulan lo melemah, Bang!" Elang sesumbar.
Bara menatap sinis ke arah si bungsu, ia lalu berjalan pelan menghampiri adiknya itu.
'ARGH' pekik Elang saat Bara menyentuh pipinya yang lebam dengan jari telunjuknya.
'Dan dia bilang luka seperti itu gak terasa? Pembual!'
"Sakit!" sentak Elang.
Kini giliran Bara yang tertawa keras dibuatnya.
Bara kembali duduk di kursi dan memperhatikan Elang yang mulai memasak sambil mengomel.
"Mau tambahan apa? Daging? Sosis? Telur?" tanya Elang dengan ketus.
"Telur aja, kasih tiga!"
"Tiga telur? Okay!"
Meski tidak sejago Samudera, Elang cukup pintar memasak. Walau terkadang rasanya lain, tapi tetap saja enak.
"Kenapa sepi? Dimana yang lain?"
"Bang Sam sama Melati pergi ke Lombok!"
Lombok?
"Melati nangis karena merasa bersalah, jadi mereka pergi ke sana buat nyari ganti coklat lo yang kita makan!"
Astaga gadis itu. Bara bertopang dagu menatap keranjang buah di atas meja. Bara tahu, Melati tidak ikut andil dalam kasus pencurian harta karun miliknya. Biang kerok yang sesungguhnya tepat berada di hadapannya.
Beruntung Elang adalah adik kesayangannya, jika tidak, entah seperti apa rupa pria itu setelah membuka mata.
"Bang," panggil Elang.
"Apa?"
"Lo itu suka apa gimana sih sama Aisyah? Dia kan udah ninggalin elu, bahkan dia udah memanfaatkan kebaikan lo, Bang!"
Bara tersenyum tipis. Ia tahu benar bahwa gadis itu tidak memanfaatkan dirinya. Aisyah bukan tipe orang yang seperti itu. Tentang coklat, Bara yakin Aisyah memiliki alasan. Dan juga, Bara pasti telah membuat kesalahan besar hingga Aisyah pergi.
"Gak usah kepo lo! Laki kok banyak bacot!" ketus Bara.
Elang mendengkus kesal ke arah Bara, dengan penuh emosi ia merobek bungkus ramen instan di tangannya.
"Yang ikhlas kalo masak! Siapa suruh ngizinin Chef Yuni cuti!" sindir Bara.
Elang menghela napas berat. Ia sungguh menyesal telah meliburkan Chef Yuni. Toh emosi Bara sudah mereda.
"Gue suruh Chef Yuni aja kali ya, Bang?"
"Janganlah bego! Kata lo calon lakinya lagi sakit, kasihan nanti gak dapet belaian!"