Bara membelai lembut pucuk kepala Melati saat gadis itu terlelap dalam tidurnya. Berawal dari simpati, menjadi empati, dan kini terpati. Bara tersenyum mengingat bagaimana biasanya dia dan Melati bertengkar, bagaimana biasanya dia merasa kesal hanya dengan melihat wajah gadis itu, tapi sekarang, dalam waktu sesingkat ini, gadis itu mampu membuatnya tergila-gila.
Bara begitu memuja senyum gadis itu, memuja kepolosannya, memuja kelembutannya, dan memuja sikap bodoh gadis itu. Aneh tapi nyata.
Darah Bara mulai berdesir ketika matanya tanpa sengaja melihat ke arah bibir Melati. Dia bisa saja merengkuh tubuh gadis itu dan melumat bibir ranum itu sesuka hatinya. Tapi entah kenapa, Bara mulai berhati-hati, dia bertekad untuk tidak menyentuh gadis itu tanpa permisi. Bara ingin membuktikan pada Melati bahwa dia sangat menghargai dan menyayangi gadis itu. Sama seperti Kei dulu.
"Ra," serak suara Melati membuat Bara langsung salah tingkah seketika.
"Apa?" jawabnya dengan jantung berdegub kencang.
"Aku rindu nenek." lirih Melati tanpa membuka matanya.
Bara tersenyum dan berhenti membelai puncak kepala Melati, tangannya beralih turun membelai lembut pipi Melati.
"Kita bisa ke sana besok!" bisik Bara.
Melati membuka matanya perlahan, ditatapnya lekat-lekat wajah Bara yang berjarak hanya beberapa centi di depan wajahnya.
"Tapi kan besok jadwalku dengan Elang, bagaimana?" tanya Melati ragu.
Bara menggeleng pelan.
"Gampang, sogok pake maenan baru juga dia langsung oke-oke aja!"
Melati merengut bingung. Menyogok Elang dengan mainan? Berapa umur Elang?
"Lo gak mikir mainan buat anak-anak gitu kan Mel?" sergah Bara.
Melati langsung meringis ke arah Bara.
"Bukan ya?"
"Bukan lah! Mainan Elang mahal!" Bara mencubit gemas pipi Melati.
Melati langsung menggelitik pinggang Bara agar pria itu segera melepaskan cubitannya dari pipi Melati.
"Kamu tahu? Meski kamu sangat menyebalkan, tapi kamu satu-satunya orang yang tahu tentang keluargaku. Aku lega karna itu kamu." Melati tersenyum manis.
Mendengar ucapan Melati, membuat hati Bara menghangat. Ia senang jika gadis itu merasa seperti itu. Hal terpenting dalam setiap hubungan adalah kenyamanan.
"Dah, tidur sana, atau mau gue tiduri?"
Buru-buru Melati menutup matanya rapat-rapat. Ternyata, meski sudah bersikap sedikit lebih lembut, Bara tetaplah Bara. Si mesum yang menyebalkan.
Bara tertawa renyah, lalu ia segera keluar dari kamar untuk berbicara dengan Elang.
***
Seperti sebelumnya, kakek dan nenek Melati menyambut kedatangan Bara dengan hangat, bahkan mereka memeluk Bara dengan gembira. Sungguh, itu sesuatu yang tidak akan pria itu dapatkan di Jakarta. Kehangatan keluarga.
Kakek Melati mengajak Bara pergi memancing di sungai. Dengan peralatan mancing seadanya, juga dua buah kursi lipat kecil, mereka pergi ke sungai yang tak jauh dari rumah Melati.
Pemandangan di sini sangat indah. Begitu bersih dan asri. Bara pikir, Elang pasti sangat heboh jika ia mengirimkan foto tempat ini padanya, dan tentu saja Bara tidak akan melakukan itu. Ia tidak akan membagi kehangatan keluarga Melati pada Elang.
"Apa kamu tahu cara memancing?" tanya kakek Melati begitu mereka selesai menata semua peralatan di tepian sungai dan duduk di kursi.
"Ini pertama kalinya saya memegang alat pancing." ucap Bara malu.
"Benarkah? Kalau begitu tenang saja, Nak. Kamu bertemu dengan orang yang tepat. Kakek sangat handal memegang alat pancing, kakek akan mengajarimu trik andalan kakek untuk mendapat banyak ikan!" Seru kakek Melati semangat.
Setelahnya, Kakek Melati benar-benar mengajari Bara cara memancing, mulai dari memilih alat yang tepat, umpan yang tepat, tempat ikan yang strategis, dan lainnya. Terbukti sehandal apa kakek Melati melihat ember yang mereka bawa penuh dengan ikan.
"Wah, asiiik kita bisa membakarnya nanti malam!" pekik Melati yang entah sejak kapan berada di belakang Bara.
Melati datang membawa keranjang makanan dan minuman.
"Tangan Nak Bara sangat bagus, dia menangkap lebih banyak daripada kakek!" sahut Kakek dengan bangganya.
Ah, tentu saja. Itu patut di banggakan.
Melati meringis lebar lalu beralih duduk berjongkok melihat hasil tangkapan mereka.
"Kek, ada teman Kakek dari Jakarta datang, sepertinya penting. Nenek memintaku kemari." kata Melati pelan
"Oh? Begitukah? Baiklah, kakek pulang dulu, kalian teruskan saja memancingnya!"
Setelah merapikan diri, Kakek pergi meninggalkan sungai. Melati menggeser tempat duduk agar lebih merapat ke arah Bara.
"Wah, Ra! Kamu terlihat sangat sexy saat berkeringat seperti ini!" ucap Melati masih dengan cengiran lebarnya.
Bara mengerutkan keningnya, ia heran,
sebahagia itukah Melati melihatnya berkeringat dau bau amis seperti ini? Gadis aneh.
"Mau gue tunjukin abs-gue gak?" goda Bara.
"No, aku udah sering lihat di Jakarta. Kamu kan sering pamer perut saat berenang!"
"Ohooo Melatiii, jadi diam-diam lo merhatiin perut gue? Ah, ternyata lo gak sepolos itu ya." goda Bara.
Pipi Melati bersemu merah, ia langsung mengalihkan perhatiannya dari Bara.
"Ih, salah kamu sendiri selalu manggil aku nyuruh ini-itu waktu berenang! Kan jadinya aku lihat!"
Bara tertawa keras. Ya, ia memang suka berenang, tidak ada maksut ingin pamer atau apa. Lagipula, meski ia telanjang di depan Melati, gadis itu tetap tidak akan tertarik padanya, karena ia menyukai Sam.
"Mel,"
"Apa?"
"Leher gue sakit." adu Bara.
Melati terkekeh pelan lalu mendekat ke arah Bara. Ia tahu, Bara tidak tidur dengan posisi nyaman, ia juga menyetir sendiri ke rumah neneknya. Dan pria itu tidak melakukan peregangan sebelum memulai aktivitasnya. Tentu badannya akan terasa sangat kaku.
Tangan Melati terulur ke belakang leher Bara, ia melakukan pijatan ringan di sana.
Bara terdiam saat merasakan tangan Melati di lehernya. Ia terkejut sekaligus tersentuh, belum pernah ada yang melakukan ini padanya. Ia bahkan tidak pernah pergi ke spa untuk pijat.
Biasanya jika merasa badannya sakit, ia akan duduk berjam-jam di kursi pijat sambil mendengarkan musik klasik.
"Aku akan menempelkan koyo di sini setelah kita sampai rumah!" ucap Melati pelan.
Tangannya masih sibuk menjelajahi leher Bara dengan tekanan-tekanan ringan yang teratur.
"Koyo?"
"Jangan bilang, kamu gak tahu koyo itu apa!" sergah Melati.
"Kagak, emang koyo apaan?"
Melati menghentikan kegiatan pijit-memijitnya dan menatap Bara lekat-lekat.
"Bener juga ya, kamu kan orang kaya, gak mungkin tau koyo! Koyo itu, sejenis kertas yang ditempelin ke badan yang kerasa pegel buat ngilangin nyeri, ngilangin pegel, dan sejenisnya. Obat luar gitu, Ra!"
Bara tertawa keras mendengar penjelasan Melati.
Iya, dia tahu sekarang, dulu ibu panti sering memakai sesuatu seperti itu di kening dan lehernya. Dulu, Bara kira, itu adalah sejenis stiker yang menandakan bahwa pemakainya sudah tua.
"Kok kamu ketawa?"
"Biarin lah, suka-suka gue, yang ketawa gue ini, usil banget lo jadi orang!"
"Ih, kamu kok ngatain aku, Ra?"
"Lagian lo, usil banget, harus banget gitu orang ketawa ada sebabnya! Kagak kan? Gue ketawa ya karena gue pengen ketawa!"
Mendengar ucapan Bara, Melati langsung merengut, ia mendekat ke arah Bara dan menggelitik perut pria itu hingga Bara kegelian dan tertawa keras. Semakin pria itu meminta Melati berhenti, semakin pula Melati bersemangat menggelitik pria itu.
Bara kehilangan keseimbangan dan terjungkal dari kursi bersama Melati yang ikut jatuh kepelukannya.
Melati langsung membeku, ia terlalu gugup untuk bergerak sejengkal pun meninggalkan tubuh Bara.
Dan Bara hanya tersenyum tipis melihat Melati yang langsung salah tingkah karena terjatuh di pelukannya.
"Lagak lo malu-malu gitu, Mel. Padahal mah kita udah pernah lebih dari ini ya kan?"
Melati melongo mendengar ucapan Bara, ia berusaha bangun dan menjauh, namun Bara merengkuhnya kembali.
"Lo lupa pernah melumat bibir gue yang sexy ini hum?" goda Bara.
"Aku..."