"Sam, pergi aja, aku bisa pulang!" ucap Melati pelan.
Sekretaris Sam baru saja datang memberitahu Sam bahwa klien mereka tiba-tiba memajukan jadwal meeting.
Melati sudah meminta Sam untuk cepat pergi, namun agaknya pria itu enggan meninggalkan Melati.
Sam menghela napas berat, ia menghampiri Melati dan duduk di sebelah gadis itu.
Melati tidak tahu jika Sam bisa semenggemaskan ini. Berkali-kali pria itu menghela napas, menggerutu dan bahkan mempoutkan bibirnya dengan kesal. Lucu sekali.
"Jangan pulang! Ikut aku! Kamu bisa menunggu di restoran atau berjalan-jalan selagi aku meeting. Setelah itu kita bisa pergi ke tempat yang ku janjikan!"
"Em, baiklah "
***
Melati memutuskan untuk jalan-jalan di mall yang tak jauh dari tempat Samudera meeting. Ini tempat yang bagus. Ada banyak sekali barang bagus dan makanan enak. Melati tengah menimbang, haruskah ia membeli sesuatu? Ah tidak. Barang-barang di sini pasti mahal.
Gadis itu berpikir, dari pada ia membuang uang, lebih baik ia kirimkan semua yang ia punya pada kakek dan neneknya di desa.
Oh? Es krim.
Kaki Melati bergerak otomatis masuk ke dalam kafe yang menjual berbagai macam es krim. Ia memesan beberapa dan duduk dengan manis menikmati kelembutan dan manisnya es di tangannya.
Jika Bagaskara bersaudara tahu ia makan es krim, mereka akan mengamuk dan mulai berceramah tentang makanan apa yang boleh dan tidak boleh ia makan. Serius, mereka bahkan meminta Melati untuk diet sebelumnya.
Melati harus membentuk dan merawat tubuhnya agar terlihat sexy. Begitu kalimat yang selalu mereka tekankan. Sexy!
Sudahlah.
Hmm ini enak.
'Kakak antar pulang ya.'
Tunggu.
Suara itu...
Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali Melati mendengar suara itu.
'Bukanya Kakak ada pertemuan setelah ini? Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri. Kakak jangan sampai kelelahan.'
'No! Kakak anterin kamu pulang!'
Itu Jeri. Melati sangat yakin bahwa suara yang ia dengar barusan adalah milik Jeri.
Melati langsung berdiri lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe.
Ia meninggalkan es krimnya di meja kemudian berlari dengan tergesa saat melihat sekelebatan pria yang tak asing baginya itu tengah melangkahkan kakinya keluar dari kafe.
Melati mengikutinya.
Ia terdiam memandang punggung Jeri yang terus berjalan menjauh. Ah! Juga tangannya yang tengah memeluk posesive pinggang gadis di sampingnya.
'Mereka berkencan? Apa itu berarti hubungan kami memang sudah benar benar berakhir?' batin Melati.
Sejujurnya, tidak ada yang pernah mengakhiri hubungan ini. Baik Melati maupun Jeri, tidak ada yang pernah mengatakan sesuatu tentang perpisahan. Hanya saja, tiba-tiba Jeri pergi. Dia pergi tanpa mengucapkan apa pun kepada Melati.
Jeri dan keluarganya meninggalkan desa. Melati terlalu kesal dan sedih untuk mencari tahu kemana mereka pergi, yang ia lakukan hanyalah menganggap semuanya berakhir dan menyimpan kenangan indah mereka dalam hati.
Tapi...
"Jeri!" panggil Melati.
Suaranya terdengar serak dan lemah sekarang.
Pria yang ia panggil itu menghentikan langkahnya, dengan perlahan ia membalikan badannya.
Kedua insan tersebut saling menatap dalam diam.
"Em, maaf, sepertinya kamu harus pulang sendiri saat ini. Kakak akan meneleponmu lagi nanti." Jeri menepuk lembut lengan gadis di sampingnya itu lalu kembali menatap Melati.
"Oh? Okay. Tapi Kakak berhutang penjelasan padaku!" jawab gadis di sebelahnya itu sambil melirik sinis ke arah Melati.
Jeri tersenyum, ia lalu mengusap lembut pucuk kepala gadis itu sebelum gadis itu beranjak pergi meninggalkan mereka.
"Hai, Mel." sapanya kaku.
Jeri melangkah pelan menghampiri Melati.
"Kamu di sini? Apa terjadi sesuatu?" tanyanya dengan santai.
"Kalau aku bilang, aku ke Jakarta untuk mencari kamu, apa kamu akan percaya?" sinis Melati.
"Ayolah, Mel! Jangan bercanda!"
Melati tersenyum. Meski entah terlihat seperti apa senyuman terpaksanya itu.
"Tapi, kalau kamu benar ke sini untuk mencariku, kita bisa mengobrol sebentar. Setelah itu aku akan mengantarmu kembali ke desa."
Dada Melati tiba-tiba menjadi sesak mendengar ucapan Jeri. Mengobrol sebentar? Tidakkah itu terlalu jahat?
Pria itu, dia pergi begitu saja, dan saat mereka bertemu, dia hanya memberi waktu sebentar untuk mengobrol?
"Kalau kamu berniat mengakhiri hubungan kita dan pergi, harusnya kamu nemuin aku dan mengucapkan selamat tinggal, brengsek!"
Ini kali pertama Melati mengumpat kasar pada Jeri. Dia layak mendapat julukan brengsek, iya kan?
Jeri menatap Melati begitu datar.
"Setelah aku pergi, apa yang kamu lakukan? Kamu tidak menungguku seperti orang bodoh kan? Saat aku pergi, itu berarti hubungan kita berakhir. Harusnya kamu mencari penggantiku dan melanjutkan hidupmu dengan bahagia!" ucap Jeri dengan begitu datar.
Melati tersenyum tipis.
'Kenapa setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar begitu jahat sekarang? Harusnya dia merasa bersalah dan minta maaf, atau jika tidak, harusnya dia memberiku alasan yang cukup masuk akal agar aku tidak terluka.'
"Setelah kamu pergi, aku punya pacar dan menjalani hidupku dengan baik. Hanya saja, ini begitu membebaniku. Aku terus saja bertanya tanya apakah aku membuat sebuah kesalahan hingga tiba-tiba kamu pergi meninggalkanku! Jika kau bosan, katakan saja! Jangan membuatku terbebani seperti ini!" ucap Melati penuh penekanan di setiap katanya.
Ia terpaksa berbohong agar tidak terlihat menyedihkan di depan Jeri. Ia sudah dicampakan. Ia tidak ingin memperburuk segalanya dengan terlihat menyedihkan.
Tangan Jeri terulur dan mengusap lembut pucuk kepala Melati.
"Kamu gak membuat kesalahan apa pun. Kamu gadis baik, aku beruntung pernah menjadi pria yang kamu cintai!"
"Jadi? Kenapa kamu pergi?"
"Karena kamu terlalu baik!"
"Apa?" pekik Melati tak percaya.
Apa Jeri sedang mempermainkannya? Pria itu mencampakannya karena ia terlalu baik?
"Mel, kami sekeluarga pindah ke Jakarta. Kalau aku mengatakan ini, kamu pasti hanya akan tersenyum dan bilang bahwa kamu akan menungguku! Aku gak mau kamu menungguku! Di sini, aku akan bertemu orang-orang baru. Teman, gadis, dan keluarga baru. Aku gak yakin apa aku bisa terus mencintai kamu sementara kita begitu jauh!"
Dada Melati semakin terasa sesak dan panas. Sekarang ia tahu bagaimana rasanya dicampakan seseorang.
'Oh. Tentu saja. Dia cukup tampan! Dia akan bertemu banyak gadis cantik di sini. Lalu aku? Siapalah aku! Gadis desa yang gak berpendidikan dan gak bisa dandan. Aku gak akan mampu memantaskan diriku untuknya! Pilihan yang bagus, Jeri! Pergi kalau memang itu yang terbaik untuk kamu.'
"Mel, aku cari kamu kemana-mana!"
Sebuah tangan terulur meraih pinggang Melati dan merangkulnya.
Samudera.
Entah mengapa Melati begitu lega melihat Samudera di sini. Ia ingin segera pergi dari hadapan Jeri jika saja kakinya tidak lemas seperti ini.
"Maaf Sam, aku bertemu teman lama dan kami mengobrol sebentar."
Sam tersenyum dan beralih menatap Jeri.
"Jer? Apa kabar lo?"
Apa kabar? Sam mengenal Jeri?
"Baik. Lo sendiri gimana? Semuanya baik?" balas Jeri dengan pandangan mata yang tak pernah lepas tangan Sam yang melingkar di pinggang Melati.
"Iyalah, gue harus selalu baik. Iya kan?" sahut Sam.
"Ya. Gimana kabar Bara?"
Melati melongo, Jeri kenal Bara juga?
"Kacau, seperti biasa!"
Jeri tertawa dan mengiyakan ucapan Samudera.
"Jadi, kalian pacaran?" Jeri menatap Melati dan Sam bergantian.
"Ya!" jawab Sam singkat.
Ucapan Sam sukses membuat Melati dan Jeri membeku di tempat. Mereka bertukar pandangan sejenak sebelum akhirnya kembali menatap Samudera.
"Hum, ya. Itu bagus. Melati gadis baik dan lo pria baik. Kalian cocok." ucap Jeri pelan
"Kalian teman lama?" tanya Sam karena merasa ada hal yang janggal.
"Dia berasal dari desa yang sama denganku. Kami berteman cukup lama." Melati menyela sebelum Jeri membuka suara.
Jeri tersenyum miris, ia menatap Melati dengan tatapan yang entah apa artinya. Namun, setelahnya dia tersenyum hangat.
"Kami cukup dekat. Jadi pastiin lo gak nyakitin dia, Sam! Atau gue akan balas lo nanti!" Jeri meninju pelan lengan Samudera.
"Ya, lo bisa cari gue kalo terjadi sesuatu sama Melati!"
Situasi macam apa ini? Tidak ada satu pun diantara mereka bertiga yang bicara dengan jujur.
"Oke, kalau gitu, gue cabut ya, ada beberapa hal yang harus gue urus!"
"Oke."
Jeri tersenyum sekali lagi sebelum akhirnya pergi.
'Pergilah. Pergi sejauh mungkin sebelum aku mengeluarkan semua makian dan kemarahanku padamu, Jeri!'