Bara terlihat kacau sepulangnya mereka dari acara pernikahan mantan kekasihnya itu. Melati hanya terdiam, ia tidak mengetahui banyak hal tentang cinta, tapi ia bisa merasakan bahwa Bara begitu mencintai Kei. Tatapan Bara pada gadis itu, membuat hati Melati ikut teriris.
Dibalik kata-kata kasar yang selalu pria itu lontarkan saat menyebut nama gadis itu, Melati tahu bahwa Bara tidak benar-benar membenci Kei. Dia mencintai Kei, dia hanya terluka karena Kei pergi.
"Istirahat sana, kayaknya lo lelah. Kaki lo udah semerah kepiting rebus!" Kata Bara lalu merebahkan dirinya di sofa. Sepertinya ia yang lelah, bukan Melati.
Melati menghela napas panjang, ia lalu duduk di sofa berseberangan dengan Bara.
Suasana terasa canggung diantara mereka, karena tidak tahu harus mengatakan apa, Melati hanya memperhatikan sebuah foto yang terpajang di dinding dengan pigura dari kayu yang diukir dengan indahnya.
"Ra, boleh aku bertanya?"
"Apapun selain tentang Kei!"
Melati mengangguk cepat.
"Samudera itu, orangnya seperti apa?"
Entah setan apa yang merasuki Melati sampai gadis itu berani bertanya mengenai majikannya itu. Ia tahu itu tidak sepantasnya ia tanyakan, hanya saja, ia merasa Bara enak diajak bicara, karena itu ia berani bertanya.
Bara membuka matanya dan melirik sekilas ke arah Melati.
"Dia sangat baik. Dia menjaga kami dengan sangat baik, meski kami bukanlah saudara kandung, dia menyayangi kami dengan tulus. Sikapnya lembut dan penuh perhatian. Gue gak pernah lihat melukai siapapun dan apapun." jawab Bara dengan santainya.
Bukan saudara kandung?
"Aku tidak ingin lancang dengan bertanya tentang hubungan kalian, tapi aku sungguh penasaran, Ra."
Bara tersenyum santai. Ia kembali memejamkan matanya.
"Kami semua itu anak angkat dari panti asuhan yang berbeda-beda. Bang Sam adalah yang pertama kali diangkat menjadi anak, lalu aku dan si bungsu Elang. Ayah gak pernah menceritakan apapun tentang masa lalunya, kami hanya tahu, bahwa ayah pernah menikah. Tapi, dimana istrinya pun gak ada seorangpun yang tahu."
"Gak ada satupun dari kami yang berani bertanya pada ayah. Tapi gue curiga, Bang Sam tahu sesuatu."
Rasa penasaran Melati langsung memuncak. Entah kenapa ia ingin tahu lebih banyak tentang keluarga Bagaskara.
"Hei Mel, ayo kita buat kesepakatan," kata Bara penuh dengan antusias.
Melati menggeleng pelan.
Bara itu Bagaskara juga, terakhir ia membuat kesepakatan dengan Bagaskara, ia berakhir menjadi pelayan. Entah apa yang akan diminta Bagaskara yang satu ini.
"Ayolah... kalau lo berhasil, gue janji, saat giliran gue nanti, gue akan memperbolehkan lo pulang ke rumah Nenek lo lagi, dan juga gue gak akan meminta lo buat melayani gue semimggu penuh, apapun alasannya. Bagaimana?"
Itu penawaran yang sangat bagus, Melati bisa pulang dan tidak akan melayani siapapun selama satu minggu.
"Setuju! Tapi, apa yang kamu inginkan, Ra?"
Bara menatap Melati dengan smirk andalannya. Smirk nakal yang selalu membuatnya was-was.
"Gue lihat, Bang Sam sedikit suka sama lo, saat bersama dia, cari tahu tentang masa lalu ayah! Gue yakin, kalau lo sedikit menggodanya, bermanja-manja atau apalah, dia akan menceritakan apapun yang yang lo mau dengar!"
'Sudah kuduga, harusnya aku menolak saja dari awal. Harusnya aku belajar dari pengalaman, bahwa membuat kesepakatan dengan Bagaskara, siapapun itu, pasti akan berujung dengan penyesalan.' batin Melati.
"Lo udah setuju tadi!" Bara menatap Melati tajam.
***
Melati menatap kamar Samudera yang kosong. Sepertinya pria itu masih bekerja.
'Bukannya jika jadi bos, kita bisa pulang kerja seenaknya ya? Kenapa Samudera terlihat sangat bekerja keras seperti itu?'
Melati membersihkan dirinya, ia mandi dengan air hangat dan busa melimpah. Menyenangkan, seolah seluruh rasa lelahnya hanyut bersama air.
Setelah melilitkan handuk di tubuhnya, Melati langsung keluar dari kamar dan menuju almari.
Ia tersenyum menatap beberapa setelan baju tidur panjang yang terlihat hangat, akan tetapi, ia kembali teringat dengan kesepakatannya dengan Bara.
Ia tahu ini memuakkan. Tapi tidak apa, toh ia bisa pulang menemui neneknya dan terbebas dari Bara selama seminggu penuh.
Melati menarik baju tidur sexy barunya dari tumpukan baju tidur itu. Gaun tipis yang Bara belikan saat belanja bersama tempo hari.
Huft.
'Rasanya seperti menjadi perempuan nakal, tapi, pekerjaan ini saja memang sudah nakal kan? Tidak ada bedanya, jadi sudahlah.'
***
Melati terbangun dari tidurnya, entah berapa lama ia terlelap, tenggorokannya terasa kering.
"Sam?" betapa kagetnya Melati saat menyadari kehadiran seseorang di sebelahnya.
Sam duduk di atas kasur, bersebelahan dengannya dengan laptop yang menyala dan segepok berkas yang entah apa isinya.
"Kamu terbangun? Apa aku mengusik tidurmu?" tanyanya lembut.
Samudera mengusap pucuk kepala Melati lembut.
"Tidak, aku bangun karena haus." setelah mengatakan itu, Melati langsung berdiri dan beranjak menuju nakas untuk mengambil minum.
Di sebelah gelas, ada sebuah jam walker kecil berwana pink. Sangat menggemaskan. Tapi, kenapa warnanya pink?
02.30 am?
"Kamu masih bekerja di jam segini? Ini sudah hampir pagi!"
Samudera hanya melirik Melati sekilas, tersenyum lalu kembali fokus pada laptop di hadapannya.
Hal itu membuat Melati merasa kesal. Di keluarganya, setelah jam sepuluh malam, tidak ada lagi yang boleh membuka mata. Mereka semua harus istirahat dan menanggalkan beban di atas kasur. Jadi, melihat Samudera bekerja sampai selarut ini, membuat Melati khawatir. Sam bisa sakit jika bergadang seperti itu.
"Samudera cukup, tutup laptop kamu sekarang dan pergi tidur! Lihat mata sayumu! Kamu harus istirahat!" ucap Melati kesal.
Samudera hanya tersenyum, dan lagi-lagi, ia kembali fokus pada laptopnya.
Ini tidak benar. Melati menghampiri Samudera lalu menutup laptop di hadapan pria itu, ia lalu menyimpannya di almari.
"Sam, tidur!"
Saat mengatakan itu, jantung Melati tiba-tiba berdebar kencang, rasanya sakit, tanpa sadar, ia melakukan apa yang biasa ibunya lakukan dulu. Ia tersenyum miring, kenapa ia bersikap seperti itu? Ia jadi teringat sosok itu. Melati sungguh merindukannya.
"Kamu baik-baik saja?" suara lembut Samudera membuat gemuruh di dada Melati berangsur tenang.
Melati lalu duduk di sebelah Sam dan menggeleng pelan.
"Tanpa sadar, aku melakukan apa yang biasa Ibuku lakukan. Mengingatnya membuat dadaku sesak."
"Kamu merindukan Ibumu?"
"Iya, sedikit." dusta Melati.
"Sudah, jangan dipikirkan. Ayo kita tidur."
Melati mengangguk pelan, mereka lalu kembali merebahkan diri di kasur. Sam merengkuh tubuh Melati, membawa gadis itu ke dekapannya. Kepala Melati bersandar pada dada bidang Sam.
Melati tersenyum tipis. Samudera itu harum, Melati menyukai aroma tubuh pria itu.
Tiba-tiba saja, Melati teringat kesepakatannya dengan Bara. Jadi ia tengah menimbang untuk melakukannya atau tidak.
"Oh iya, Sam, ada yang ingin kutanyakan." ujar Melati ragu.
Samudera menoleh menatap lurus manik mata Melati. Melihat gadis itu nampak ragu, Sam mengusap pelan pucuk kepala Melati.
"Mau tanya apa?"
"Ehm, itu..."