Meskipun telah berpisah dengan Sinta, Rama tidak pernah bisa tenang dan justru gelisah karena terlalu memikirkan Sinta.
Malam hari, Rama sedang melamun memikirkan Sinta.
"Rama, kau ini kenapa? Cepat makan, atau kalau tidak makanannya akan dingin," tegur Farah pada Rama saat makan malam. Rama memandang Farah.
"Baik ibu." Ia lalu memakan makanannya.
"Rama, ngomong-ngomong Sinta pergi ke mana?" tanya Boy.
"Dia pergi ke...ke...emmm---"
"Sudah jangan bahas itu lagi. Sinta pergi dari sini karena dia sudah tidak peduli pada Rama, jadi kenapa Rama harus peduli padanya?" potong Farah.
"Farah, jaga sikapmu. Sinta itu istrinya Rama, wajar kalau Rama peduli padanya," tegur Rangga.
"Jika Sinta memang mencintai Rama, lalu kenapa ia pergi meninggalkannya?" tanya Farah.
"Dia hanya mencintai harta Rama, dan tidak pernah peduli pada Rama. Karena jika ia peduli, ia tidak akan meninggalkan suaminya itu. Dia bukanlah istri atau menantu yang baik," lanjutnya. Semua terdiam.
Rama menunduk. Ia mengingat pertengkarannya dengan Sinta dulu dan sikap dinginnya pada Sinta karena kecemburuannya yang berlebihan.
_"Bukan Sinta yang tidak mencintaiku, tapi akulah yang tidak pernah peduli padanya hanya karena rasa cemburuku,"_ batin Rama.
Sementara itu, Sinta pergi ke Jambi dan menginap di rumah temannya, Aman.
Keesokan harinya, Sinta sedang memasak makanan di dapur. Aman datang menghampiri Sinta.
"Oh ya ampun, kau itu tidak pernah mau istirahat. Aku kan sudah bilang berulang kali, biar bibi Inah yang memasak. Lagipula aku ini kan tamu, harusnya aku yang melayanimu," jelas Aman. Sinta menggeleng.
"Tidak Aman, aku bosan jika hanya istirahat," bantah Sinta.
"Kau tahu? Kau itu gadis yang sangat cantik dan rajin, itu sebabnya ibuku menyukaimu. Bahkan ia berharap agar aku---"
"Agar apa?"
"Menikah denganmu," jawab Aman sambil menunduk. Sinta menggelengkan kepalanya.
Siang hari, Rama pulang dari kantor.
"Sinta, aku pun pulang. Tolong buatkan aku kopi," pintanya namun tidak ada jawaban atau respon. Farah menghampiri Rama.
"Rama, kau ini kenapa? Apa kau lupa kalau Sinta sudah pergi dari sini?" Rama menggeleng.
"Tidak, aku hanya kelelahan. Mungkin itu sebabnya aku lupa kalau Sinta sudah pergi dan menyebut namanya secara tidak sengaja," jelas Rama Farah memegang bahu Rama.
"Dengar anakku, apa yang sduah terjadi biarlah berlalu. Kau kan juga masih memiliki masa depan yang harus kau jalani," nasihat Farah.
"Kau benar ibu. Aku harus belajar hidup tanpanya," ujar Rama. Farah tersenyum.
4 tahun kemudian...
Meskipun telah berusaha melupakan Sinta, Rama justru semakin mencintainya. Hanya saja, sekarang dia telah pergi dan membuat Rama kesepian.
Suatu hari, Rama berniat untuk menikahkan Kirana agar mengobati kesepiannya dan memperkenalkan Kirana ada keluarganya.
Keluarga pun merestui hubungan Rama dan Kirana.
Kirana tidak memiliki siapa-siapa (keluarga), jadi Rama mengajak Kirana tinggal di rumahnya.
Malam hari, Kirana menyajikan makanan di mangkuk Rama dan keluarga. Rama memakan makanan tersebut.
"Bagaimana? Apa enak?" tanya Kirana. Rama tersenyum.
"Wah makananmu ini enak sekali! Kau memang pintar memasak, Sinta," jawab Rama.
Senyum yang ada di wajah Kirana berubah jadi murung ketika mendengar Rama menyebut nama Sinta. Begitupula dengan keluarga yang terkejut mendengar perkataan Rama.
"Rama, ikhlaskan Sinta. Ingat, sekarang kau akan menikah dengan Kirana, jangan sampai masa lalu mu dengan Sinta merusak pernikahan kalian..." tegur Boy.
Rama menunduk.
"Baik, aku minta maaf," ucap Rama. Kirana hanya diam.
Keesokan paginya...
"Sinta, kalau tidak sibuk, apa aku boleh berbicara denganmu?" pinta Aman.
"Tentu saja. Katakan."
"Emm, sebenarnya aku ingin mengajakmu makan bersama di restoran sambil mengobrol. Apa kau mau?"
"Baik."
Aman lalu mengajak Sinta pergi makan di sebuah restoran.
"Katakan, ada masalah apa?" tanya Sinta.
Aman menunduk dan menarik napasnya dalam-dalam.
"Sinta, sebenarnya aku...aku...aku---"
"Aku apa?"
"Aku menyukaimu." Sinta memandang Aman.
"Apa?!"
"Iya Sinta, aku benar-benar menyukaimu. Awalnya aku pikir ini hanya perasaan biasa karena kau temanku. Tapi ternyata aku justru jatuh hati padamu. Sekarang aku hanya ingin satu hal darimu. Maukah kau menikah denganku?" pinta Aman. Sinta menunduk.
"Aman, apa kau tahu siapa aku sebenarnya?" tanya Sinta.
"Aku sudah menikah dan aku juga telah berpisah dengan suamiku."
"Ya, terus kenapa?"
"Apa kau masih mau berteman denganku dan tinggal bersamaku?" tanya Sinta. Aman tersenyum.
"Dengar Sinta, aku ini sudah mengenalmu. Siapa kau, aku juga tahu. Aku ini tulus mencintaimu, bukan karena kau siapa di masa lalu tapi karena kau gadis yang baik. Lagipula sampai kapan kau akan hidup sendiri?" Sinta terdiam.
"Baiklah, aku tahu perasaanmu saat ini. Aku juga tidak akan memaksa dirimu untuk menikah denganku, aku akan tetap setia padamu," lanjut Aman.
"Emmm." Sinta menunduk.
Sore hari, hujan turun dengan begitu deras.
Rama berdiri di bawah atap di belakang rumah sambil memandangi halaman yang penuh dengan bunga yang basah karena air.
Rama tersenyum memikirkan Sinta sambil melihat rintik rintik hujan.
Tiba-tiba ada seorang gadis memakai gaun putih yang indah dan tersenyum menatap Rama. Matanya berwarna cokelat kehitaman, hidungnya mancung. Wajahnya mirip sekali dengan Sinta.
Rama yang melihatnya pun tidak percaya kalau Sinta ada di depannya. Ia mengucek kedua matanya untuk menyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah khayalannya.
Namun bayangan tersebut tidak juga hilang dan justru berjalan menghampiri Rama sambil tersenyum.
"Sinta, bagaimana kau bisa di sini?" tanya Rama keheranan. Gadis itu tersenyum.
"Itu karena adanya kekuatan yang ada di hatimu. Di mana kau berada, di situlah aku ada," jawab gadis itu. Rama menunduk.
"Rama, kau pria yang baik. Sinta sangat mencintaimu. Aku mohon jangan lakukan kesalahan ini Rama," lanjutnya. Rama menatap gadis itu.
"Aku minta maaf Sinta. Aku janji tidak akan mengkhianatimu lagi. Maafkan aku, aku mohon jangan tinggalkan aku. Hidupku hampa tanpa dirimu," jelas Rama.
"Kau tenang saja. Sinta pasti akan kembali padamu. Kau hanya perlu bersabar menantinya." Rama memeluk gadis tersebut dan menangis.
"Aku mencintaimu Sinta, aku mohon maafkan aku," ucap Rama. Gadis itu hanya diam dan tersenyum kemudian menghilang.
Kirana yang dari tadi mendengar Rama berbicara sendiri menghampirinya.
"Ada apa? Kenapa kau berbicara sendiri?" tanyanya. Rama menghapus air matanya dan tersenyum menatap Kirana.
"Aku tadi sedang berbicara dengan Sinta, lihat," kata Rama sambil menunjuk arah sampingnya.
Kirana heran karena ia tidak melihat seorang pun di sebelah Rama.
"Di mana dia? Kok aku tidak melihat apapun?"
"Kau itu, kalau ingin lihat Sinta buka matamu," tegur Rama kemudian menoleh ke sampingnya. Ia terkejut karena Sinta sudah tidak ada.
"Di mana dia?" tanyanya sambil melihat sekeliling.
Rangga dan Farah menghampiri Rama dan Kirana.
"Kenapa kalian bertengkar?" tanya Farah. Rama menggeleng.
"Tidak ibu, aku hanya berkata pada Kirana kalau aku tadi melihat Sinta, tapi dia tidak percaya..." jawab Rama.
"Rama, kau ini kenapa? Sudah jelas Sinta pergi jauh dari sini, bagaimana dia bisa kembali? Itupun hanya beberapa detik."
"Asal kau tahu, sekarang ini kau telah berubah menjadi tidak waras karena memikirkan Sinta. Hanya dirinya yang selalu kau ingat, bahkan sekarang kau hilang bahwa dirimu bertemu dengan Sinta. Di mana pikiranmu Rama? Dengar, jika kau mau menikah dengan Kirana, kau harus belajar melupakan Sinta," tegur Farah. Rama menunduk. Ia sakit hati mendengar perkataan Farah tadi. Rama pergi ke kamarnya.
Kirana hanya diam memandangi Rama begitupula Farah dan Rangga.
Keesokan paginya, Rama terbangun dari tidurnya. Ia beranjak dari ranjangnya dan pergi ke kamar mandi. Setelah itu kembali ke kamar.
Jam menunjukkan pukul 02.05 WIB. Udara masih terasa dingin dan matahari juga belum menunjukkan sinarnya. Tidak ada seorangpun yang bisa menemani Rama karena mereka sudah tidur. Suasana menjadi sunyi sekali.
Rama berniat untuk kembali tidur, namun saat ia akan memejamkan matanya. Ia teringat akan Sinta. Rama pun duduk di ranjangnya sambil melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 03.05 WIB.
Karena merasa gelisah, Rama memutuskan untuk melaksanakan shalat tahajud. Selesai shalat, Rama berdoa, "Ya Allah, hamba tidak tahu apa yang hamba rasakan saat ini. Dalam hati, hamba tidak bisa tenang karena memikirkan Sinta. Jujur, hamba sangat merindukannya. Hamba mohon, jagalah Sinta di manapun ia berada dan buatlah dia bahagia." Setelah selesai berdoa, hati Rama menjadi lebih tenang. Setidaknya ia bisa mencintai Sinta dalam doa yang ia salurkan malam ini, meskipun ia dan Sinta tidak bisa bersama seperti dulu.
Sementara itu, Sinta sedang merenung memandangi rembulan yang bersinar terang dibalik jendela.
Aman menghampiri Sinta.
"Kenapa melamun?" Sinta tersenyum menggeleng.
"Tidak, aku hanya sedang berpikir. Yang kau katakan benar Aman, aku masih memiliki masa depan yang harus kujalani."
"Jadi?"
"Aku rasa, kalau dia bisa tinggal dengan orang lain dan melupakanku, lalu kenapa aku tidak bisa melakukannya?" tanya Sinta. Aman menunduk.
"Aku bersedia menjadi pacarmu," lanjutnya. Aman menatap Sinta.
"Apa katamu?"
"Ya Aman. Aku berkata jujur, aku mau menjadi pacarmu."
"Hanya pacar?"
"Aku kan masih butuh banyak waktu untuk melupakan mantan suamiku dan belajar mencintaimu," jelas Sinta. Rama tersenyum memegang bahu Sinta.
"Kau tenang saja. Aku akan tetap mencintaimu apa adanya. Meskipun pada akhirnya kita tidak akan bersatu, aku tidak akan pernah melupakan dirimu, Sinta," ucap Aman. Sinta hanya diam.
Suatu hari, Aman harus pergi ke Solo untuk bekerja. Dia mengajak Sinta untuk menemaninya, namun Sinta menolak karena ia takut akan kembali gelisah karena mengingat kenangannya dengan Rama. Apalagi melihat Rama, orang yang sangat ia cintai bersama wanita lain. Hatinya semakin terluka.
Aman kemudian berusaha menenangkan Sinta.
"Tenang Sinta, tidak akan terjadi apa-apa di sana nanti. Semua akan baik-baik saja. Aku bersamamu," ujar Aman berusaha menenangkan Sinta. Sinta hanya diam mengangguk pelan. Ia akhirnya setuju pergi ke Solo bersama Aman.