Ketika tiba di Solo, Aman mengajak Sinta menginap di hotel yang sama, hanya saja kamar mereka yang berbeda.
Keesokan harinya...
"Emmmm, Sinta hari ini aku akan bekerja. Aku mohon doakan aku agar semua berjalan dengan lancar," ucap Aman. Sinta tersenyum.
"Tentu saja. Aku pasti akan mendoakanmu dengan senang hati," jawab Sinta.
"Bagus-bagus. Terimakasih," ucap Aman sambil tersenyum dan dibalas Sinta.
"Sama-sama, sekarang ayo sarapan." Sinta memasukkan makanan ke mangkuk Aman. Aman tersenyum menggeleng.
"Tidak terimakasih. Aku buru-buru ke kantor," tolak Aman.
"Tapi Aman? Bagaimana kalau nanti kau sakit gara-gara tidak makan?" Aman terdiam.
"Aku mohon makanlah, aku tidak ingin kau kelaparan," lanjut Sinta.
"Kau tenang saja. Aku nanti bisa makan di warung atau kantin, lagipula saat melihat mu aku merasa sangat kenyang," jawab Aman. Sinta tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sudah ya, aku pergi dulu, Sampai nanti." Aman pergi meninggalkan Sinta.
Pada hari Minggu, Rama hendak pergi ke pasar dan dia bertanya pada Kirana, "Aku mau ke pasar, apa kau ingin sesuatu?"
"Tolong belikan aku wortel," pinta Kirana. Rama tersenyum.
"Baik, ada lagi?" Kirana menggeleng.
"Sudah itu saja. Oh ya, apa aku boleh ikut?"
"Emmm, boleh. Tapi aku lama sekali nanti, apa kau akan bosan?" Kirana tersenyum menggeleng.
"Tidak, justru aku bahagia bisa menghabiskan waktu bersamamu. Lagipula sudah lama kita tidak bersama seperti ini?" jelas Kirana. Rama tersenyum.
"Baiklah, mari," ajak Rama. Kirana tersenyum menghampiri Rama.
Mereka lalu pergi berbelanja di pasar.
Rama memandangi jam tangannya. Jam itu masih menunjukkan pukul 07.00 WIB dan jarumnya tidak bergerak sama sekali. Rama menepuk arlojinya tersebut berulang kali, namun tetap tidak mau bergerak.
"Oh tidak. Jam ku sudah mati. Lagian ini sudah hampir sepuluh tahun dari waktu SMU dulu. Awet juga ya umurnya? Emm... sepertinya, aku harus membeli jam baru, ini sudah rusak."
Kirana menghampiri Rama dan menepuk bahunya.
"Ada apa?" Rama memandangi Kirana dan tersenyum menggeleng.
"Tidak, jam ku tadi mati. Aku akan menggantinya."
"Baik." Rama pergi mengajak Kirana pergi ke mal untuk membeli jam tangan dan lain-lain.
Kirana melihat ada beberapa gaun yang indah.
"Rama, aku bolehkan melihat gaun tersebut? Sementara kau memilih jam tangan untukmu?"
"Baiklah, kau boleh pergi." Kirana tersenyum senang. Ia lalu pergi melihat-lihat gaun tersebut sedangkan Rama sibuk jam tangan yang akan ia beli.
"Pak, apa aku boleh lihat jam itu?" pinta Rama sambil menunjukkan jam tangan berwarna biru. Pak penjual itu tersenyum dan mengambilkan arlojinya pada Rama.
"Jangankan lihat, anda bahkan boleh membelinya," jawab penjual tersebut. Rama tersenyum.
"Ngomong-ngomong, berapa harganya?"
"Hanya seratus tujuh puluh ribu." Rama menatap penjual itu dengan bingung.
"Kok mahal sekali harganya? Kalau lima belas ribu, bagaimana?" tawar Rama. Penjual itu menggelengkan kepalanya.
"Maaf tuan, itu harganya sudah saya potong. Itu adalah jam paling bagus. Jika anda beli di toko lain, harganya pasti lebih mahal dari pada ini..." jelas pak penjual.
"Oh ya, berapa memangnya?"
"Sekitar tiga ribu.''
"Murah sekali, kalau begitu lebih baik aku beli di sana saja," kata Rama lalu beranjak pergi namun dicegah penjual itu.
"Maaf tuan, tadi saya salah bicara. Harganya bukan tiga ribu, tapi sekitar tiga juta."
"Emmm, baiklah, aku kau belajar jam yang ini saja,$ kata Rama sambil menunjukkan jam tangan berwarna biru tadi.
"Berapa tadi harganya?"
"Seratus tujuh puluh ribu."
"Ok." Rama mengeluarkan beberapa uang dari dompetnya dan memberinya pada penjual tersebut.
Rama tersenyum memandangi jam tangannya. "Keren sekali! Ngomong-ngomong ini tidak mudah rusak kan?" tanya Rama. Penjual itu menggeleng.
"Tentu saja tidak, Tuan." Rama tersenyum.
"Baik, terimakasih." Ia lalu pergi meninggalkan penjual tersebut.
Kebetulan, Sinta juga ada di mal untuk membeli gelang.
Ketika Rama berlari menghampiri Kirana, tanpa disengaja ia menabrak seorang wanita (Sinta). Mereka terjatuh bersama.
"Aduh." Sinta memegangi kepalanya yang terasa sakit.
"Maaf nona, aku tadi tidak sengaja menabrak anda. Aku sedang terburu-buru. Maaf," ucap Rama. Sinta menundukkan kepalanya.
"Tidak masalah."
"Apa anda perlu bantuan?" Sinta menggeleng.
"Tidak, aku bisa sendiri." Rama tersenyum.
"Baik. Sekali lagi, aku minta maaf."
"Tidak apa-apa."
Rama pergi meninggalkan Sinta dan menghampiri Kirana.
Sinta merasa ada sesuatu yang aneh di hatinya saat laki-laki tersebut menabraknya. Seakan Rama datang menghampiri, hanya saja ia tidak menyadarinya.
"Kenapa tiba-tiba aku ingat Rama ya? Kenapa aku merasa dia juga ada di sini?" tanya Sinta pada dirinya sendiri. Ia berusaha melihat wajah Rama untuk memastikan bahwa Rama juga berada di mal. Namun sayangnya Rama sudah pergi.
Tanpa disadari, gelang Sinta masuk kedalam saku Rama saat mereka terjatuh bersama tadi.
Sinta merasa cemas mengetahui gelangnya hilang.
Malam hari, Sinta duduk di kursi sambil memikirkan gelangnya yang hilang.
Aman menghampiri Sinta.
"Ada apa?"
"Aman, gelang ku tidak ada. Tadi aku sudah memasukkannya ke dalam tas. Dan tadi tidak sengaja aku bertabrakan dengan seorang laki-laki dan terjatuh," jelas Sinta.
"Emm, lalu?"
"Aku takut kalau gelangku hilang?"
"Kau jangan cemas. Aku akan berusaha untuk mencari gelangku. Semoga ketemu," jawab Aman berusaha menenangkan Sinta.
"Tadi aku juga sudah mencarinya di setiap tempat, tapi tidak ketemu."
"Mungkin kau kurang teliti."
"Mmmm." Aman pergi mengambil makanan untuk Sinta.
"Ini makanlah, kau pasti lapar bukan?" ujar Aman sambil menaruh makanan di piring.
"Soal gelang, biar aku yang cari nanti," lanjutnya.
"Baik."
Keesokan paginya, Kirana sedang mencuci pakaian. Dan ia menemukan ada sebuah gelang bermotif love berwarna merah muda di saku Rama.
Dia mengambil gelang tersebut dan menyimpannya di lemari.
Selesai mencuci, Kirana menghampiri Rama yang sedang sarapan.
"Rama, kalau aku boleh tahu. Ini punya siapa?" tanya Kirana sambil menunjukkan gelang tadi pada Rama. Rama memandangi gelang itu dengan bingung dan mengambilnya dari Kirana.
"Ini?"
"Ya, punya siapa?" Rama mengangkat bahunya.
"Aku tidak tahu. Kau dapat ini dari mana?"
"Dari saku jaketmu waktu mencuci pakaian tadi." Rama mengangguk pelan.
"Oh."
"Kemarin aku tidak sengaja bertabrakan dengan seorang wanita di mal. Mungkin itu pemiliknya. Emm kalau besuk aku bertemu dengannya aku pasti akan mengembalikannya..." jelas Rama.
"Emmm."
"Sekarang, tolong berikan padaku," pinta Rama.
"Baiklah, ini," jawab Kirana sambil memberikan gelang tersebut pada Rama.
Rama tersenyum memandangi gelang itu kemudian memasukkannya ke dalam dompetnya.
Malam hari, Aman berusaha mencari gelang Sinta yang hilang. Namun tidak ketemu juga. Ia berusaha mencari gelangnya di setiap tempat, namun hasilnya sama, gelang Sinta tidak ketemu.
Aman pun kembali ke rumah dengan wajah murung.
Sinta menghampirinya dan bertanya, "Ada apa? Kau terlihat lesu."
"Maafkan aku Sinta. Tadi aku sudah berusaha mencari gelang mu di setiap tempat, dan juga bertanya pada orang-orang, namun gelangnya juga tidak ketemu. Aku minta maaf," ucap Aman. Sinta tersenyum.
"Tidak apa-apa. Kau jangan cemas. Jika gelang itu milikku, aku pasti akan mendapatkannya kembali. Lagipula kita kan sudah berusaha mencarinya semampu kita tadi."
Aman hanya diam dan menatap Sinta sambil tersenyum.
Keesokan paginya, Rama terbangun dari tidurnya. Ia lalu pergi ke kamar mandi setelah itu kembali ke kamarnya.
Udara pagi ini terasa sangat dingin, seakan masih malam dan mentari masih mengantuk untuk bangun menyinari bumi.
Rama mengambil jaketnya yang berwarna hitam keabu-abuan. Tanpa sengaja, dompetnya terjatuh ke ranjang. Rama mengambil dompetnya itu dan membukanya, ia melihat gelang Sinta.
"Oh ya ampun! Lagi-lagi aku lupa kalau aku harus mengembalikan gelang ini. Tapi siapa dia?" Rama berusaha mengingat kejadian kemarin di mal dan mengingat wajah wanita tersebut.
Tiba-tiba ia justru mengingat Sinta. Rama merasa kalau wanita yang ditabraknya itu adalah Sinta.
"Kenapa aku jadi memikirkan Sinta ya?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Kirana datang menghampiri Rama dan bertanya, "Ada apa?" Rama menggeleng.
"Tidak, aku hanya memikirkan Sinta. Kirana, entah kenapa hatiku merasa kalau gadis yang aku tabrak adalah Sinta?"
Kirana tersenyum kecil, ia tidak percaya dengan perkataan Rama tadi.
Kirana menghampiri Rama dan memegang bahunya.
"Rama, mungkin tadi kau hanya bermimpi bertemu Sinta di mal, itu sebabnya kau berpikir jika wajah gadis itu adalah Sinta," jelas Kirana. Rama menatap Kirana.
"Tapi yang hatiku rasakan dan aku pikirkan itu nyata. Bukan mimpi," bantah Rama.
"Dengar Rama, aku tahu kalau kau sangat merindukan Sinta. Tapi kau harus ingat bahwa ia telah pergi jauh meninggalkan mu. Apa kau ingin menghabiskan sisa hidupmu dengan hanya memikirkan Sinta dan mengingat kenangannya saja?" tanya Kirana.
Rama menunduk.
"Kau masih memiliki masa depan Rama, jangan korbankan masa depanmu begitu saja. Hatiku juga masih berhak untuk menerima cinta lagi dan mencintai seseorang, selain Sinta," lanjut Kirana. Ia berharap agar Rama bisa melupakan Sinta dan mencintainya seperti dulu.
Rama hanya diam dan menunduk. Ia kecewa karena tidak ada seorangpun yang percaya dengan perkataannya, meskipun sebenarnya ia berkata jujur.
Malam hari, Rama tidak bisa tidur karena memikirkan Sinta.
Ia pun memutuskan untuk shalat dan mendoakan Sinta.
"Ya Allah, hamba tidak tahu entah kenapa hamba merasa kalau Sinta telah kembali. Hamba tidak tahu kenapa hati hamba selalu berpikir bahwa Sinta akan datang ke kota ini kembali. Namun saat hamba mencoba untuk curhat pada keluarga, mereka justru menganggap hamba tidak waras karena berpikir bahwa hamba selalu berkhayal tentang Sinta..." jelas Rama dalam doanya selesai shalat.
"Ya Allah, hamba memang tidak tahu di mana Sinta sekarang, tapi hati selalu merasa jika dia ada di dekat hamba. Ya Allah, hamba mohon tolong jagalah Sinta di manapun ia berada dan buatlah dia selalu bahagia," lanjutnya dengan memohon pada Allah.
Setelah shalat, Rama bergegas untuk kembali tidur.
Keesokan paginya, Kirana menyajikan di piring Rama.
Rama tersenyum. Ia memakan sayuran tersebut.
"Mmm, Kiran, aku haus, apa kau bisa mengambilkan aku air?" pinta Rama. Kirana tersenyum.
"Tentu saja, ini," jawab Kirana sambil memberikan segelas teh pada Rama.
"Terimakasih." Rama meminum teh itu. Tiba-tiba Rama memuntahkan teh tersebut dan membuat semua terkejut.
Kirana menatap Rama dan bertanya, "Ada apa? Apa kau baik-baik saja?"
Rama merasa kesal dan menatap Kirana dengan tajam.
"Dasar payah! Apa kau tidak bisa memberiku minuman yang lain selain teh?! Berapa kali aku bilang kalau aku tidak suka teh?" tegur Rama dengan nada tinggi membuat Kirana terkejut dan menunduk.
"Aku minta maaf," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak, sekarang kau pergi!" usir Rama. Kirana pun pergi meninggalkan Rama.
"Rama, kau bisa kan menegur Kirana dengan baik-baik tanpa harus membentak?" tegur Farah.
"Iya, Kiran kan tidak tahu kalau kau tidak suka teh?"
timpal Boy.
Rama terdiam. Ia merasa bersalah pada Kirana karena telah membentaknya.
Rama pun pergi menemui Kirana dan berusaha meminta maaf padanya.
"Aku minta maaf karena memarahiku tadi." Kirana tersenyum menghapus air matanya itu kemudian memandang Rama.
"Tidak masalah, aku juga minta maaf."
Rama tersenyum.
''Tidak masalah." Rama memandangi jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB.
"Sudah ya, aku harus berangkat kerja. Aku pergi dulu," pamit Rama.
"Baik. Hati-hati di jalan."
"Oke." Rama lalu pergi meninggalkan Kirana dan berangkat ke kantornya untuk bekerja.
Keesokan harinya, Rama sedang mengantar Kirana belanja di pasar.
Tiba-tiba, ada seorang anak kecil datang menghampiri Rama sambil membawa seikat bunga mawar merah.
"Silahkan beli, Tuan," kata anak tersebut. Rama memandanginya dengan tatapan bingung. "Untuk apa?"
"Untuk diberikan pada orang yang kau cintai."
"Tapi siapa?"
"Siapapun." Rama tersenyum.
"Baik, aku mau membelinya." Rama kasihan melihat anak itu berjualan bunga namun belum ada orang yang membelinya dan ia juga belum makan sama sekali. Rama pun berniat membeli semua bunga tersebut.
"Jadi berapa?"
"Lima belas ribu." Rama tersenyum.
"Emm, ini." Anak itu menerima uang tersebut dan melihat kalau uang tersebut kelebihan Rp 5.000.
"Maaf tuan, uang anda kelebihan lima ribu. Tapi saya tidak punya kembaliannya. Apa anda punya uang yang pas?"
Rama tersenyum. "Saya hanya memiliki uang itu saja. Soal kembalian, itu simpan saja, aku ikhlas memberinya." Anak itu tersenyum.
"Terimakasih pak." Ia pergi meninggalkan Rama. Rama tersenyum memandangi bunga itu.
Malam hari...
"Wah Sinta! Masakanmu ini enak sekali!" puji Aman sambil memakan sayuran buatan Sinta.
Sinta tersenyum menggelengkan kepalanya.
Memang, setelah berpisah, Sinta lebih sering menghabiskan waktunya dengan memasak. Tidak sedikit yang menyukai makanannya dan memuji Sinta karena masakannya yang enak.
Suatu hari, Sinta berhasil membangun restorannya dan dibantu oleh Aman.
Aman hendak menemui Sinta di restorannya, namun sayangnya motornya mogok. Aman pun turun dari motor dan memarahi motornya karena kesal.
"Dasar payah! Kau itu selalu saja mogok. Bahkan di hari penting seperti ini?! Pokoknya kalau Sinta bertanya padaku kenapa terlambat, aku akan bilang kalau ini semua adalah kesalahanmu! Dan kau yang harus bertanggung jawab! Sekarang cepat minta maaf!" pintanya, namun motornya hanya diam.
"Sial!" keluhnya sambil menendang motornya itu.
Tanpa disengaja, Rama datang dan bertanya, "Ada apa?"
"Begini Tuan, motor saya mogok. Padahal saya sedang terburu-buru. Kalau anda tidak keberatan, apa saya boleh minta tumpangan?" pinta Aman.
Rama tersenyum.
"Tentu saja, dengan senang hati. Mari." Rama kemudian mengantar Aman ke restoran Sinta menggunakan mobilnya.