Chereads / Inilah Cinta. / Chapter 13 - Mabuk

Chapter 13 - Mabuk

Rama pergi menemui Sinta di restorannya, ia penasaran dengan masakan Sinta dan pergi ke dapur. Di sana, ia melihat Sinta sedang memasak. Rama tersenyum memandangi Sinta.

Tiba-tiba, Rama mulai memejamkan matanya dan melamun.

Dalam khayalannya...

Rama berjalan menghampiri Sinta yang sedang memasak.

"Hai," sapanya. Sinta tersenyum.

"Hai." Rama melihat Sinta sedang menggoreng ayam dan memeluknya.

Sinta yang terkejut ketika Rama memeluknya spontan melepaskan alat penggorengan tersebut.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Sinta.

"Tidak ada. Hanya memelukmu."

"Lepaskan."

"Tidak." Sinta berusaha melepaskan pelukan Rama, namun tidak bisa karena Rama semakin mempererat pelukannya.

"Aku mohon lepaskan," pinta Sinta pada Rama sekali lagi. Rama menggeleng.

"Tidak."

"Aku mohon, bagaimana kalau masakan ku gosong? Nanti kan kasihan pelanggan," jelas Sinta. Rama tersenyum.

"Sudah, jangan pedulikan mereka. Kau tahu kan, aku sangat merindukanmu. Sudah 4 tahun kita berpisah, sekarang biarkan waktu ini menjadi milik kita. Izinkan aku bersamamu, meski hanya 5 menit," pinta Rama. Sinta tersenyum menunduk.

"Hei, kalau kau tidak keberatan, apa boleh aku mengatakan satu hal padamu?" Sinta menatap Rama.

"Katakan, ada apa?"

"Aku mencintaimu," ucap Rama tepat di telinga Sinta. Sinta tersenyum tersipu malu dan menundukkan tatapannya.

Rama mendekat pada Sinta dan ingin menciumnya, namun tiba-tiba...

_Bughk!_

Tanpa disengaja, ada seseorang yang menabrak Rama sehingga ia terjatuh dan mimpi pun buyar.

"Sial!" keluh Rama.

Sinta yang melihat Rama terjatuh Itupun berjalan menghampinnya dan bertanya, "Ada apa? Bagaimana kau bisa terjatuh?"

"Emm tadi aku sedang melihatmu memasak, tiba-tiba tidak sengaja, ada yang menabrak ku dari belakang," jelas Rama. Sinta tersenyum menggelengkan kepalanya.

"Kau ini seperti anak kecil saja."

"Apa? Kau menyebutku anak kecil?"

"Jika iya, kenapa?"

"Aku ini sudah besar umurku 30 tahun, dan aku juga sudah bekerja. Enak saja kau bilang aku anak kecil." Sinta memutar bola matanya malas.

"Terserah." Sinta melihat dahi Rama berdarah karena terluka. Ia pun mengambil kotak p3k dan mengobati luka Rama.

"Auch."

"Tenang, ini hanya sementara. Nanti juga kau sembuh." Rama tersenyum.

"Terimakasih sudah mau mengobati ku." Sinta tersenyum.

"Dengan senang hati."

Keesokan paginya, Sinta sedang duduk di meja makan. Ia hanya diam melamun memikirkan Rama.

Aman sedang memasak sarapan di dapur kemudian menghampiri Sinta dan menaruh makanan di piringnya. Ia ingin mengajaknya makan bersama, namun Sinta menolaknya.

"Aku mohon...makanlah. Aku kan juga ingin jadi koki hebat seperti dirimu."

"Baik, nanti aku makan."

"Sekarang saja."

"Aku belum lapar."

"Baiklah, jika kau keras kepala tidak mau makan, maka aku akan menyuapimu."

Sinta berdiri dan berteriak, "Rama! Kenapa kau tidak mau mengerti? Aku belum lapar." Aman menunduk, ia terkejut mendengar Sinta menyebut nama Rama. Sinta memandang Aman.

"Aku minta maaf telah memarahimu," ucapnya.

"Itu tidak masalah, tapi kenapa kau menyebut nama Rama?" tanya Aman.

"Emm, itu bukan apa-apa. Aku tadi salah memanggil namamu," jawab Sinta. Aman tersenyum mengangguk.

"Baiklah tidak masalah." Sinta tersenyum.

"Kalau begitu, ayo kita sarapan!"

Aman dan Sinta kemudian sarapan bersama.

Pada hari Minggu, Sinta sedang membeli sayuran di pasar. Tanpa disengaja dia bertemu dengan Rangga.

"Ayah?" gumam Sinta. Rangga tersenyum.

"Assalamualaikum. Sinta? Kau di sini?"

"Waalaikumusalam, iya ayah, aku ingin membeli sayuran untuk keperluan di restoran."

"4 tahun kau pergi, tapi kau tidak pernah berubah. Masih sama seperti dulu."

"Maksud ayah apa?"

"Kau masih tetap cantik dan sopan." Sinta tersenyum.

"Ayah bersyukur dan merasa bahagia melihatmu sehat seperti ini. Semoga Allah selalu menjagamu," doa Rangga. Sinta tersenyum.

"Terimakasih doanya, ayah. Ayah juga jangan lupa untuk menjaga diri ayah."

"Tentu saja. Emm, ayah pergi dulu. Assalamualaikum," pamit Rangga yang melihat Farah.

"Waalaikumusalam."

Diam-diam, Farah melihat Sinta bersama dengan Rangga sekaligus mendengar percakapan mereka dan merasa cemas karena takut jika Rama akan jatuh cinta lagi pada Sinta.

Beberapa tahun terakhir ini, Rama banyak melamun memikirkan Sinta. Bahkan sampai berhalusinasi bahwa dia melihat Sinta waktu hujan. Jika perpisahan saja sudah membuatnya mencintai seperti ini, apalagi jika nanti dia benar-benar bertemu dengan Sinta? Pasti dia akan kembali padanya dan Sinta akan tinggal di rumahnya lagi.

Karena takut jika Rama dan Sinta kembali bersama, Farah berusaha untuk mencegah Rama bertemu dengannya.

Malam hari, Rama sedang makan malam bersama keluarga.

"Apa kau tahu Rama? tadi ayah bertemu dengan Sinta di pasar," kata Rangga. Semua orang terkejut mendengar perkataan Rangga. Sementara Rama bersikap biasa saja seolah dia tidak peduli dengan apa yang dikatakan ayahnya itu. Dia terus memakan makanannya tanpa menjawab perkataan Rangga sepatah katapun.

Farah heran melihat Rama bersikap seperti ini. Tidak biasanya Rama bersikap cuek apalagi jika itu menyangkut cintanya, dia akan terkejut merasa bahagia. Tapi sekarang berbeda. Rama diam seribu bahasa.

Rangga bertanya pada Rama, "Rama? Kau kenapa? Apa kau tidak suka dengan kabar gembira ini?"

Rama memandang Rangga dengan tatapan kesal.

"Kabar gembira apa?"

"Ya, itu kalau tadi Sinta sudah kembali." Rama menggeleng.

"Tidak ada kabar gembira. Itu hanya pertemuan kebetulan, Sinta tidak mungkin kembali lagi ke sini," bantah Rama dia lalu mengingat apa yang dia alami. Awalnya dia merasa senang melihat Sinta datang menemuinya, namun setelah ia tahu bahwa dia sudah memiliki pacar baru, Rama menjadi patah hati.

"Dasar, aku membencimu!" ujarnya sambil memandangi foto Sinta. Entah kenapa dia mengucapkan kalimat itu walaupun hatinya masih menyimpan perasaan.

"Ada apa? Tidak biasanya kau begitu kesal?" tanya Farah. Rama menggeleng.

"Tidak ada. Hanya saja, aku sudah malas membicarakan tentang Sinta. Dia sudah pergi meninggalkan ku, kemudian dia kembali dengan membuat luka baru di hati. Akan lebih baik jika dia pergi untuk selamanya," jelas Rama yang sudah merasa frustasi.

"Apa maksudmu? Harusnya kau senang kan dia kembali. Dulu kau senang menantinya, tapi sekarang kenapa kau berubah?" tanya Rangga.

"Aku tidak berubah. Aku hanya merasa kesal. Dia yang berubah. Dia yang sudah melupakanku. Bahkan sekarang dia telah jatuh cinta pada orang lain. Dan ayah bilang ini kabar gembira?! Hatiku benar-benar hancur dan apa aku harus merayakannya dan tertawa bahagia melihat dia bersama orang lain?" tanya Rama.

Farah tersenyum sinis. Dia memegang bahu Rama.

"Tenang lah, Nak. Kau jangan marah seperti ini."

"Emmm... Kau benar ibu, harusnya aku mendengarkanmu waktu itu, mungkin ini tidak akan terjadi. Kau benar, aku seharusnya tidak terlalu mencintai Sinta." Mata Rama menjadi berkaca-kaca, seketika dadanya menjadi sesak dan sakit. Semua terharu mendengar perkataan Rama dan ikut bersedih. Rangga datang menghampiri Rama dan memeluknya sambil berusaha menenangkan Rama.

Beberapa bulan kemudian

Rangga berniat untuk mengadakan pesta di rumah untuk merayakan ulang tahun Rama agar dia bisa kembali tersenyum dan melupakan rasa sakitnya.

Rama terlihat murung sambil memandangi dekorasi pesta tersebut.

Rangga menghampiri Rama.

"Ada apa? Kenapa kau murung? Sejak kau patah hati, kau jadi lupa tersenyum, bahkan pada ayah," keluh Rangga. Rama tersenyum terpaksa.

"Nah itu lebih baik, oh ya apa kau suka dengan pesta ini?"

"Tentu saja."

Tiara datang menemui Sinta dan dia berniat untuk mengajaknya pergi ke pesta Rama. Awalnya Sinta menolak, namun karena Tiara terus membujuknya akhirnya dia setuju.

Sinta pun pergi ke pesta bersama Tiara dan Aman.

Aman menghampiri Rama.

"Selamat ulang tahun," ucapnya. Rama tersenyum.

"Terimakasih."

Rama melihat Sinta berjalan menghampirinya dan Aman.

"Selamat ulang tahun Rama, semoga kau selalu bahagia," ucap Sinta. Rama tersenyum kecil.

"Terimakasih. Emm aku pergi dulu," ucapnya lalu pergi. Sinta menatap Rama dengan heran.

Rama mengobrol dengan teman-temannya sambil terus memandangi Aman dan Sinta yang juga sedang mengobrol bersama. Mereka terlihat sangat akrab dan membuat Rama merasa cemburu.

Setiap saat rasa cemburu Rama bertambah besar sehingga membuatnya kesepian.

Rama melihat ada sebotol minuman keras yang ada di depannya dan memasukannya ke dalam gelas kecil kemudian meminumnya.

Rama mengerutkan keningnya. Minuman itu tidak seperti minuman lainnya yang dia minum sebelumnya, seperti kopi, jus, dan lain-lain. Minuman itu berbau tidak sedap dan membuat orang tidak tahan atau merasa mual.

Meski begitu, Rama terus meminum minuman tersebut sehingga membuatnya tidak sadar alias mabuk.

Reza yang bingung melihat Rama terus minum itu pun bertanya, "Ada apa?"

Rama tersenyum menatap Reza dan menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa jenuh. Sebentar ya, aku pergi dulu."

Rama pergi meninggalkan Reza. Ia menghampiri Kirana.

"Emmm, Kiran, aku ingin bertanya padamu apa boleh?"

"Apa?"

"Kau tahu siapa mereka?" tanya Rama yang sedang mabuk pada Kirana sambil menunjuk Aman dan Sinta yang sedang bercanda bersama.

"Tentu saja. Mereka Aman dan Sinta." Rama mengangguk pelan.

Rama melihat kedekatan Aman dan Sinta dan merasa cemburu.

"Hei pelayan!" panggilnya. Pelayan itu menghampiri Rama.

"Ya tuan? Ada apa?"

"Tolong berikan aku minuman," pinta Rama. Pelayan itu memberikan minuman pada Rama. Rama pun terus meminum minuman tersebut tanpa henti dan menjadi mabuk berat.

Kirana kecewa saat tahu bahwa Rama masih mencintai Sinta. Ia berniat untuk menjebak Sinta dengan membuatnya malu di depan semua orang dengan mencampurkan minuman ke dalam jus yang ada di gelas Sinta.

Sinta sedang mengobrol bersama Tiara, tiba-tiba dia merasa haus. Sinta pun pergi dan meminum jusnya. Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan pusing. Sinta memegangi kepalanya dan mengerutkan keningnya.

"Tiara? Apa sekarang sedang ada gempa?" tanya Sinta sambil melihat sekeliling dan berputar tak karuan.

"Tidak terjadi apa-apa, apa kau pusing?"

"Sedikit."

"Istirahatlah." Sinta menggeleng.

"Tidak aku hanya ingin tetap di sini."

Tanpa di sengaja, Sinta melihat Rama sedang mengobrol dengan gadis lain dan berjalan menghampirinya. Dia lupa kalau dia dan Rama sudah berpisah.

Sinta mendekat pada Rama dan menegurnya, "Kenapa kau di sini? Apalagi berduaan dengan wanita lain selain aku. Aku ini kan istrimu, harusnya aku yang ada di sini, bukan dia."

Rama menatap Sinta dengan bingung.

"Aku tidak mengerti."

"Pokoknya kau harus tetap bersamaku!"

"Iya, baik."

"Kalau begitu ayo kita ke kamar." Sinta menggandeng tangan Rama dan mengajaknya ke kamar Rama.

Saat sampai di kamar, Sinta melepaskan tangannya dan terus memandang Rama.

"Ada apa?"

"Kau terlihat sangat tampan!"

Rama tersenyum bangga. " Kau baru sadar kalau suamimu ini sangat tampan?"

Sinta menggeleng.

"Tidak sih. Kau tidak tampan, tapi kau lucu sekali dan pipimu yang merah itu membuatmu semakin imut saja," kekeh Sinta sambil mencubit pipi Rama dengan kedua tangannya.

"Auch sakit tahu!" keluh Rama.

"Maaf. Tapi kamu juga lucu, makanya aku tidak bisa berhenti tertawa. Hahaha." Lagi-lagi Sinta tertawa dan membuat Rama kesal.

"Emm, Rama, kalau kau tidak keberatan, apa aku boleh menciummu?" pinta Sinta pada Rama. Rama menggelengkan kepalanya.

"Tidak boleh." Sinta tidak menghiraukan jawaban Rama dan mencium pipinya kemudian tersenyum.

Rama membawa Sinta ke _rooftop_ di sana, ada beberapa tanaman hias seperti bunga mawar dan tanaman hias daun.

Mereka duduk bersama sambil tertawa bercanda.

"Oh ya, apa kau tahu apa impianku?" tanya Sinta. Rama menggeleng.

"Tidak, memang apa impianmu?" Sinta tersenyum.

"Itu, aku ingin ini," ucapnya sambil menunjuk Rama.

"Apa? Untuk apa?"

"Untuk apa?"

"Ya untuk hiasan. Kau ini dasar payah."

"Tapi ini kan---"

"Tapi apa? Apa kau tidak mau memberikannya sayangku? Apa kau tidak cinta lagi ya sama aku?" Sinta mulai merengek seperti bayi.

Rama yang mendengarnya pun berusaha menenangkan Sinta.

"Tenang. Baiklah, kau boleh mengambilnya." Sinta tersenyum.

"Oh ya, lalu mana?" tanya Sinta sambil mengulurkan tangannya.

"Apa?"

"Itu? Hatimu. Emm tidak-tidak, aku salah. Aku ingin brosmu, itu saja. Itu Bros yang ada di bajumu."

"Oh jadi yang dia maksud itu bros, aku kira apa. Sebentar, aku akan memberinya." Rama hendak melepaskan brosnya namun Sinta mencegahnya.

"Tidak, jangan dilepas. Bros itu cocok dipakai untuk mu, kau terlihat tampan jika memakainya." Rama tersenyum.

"Baiklah."

Tiba-tiba hujan turun dengan deras.

Sinta tersenyum.

"Hujan, yeey! Aku suka hujan!" kata Sinta sambil bermain hujan-hujanan hingga baju nya basah kuyup. Meski begitu, dia terus saja bermain hujan-hujanan.

Sinta melihat Rama duduk di bangku putih itupun memanggilnya, "Rama, kau sedang apa? Ayo sini!"

Rama menggeleng.

"Tidak, aku tidak ingin hujan-hujanan, oh ya, kau kenapa kau terus saja bermain-main seperti itu? Nanti kau bisa masuk angin," tegur Rama. Sinta tidak mendengarkan perkataan Rama dan sibuk bermain hujan-hujanan.

Rama berjalan menghampiri Sinta.

"Sinta? Apa kau tidak dengar---" ucapan Rama terpotong saat melihat Sinta menatapnya. Sinta menundukkan tatapannya dan Rama membelai rambut Sinta sebentar kemudian mengajaknya duduk di bangku kembali.

Sesaat, dia kembali merasakan getaran cinta itu dan jantungnya berdegup kencang tak karuan.

_Dag Dig Dug_

Rama terus memandangi Sinta.

"Sinta, aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

"Katakan."

"Aku mencintaimu. Setiap saat aku selalu merindukanmu."

"Aku juga. Tapi aku sedih. Kau pernah pacaran di belakangku. Aku sakit hati saat melihatmu dengan wanita lain."

Rama menunduk.

"Aku minta maaf," ucapnya. Sinta tersenyum.

"Tidak masalah, tapi aku mohon....jangan mengkhianati aku lagi," pinta Sinta dengan mata yang berkaca-kaca.

Rama tersenyum.

"Aku berjanji. Oh ya, boleh aku mengatakan sesuatu padamu? Kau adalah wanita paling cantik yang kumiliki, aku mencintaimu," ucap Rama sambil memakaikan sebuah mahkota kertas di kepala Sinta.

"Apa ini?"

"Mulai sekarang, kau adalah ratu di hatiku." Sinta tersenyum.

Sementara di sisi lain, Rangga bingung karena Rama tidak ada di pesta. Ia pun mencarinya bersama dengan yang lain.

"Rama!" panggil Rangga.

Rama yang mendengar Rangga memanggilnya kemudian berkata, "Sebentar ya, aku pergi dulu. Ayah memanggilku."

"Tapi? Bagaimana kalau kau berbohong dan pergi jauh dariku?"

"Tenang, itu tidak akan terjadi." Rama mengikatkan tangannya dan tangan Sinta menggunakannya sebuah kain putih.

"Kau akan selalu bersamaku begitupula sebaliknya." Sinta tersenyum.

Tanpa disengaja, semua orang melihat Rama dan Sinta sedang bermesraan di teras dan terkejut.

"Apa yang kau lakukan, Rama?" tanya Rangga. Rama tersenyum.

"Tidak ada hanya menghabiskan waktu dengan cintaku."

"Dengar Rama, kau akan segera menikah dengan Kirana, jaga sikapmu," tegur Farah.

"Iya, itu benar. Kita akan segera menikah," lanjut Kirana.

Mendengar perkataan ibunya dan Kirana, Rama justru tertawa.

"Oh ya? Kalau begitu pernikahannya dibatalkan. Sinta sudah kembali dan aku hanya ingin bersamanya," balas Rama.

Sedangkan Sinta hanya diam dan menahan tawanya.

Tiba-tiba Rama menguap. "Sudah ya, aku lelah sekali. Aku mau tidur dulu. Dah!" Rama dan Sinta pergi ke kamar dan tertidur bersama.