Ciit ... Rekka menginjak remnya ketika melihat Crystal yang hendak membuka taksi putih di depan rumahnya. Tanpa mematikan mesin mobilnya, Rekka keluar dari mobil dan berjalan cepat menghampiri dan meraih lengan Crystal yang sudah memgang pegangan pintu sehingga wanita di depannya dengan kaos putih polos yang dilapisi jaket kulit cokelat dengan celana jins pensil menengok.
"Mau kemana? Sudah aku bilang akan kutemani,"ucap Rekka dengan nada yang agak meninggi.
"Maaf. Aku khawatir dan tidak bisa menunggu lama."Crystal menundukkan kepalanya dengan wajah sedih. Melihat wajah sedih dari wanitanya, Rekka mendesah karena membuat wanitanya bersedih dengan perkatannya yang sedikit kasar. Ia melepas genggaman tangannya pada Crystal, membuka pintu penumpang taksi untuk membatalkan pesanan taksi Crystal dengan memberi uang pada supir tersebut.
"Memang kamu mau mencarinya kemana sendirian?" tanya Rekka setelah taksi tadi pergi meninggalkan mereka yang saat ini berdiri berhadapan satu sama lain. Crystal mendongakkan kepalanya memberikan ekspresi wajah bingung.
"Entahlah. Aku juga tidak tahu mau mulai mencarinya dimana. Tapi aku harus menemukannya, dia pasti ketakutan." Mata Crystal mulai berkaca-kaca jika membayangkan sahabatnya bangun di tempat asing atau lebih parahnya jika sahabatnya bersama lelaki asing. Seingatnya, sahabatnya itu menjadi benci laki-laki setelah kejadian yang pernah menimpa sahabatnya dulu. Sahabatnya, Kartika berteriak histeris jika didekati laki-laki setelah kejadian itu. Namun lambat laun keadaan mulai membaik, Kartika tidak berteriak histeris tapi dia masih enggan berdekatan dengan lelaki apalagi berduaan. Tanpa disadarinya, bulir air mata terjatuh di pipinya.
"Kita akan menemukannya. Dia akan baik-baik saja. Percayalah padaku." Rekka menghapus jejak air mata di pipi Crystal dengan ibu jarinya sembari menunjukan senyuman lembut kepada Crystal bahkan sesekali lesung di pipinya terlihat. Crystal pun mengangguk memegang perkataan Rekka.
Rekka pun memandu Crystal masuk ke dalam mobilnya, ia pun ikut naik di kursi pengemudi. Sebelum menjalankan mobilnya, Rekka mengambil ponselnya dan mencari nama seseorang yang bisa membantunya. Tiga deringan terdengar, namun orang yang ia hubungi tidak menjawabnya. Ia pun mencoba kembali sampai panggilannya diangkat.
"Hmm..." Suara parau orang bangun tidur terdengar.
"Apa kamu baru bangun tidur?" tanya Rekka. Crystal yang ada di samping menatapnya penuh tanya. Rekka meraih tangan Crystal yang berada di atas pahanya, menggengam pelan masih menunjukan senyuman manisnya.
"Of Course, Jam berapa ini? Masih pagi!"
"Ini sudah jam sepuluh, sudah tidak bisa dikatakan pagi."
"Really! Aku baru bisa tidur pagi tadi. Ak-"
"Aku butuh bantuanmu. Bisa kita bertemu di klub kemarin?" tanya Rekka sebelum lawannya menyelesaikan kalimatnya.
"Kamu bercanda? Ini masih pagi dan klub akan buka malam."
"Kamu bisa minta pemilik klub yang aku tebak sedang tidur di sampingmu untuk membukanya untukku. Aku ingin mencari seseorang." Terdengar makian di sebrang sana. Rekka hanya bisa diam mendengarnya menunggu jawaban lawannya.
"Fine! Sejam lagi kita kesana." Sambungan langsung terputus oleh lawannya. Rekka pun menaruh ponsel tipisnya ke dalam saku jasnya dan menatap ke arah Crystal.
"Kita akan mulai mencari di klub. Kita ikuti jejaknya melalui CCTV yang terpasang disana." Mendengar penjelasan Rekka, Crystal pun tersenyum bahagia seakan mendapat pencerahan dari pria nya yang jenius dan bisa diandalkan. Tanpa keraguan, Crystal memeluk erat pria di depannya dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang karena mau menemani sekaligus membantunya.
Rekka membalas pelukan Crystal, sembari mengusap lembut kepalanya. Tidak ingin membangunkan pikiran kotornya, Rekka melepaskan pelukannya dan menginjakan gas untuk menghampiri orang yang ia bangunkan tadi melalui panggilan telponnya.
ᴓ
"Jadi, kamu membangunkanku karena temannya tidak pulang semalaman setelah pesta kemarin?" Olivia melipat tangannya ke dada sehingga buah dadanya yang besar pun menonjol dengan kebanggan. Dengan tatapan ke arah lantai, Crystal mengangguk pelan karena tidak sanggup menerima tatapan tajam Olivia yang tak lain ketua Sekertaris di tempatnya bekerja. Meskipun ia sekarang sudah ditugaskan menjadi sekertaris untuk salah satu chief dari devisi perusahaan, namun setiap sebulan sekali ia harus berhadapan dengan Olivia untuk menyerahkan laporan bulanan akan pekerjaannya. Tekanan yang ia rasa setiap bulan kini hadir kembali saat ia berdiri di hadapan Olivia.
"Tolong kami Olivia!" Rekka mencoba membantu Crystal yang terlihat sedikit ketakutan di hadapan Olivia.
"Siapa namamu nona?" tanya Olivia setelah menghela napas pendek.
"Crystal. Crystal Purnama." Crystal pun mendongakkan kepalanya ketika menjawab pertanyaan Olivia kepadanya. Olivia saat ini menaikkan sebelah alisnya dan sudut bibirnya ikut terangkat.
"Tidak usah kaku seperti itu. Relax." Olivia menepuk pelan pundak Crystal yang terlihat kaku. "Apa kamu tidak terpikir, jika temanmu, mungkin ... mungkin bertemu teman baru yang menarik. Kamu tahu maksudku bukan?" Olivia mengedipkan matanya, "Mungkin temanmu itu pergi dengan orang menarik. Lelaki tampan mungkin."
"TIDAK MUNGKIN!"Crystal mulai berteriak tanpa sadar, membuat Olivia agak kaget. Menyadari kebodohannya, Crystal mengulangi perkatannya dengan lembut, "Tidak mungkin. Kartika tidak mungkin pergi dengan lelaki manapun. Dia takut dengan lelaki."
Mendengar alasan Crystal akan kekhawatirannya. Olivia menghela napas pendek, menepuk pundak Crystal untuk membuatnya tenang dan menghampiri lelaki di sampingnya yang duduk sembari sibuk dengan laptopnya yang tersambung dengan kabel internet dan mesin DVR(Mesin yang menghubungkan kamera cctv, sebagai media penyimpanan dan penyambung ke monitor).
"Apa ini temanmu?" tanya Olivia saat menemukan seorang wanita dengan ciri-ciri yang diberikan Crystal padanya. Crystal pun mendekatkan diri ke monitor untuk melihat dengan jelas, seorang wanita yang tak lain Kartika sedang dikelilingi dua lelaki asing.
"Benar. Itu Kartika. Ia terlihat ketakutan." Crystal bisa melihat tubuh Kartika yang sedikit bergetar memaksakan diri untuk tidak panik. Kartika menerima satu gelas minuman yang diambil lelaki itu dari nampan pelayan yang berjalan mondar-mandir menawarkan minuman. Mereka pun mempercepat sedikit video.
"Berhenti!" ujar Rekka saat mendapati kedua orang tersebut memasukkan sesuatu di minuman. Saat itu juga dia teringat ucapan Leo tadi pagi mengenai dua karyawan yang mencoba membuat skandal. "Bisa minta salinan untuk video ini dari menit 30-45," pintanya. Ia ingin menyimpan salinan itu sebagai bukti kedepannya, jika mungkin ada hal yang tidak diinginkannya terjadi.
Setelah pemilik klub atau kekasih Olivia menyimpan salinan video yang di minta Rekka, dia melanjutkan kembali menelusuri jejak Kartika di dalam video. Disana setelah menghabiskan tiga gelas minuman yang di tawarkan kedua lelaki itu, termasuk gelas yang di campur sesuatu, Kartika berjalan menuju sebuah lorong. Dengan cekatan video di pindahkan ke kamera lain yang menampilkan sebuah lorong. Disana terlihat Kartika masuk kedalam kamar kecil.
"Lihat tuan muda kita berjalan dengan sok!" kata Olivia ketika menangkap sosok Leo yang berjalan setelahnya ke kamar mandi. Tak selang berapa lama kedua lelaki itu datang dan masuk ke kamar mandi, Leo pun keluar dari kamar mandi.
"Oh… Crystal, sepertinya temanmu dalam masalah besar." Olivia menatap dengan seringaian jail ketika video itu menampilkan sosok Kartika yang memeluk tubuh Leo dari belakang. Seringaian yang ditunjukkan Olivia kini berubah. Mulutnya kali ini terbuka lebar diikuti dengan mulut Crystal saat melihat Leo dan Kartika saling berciuman. Disaat yang sama Rekka segera meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Leo. Tidak ada jawaban. Sosok Fajri didalam video, membuat Rekka mengganti panggilan ke kakak-nya.
"Dimana semalam kamu membawa Leo?" tanya Rekka tiba-tiba ketika Fajri menjawab panggilannya. Olivia dan Crytsal yang mendengar langsung mengalihkan pandangannya ke arah Rekka.
"Sialan!" Rekka mulai mengumpat. "Aku yang akan bertanggung jawab, beritahu aku dimana kamu mengantarnya?" Wajah Rekka yang tadi tenang berubah geram ketika kakakknya memutus panggilannya sepihak tanpa menjawab pertanyannya.
"Bagaimana?" tanya Olivia yang paham akan sifat teman laki-laki dan partner kerjanya itu.
"Aku akan mencari di hotel yang biasa ia datangi," jawab Rekka setelang menggeleng menjawab pertanyaan Olivia. Crystal mendengar kata 'hotel' segera meremas lengan Rekka.
"Apa maksudnya hotel?"
"Bukan apa-apa. Kamu tunggu disini dengan Olivia, biar aku yang mencarinya." Rekka mencoba melepas tangan Crystal yang kini semakin erat.
"TIDAK! Aku akan ikut! Aku bertanggung jawab karena meninggalkannya di pesta. Aku harus ikut." Crystal menatap tajam kearah Rekka. Ia tidak mau menunggu lagi. Ia benar-benar khawatir dengan sahabatnya.
"Baiklah." Rekka pun mendesah pasarah dan membawa Crystal bersamanya setelah berpamitan dengan Olivia dan kekasihnya. Olivia hanya bisa mendoakan semoga tidak terjadi apa-apa dengan wanita yang mereka cari. Jika melihat sifat Leo, ia tidak yakin akan doanya sendiri.
Mereka pun pergi ke beberapa hotel mewah dan berbintang di kawasan Jakarta. Rekka dengan pasti melangkah ke arah resepsonis setelah memarkirkan mobilnya. Crystal mengekor di belakangnya setengah berlari karena Rekka berjalan begitu cepat. Saat Crystal sudah mendekat, Rekka membalikan tubuhnya menghadap ke Crystal yang terengah-engah. Rekka menatap Crystal yang bersusah payah, langsung mengengam erat tangannya.
"Mereka tidak ada disini. Kita cari di tempat lain." Ia menarik tangan Crystal secara lembut dengan berjalan pelan mengikuti langkah kaki Crystal. Sikap Rekka yang tiba-tiba tanpa banyak kata selalu berhasil membuat dadanya berdetak dengan cepat.
Rekka mendesah di dalam mobil sembari mencengkram stirnya dengan kuat. Tangan bebasnya kali ini mengusap wajahnya. Ia terlihat begitu berantakan. Merasa tidak enak karena membuatnya seperti itu, Crystal memberanikan memegang pundaknyaa dengan lembut. Rekka menoleh kesmaping menatap wajah Crystal yang menatapnya dengan tatapan sedih.
"Maaf." Satu kata yang keluar membuat Rekka sedih. Ia tidak suka jika melihat wanita yang berhasil mengisi hatinya yang selalu kosong memasang wajah sedih. Rekka memegang tangan kecil yang ada di pundakknya dan meraihnya hingga mendekat ke dirinya sembari menggengamnya dengan kedua tangannya.
"Jangan minta maaf. Aku yang harus minta maaf karena masih belum bisa membantumu menemukannya." Rekka melepaskan salah satu tangannya dari tangan Crystal untuk mengaitkan anak rambut Crystal yang jatuh di pipinya ke belakang daun telinganya. Setelahnya tangan itu mengelus pelan pipi putih Crystal. "Kita akan menemukannyaa. Aku janji padamu,"janjinya kepada Crystal. Ia pun menyalakan mobilnya dan menjalankannya.
"Kita mau kemana sekarang?"tanya Crystal masih penuh tanda tanya, karena tatapan Rekka lurus kedepan dengan yakin.
"Kita akan ke tempat pribadinya," bisiknya pelan. Ia berharap dugaan terakhirnya benar. Ia tidak ingin melihat wajah sedih dari gadis disampingnya karena merasa bersalah meninggalkan temannya di pesta dan belum kembali sampai sekarang.
Citt... Suara decitan ban mobil yang di rem terdengar nyaring di penjuru parkiran. Rekka memperlambat laju mobilnya dan memakirkan tepat di samping mobil merah yang sangat dia kenal, mobil milik Leo. Ia keluar dari mobil, berlari kecil ke arah pintu Crystal dan membukanya. Setelah Crystal sudah berdiri di sampingnya, Rekka mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi tuan mudanya. Suara dering ponsel yang ia kenal terdengar samar, ia pun mencarinya dan ternyata ponsel yang dia hubungi sedang tergeletak tanpa bersalah di bawah tumpukan maap di kursi penumpang dalam mobil merah di sampingnya. Ia mendesah setengah kesal mematikan sambungannya dan mengenggaam tangan Crystal.
"Kita mau kemana?" tanya Crystal ketika mengikuti Rekka.
"Ke tempat pribadinya. Aku harap hal yang tidak diinginkan tidak pernah terjadi."
"Hal apa?" Pertanyaan Crystal kali ini hanya mendapat kebisuan dari Rekka. Ia terdiam menatap layar di lift yang menunjukkan nomor lantai yang sedang dielewati dengan masih mengenggam tangan kecil Crystal di sampingnya. Crystal yang merasa ada sesuatu hanya bisa diam sembari menggengma balik tangan hangat Rekka.
Lift pun berhenti di lantai tertinggi gedung ini dan terbuka. Sebuah pintu putih besar tampak indah dan berdiri kokoh tepat di hadapan mereka. Rekka melepaskan genggamannya untuk mengambil sebuah kartu di dalam dompet hitamnya. Ia menggesekan kartu tersebut di sebuah mesin kecil di samping pintu dan menekan beberapa kode. Terdengar suara sesuatu terbuka. Ia meraih kunci di kantung celananya dan memasukannya di lubang kunci pada pintu tersebut sembari memutar kunci tersebut. Terlihat rumit memang, mau bagaimana lagi pemilik tempat ini sangat menjunjung tinggi sebuah privasi. Tidak semua orang bisa memasuki tempat ini kecuali sang pemilik, kepala asisten rumah tangga yang datang beberapa hari sekali dan dirinya saja sebagai asisten pribadi sang pemilik yang tak lain Leonardo Kandou.
Dengan pelan Rekka membuka daun pintu tersebut dan masuk kedalam diiringi dengan Crystal yang tangannya di genggam kembali oleh Rekka. Disana, mereka mendapati pemiliknya sedang menghadap pada kaca jendela besar dengan seseorang. Mereka berdua berjalan mendekat sembari sesekali Rekka memanggil pelan nama Leo dan tidak di pedulikan. Mulut Crystal langsung menganga membentuk huruf 'o' ketika melihat siapa orang di hadapan bosnya itu, yang tak lain Kartika sahabatnya. Mereka saling berciuman begitu mesra, entah mengapa terbesit rasa iri dipikiran Crystal. Bukan karena ia menyukai Leo tapi ia iri dengan cara mereka berciuman dimana Rekka jarang sekali melakukan padanya.
"Kartika." Crystal memanggilnya pelan. Tidak ada respon. Mereka berdua masih saling bertauatan satu sama lain. Crystal mempererat genggamannya kepad Rekka seakan meminta tolong menghentikan mereka berdua. Menyadari kekalutan dalam diri Crystal, Rekka pun mulai berteriak kencang.
"LEO!"
Panggilan keras Rekka kali ini berhasil menyadarkan Kartika ke alam sadarnya. Ia mendorong keras Leo hingga ia jatuh ke belakang dengan pantat yang mendarat langsung ke lantai. Kartika memandang nanar wajah Leo sembari mengosok bibirnya dengan keras. Ia pun mulai berlari keluar menuju pintu yang tadi tidak bisa ia buka, saat ini terbuka lebar. Ia melewati Crystal dan Rekka begitu saja. Sekilas Crystal dapat melihat bulir air mata Kartika yang jatuh. Ia pun segera melepas genggaman tangan Rekka dan segera mengejar sahabatnya. Kartika menekan-nekan tombol lift dalam isakan. Pintu pun terbuka. Ia masuk kedalam diikuti Crystal dan Rekka yang entah sejak kapan ikut mengejar. Mereka bertiga terdiam di dalam lift.
Tubuh Kartika mulai merosot. Crystal ikut berjongkok meraih tubuh sahabatnya yang gemetar. Ia memeluk tubuh itu dengan erat tanpa bersuara membiarkan Kartika mengangis dalam bisu. Rekka yang merasa asing dengan keadaan yang pertama kali ia hadapi hanya bisa diam memandang kedua perempuan di depannya. Ia mendesah pelan dan menekan tombol lift untuk mengantarkan mereka ke tempat parkir. Setelah pintu lift terbuka, ia mengambil semua barangnya dari kantong jas mdan menyerahkan kepada Crystal yang saat ini membantu Kartika berdiri.
"Biar aku antar kalian." Rekka menyerahkan jasnya kepada Crystal agar ia bisa menggunakan untuk Kartika yang saat ini hanya menggenakan pakaian minim. Setelahnya ia pun mengantar mereka berdua ke rumah kontrakannya dalam keheningan. Sesekali Rekka melirik Crytal yang masih memeluk temannya sambil menggesekkan tangannya kepada pundak Kartika melalui kaca spion di tengahnya. Ketika sampai di depan rumah mereka, Rekka dengan segera membukakan pintu untuk kedua wanita di dalam mobilnya. Kartika langsung melesat keluar mobil dan masuk kedalam rumah dengan bantingan pintu.
"Maaf dan terima kasih sudah mau menemaniku," ucap Crystal yang merasa tidak enak dengan sikap kalut Kartika kepada Rekka. Rekka tersenyum lembut ke arah Crystal dan mengelus lembut rambut panjangnya yang terurai.
"Sudah menjadi kewajibanku menemanimu. Aku yang harusnya meminta maaf atas apa yang terjadi." Kartika menggeleng sembari menyambar tangan Rekka.
"Jangan Minta maaf." Ia membalas senyuman Rekka, "Aku harus masuk. aku akan berbicara dengan Kartika, jika dia tidak mau berbicara setidaknya aku menemaninya."
"Baiklah." Rekka mendesah pelan, "masuklah. Temani temanmu. Jangan biarkan dia sendiri dalam keadaan seperti ini. Aku akan kembali dulu."
"Hati-hati di jalan," ucap Crystal ketika Rekka hendak berbalik berjalan, namun terhenti menatap Crystal kembali. Ia mendekatkan tubuhnya dan mengecup pelan dahi wanita di depannya. Ia tersenyum setelahnya dan berjalan masuk kedalam mobil dan menjalankan mobilnya.
Crystal hanya bisa tersenyum sendiri menatap mobil hitam Rekka yang sudah menghilang dari jalanan di rumahnya. Rasa hangat di dahinya masih terasa, dadanya semakin berdebar kencang. Ia menarik pemikirannya akan rasa iri saat ia melihat Kartika tadi. Dia cukup puas dengan pria yang ia kencani saat ini, meskipun tidak banyak bicara tapi perbuatannya selalu berhasil membuat Crystak melayang diudara.
'Bodoh! Bukan saatnya bahagia sendiri.' Menyadari akan tingkah bodohnya, Crystal pun masuk kedalam Rumah dan melihat keadaan Kartika. Ia mencari Kartika kedalam kamarnya namun kosong seperti tadi pagi. Ia pun berkeliling dan mendengar suara gemericik air di dalam kamar mandi. Ia pun mengetuk pelan pintu kamar mandi. Tidak ada jawaban.
"Kartika kamu ada d idalam?"
Hening.
"Kumohon katakan sesuatu. Jangan membuatku khawatir."
"Aku ingin sendiri. Tinggalkan aku sendiri." Kartika bersuara dengan lirih dari dalam tapi masih terdengar oleh Crystal yang ada di luar.
"Aku tidak akan membiarkanmu sendiri. Bicara padaku Kartika, jangan mengurung dirimu di dalam."
"Aku..."suara isakan terdengar, "Aku akan berbicara denganmu. Nanti. Tidak sekarang. Biarkan aku sendiri," lanjutnya dengan lancar kali ini setelah mengumpulkan tenaganya.
"Aku akan menunggumu di depan sini," jawab Crystal yang saat ini duduk tepat di depan pintu kamar mandi sembari bersandar di tembok putih belakangnya. Kartika hanya diam tak menjawab. Sekarang ia hanya bisa meringkukan tubuhnya di atas dudukan toilet yang dia tutup.
Ia mengutuki dirinya sendiri kali ini akan apa yang terjadi barusan. Kartika tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Ia membalas ciuman pria itu. Ia menerima begitu saja pria asing itu begitu saja. Ia bingung dengan dirinya sendiri, lebih tepatnya tubuhnya yang begitu saja menerima dan seakan percaya kepada pria tidak dikenalnya. Yang lebih tidak masuk akal, suara pria itu berhasil menyihir dirinya. Menyihir dirinya menjadi dirinya yang dulu yang sudah lama ia lupakan.
'Siapa dia? Kenapa aku merasa mengenalnya? Kenapa dia memanggilku Chika?' Berbagai pertanyaan muncul dalam pikiran Kartika. Dia merasa tidak pernah bertemu dengan orang itu, tapi ia merasa begitu akrab dan familiar. Chika. Nama itu, nama panggilan kecilnya. Tidak ada yang pernah memanggilnya dengan nama itu. Tidak ada siapapun setelah semua orang yang ia sayangi meninggalkannya.
Kartika mulai memeluk erat tubuhnya yang bergetar. Air matanya turun kembali dengan cepat ketika ia mengingat semua orang yang meninggalkannya. Ibunya, kakeknya dan ayahnya yang pergi begitu saja meninggalkan Kartika sendirian, kesepian dan bersedih seperti ini.
'Ya tuhan, Aku merindukan mereka. Aku sangat merindukan mereka,' batinnya dalam tangisan pilu yang keluar dari mulutnya.
ᴓ
Rekka membuka kembali pintu putih megah itu setelah mengantar Crystal dan Kartika kembali ke rumah mereka. Ia mendapati Leo sedang duduk pada sofa sembari menegak minuman kerasnya yang menghaabiskan setengah botol di depannya. Rekka mendekat ke arah atasannya yang termasuk sahabatnya yang sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Ia berdiri tepat di hadapannya. Menyadari kehadiran Rekka, Leo mendongakan kepala menatap Rekka sembari tersenyum khas orang yang mabuk.
"Bagaimana keadannya?" tanya Leo setelah menyesap minuman di gelasnya.
"Apa wanita yang tadi kamu singgung itu Kartika?" tanya Rekka tanpa perlu menjawab pertanyaan Leo, entah kenapa saat ini suasana hatinya tidak bisa tenang.
"Apa wanita yang mendorongku di lift itu nyata?" tanya Leo kembali sembari menatap tajam kearah Rekka. "Kenapa kamu membohongiku?"
"Karena jika aku memberitahumu, kamu akan langsug memecatnya." Rekka berusaha menenangkan diri. Leo hanya bisa mendesis mendengar jawaban Rekka dan mengeluarkan seringai khas di bibirnya.
"Aku tidak sekejam itu."
"Kenapa kamu membawanya kemari? Kamu tahu apa yang terjadi padanya bukan? Dan keadannya tidak baik-baik saja. Ia menangis sepanjang perjalanan." Seringai yanag muncul dari wajah Leo menghilang. Ia meletakan gelasnya dan mengusap wajahnya.
"Ia yang memulai terlebih dahulu."
��Kamu bisa menolaknya seperti biasa bukan. Seperti wanita yang kau bilang murahan yang sering kau tolak dengan mudahnya."
"Harusnya seperti itu." Leo terdiam menatap kosong kepada botol di depannya, "tapi, bagaimana aku bisa menolak Chika-ku yang muncul begitu saja di hadapanku."
Rekka terdiam kaget, tidak percaya dengan perkataan Leo. Rekka berusaha menutupi keterkejutannya sembari ikut duduk pada sofa single di sebelah sofa panjang dengan menunjukan wajah seedatar mungkin. Ia menunggu Leo melanjutkan penjelasannya dalam diam.
"Aku begitu mengenal aroma tubuh Chikaku yang sama dengan wanita itu. Bukan hanya aromanya yang sama, kekehannya ketika tertawa, senyumnya, gigi kelinci dan tatapan matanya. Semuanya sama. Tak salah lagi dia adalah Chikaku. Dia ada disekitarku selama empat tahun ini. Ia bekerja di perusahanku dan aku tidak menyadarinya."
"Kamu tahu dia kerja di perusahan selama empat tahun?"
"Aku menyelidikinya."
"Apa kamu tahu dia takut dengan laki-laki karena kejadian dimasa lalunya?" Leo menatap lurus ke arah Rekka dan mengangguk pelan, "dan kamu masih mendekatinya seperti lelaki kelaparan?"
Merasa kesal dengan ucapan Rekka. Leo berdiri dari tempatnya dan berjalan meninggalkan Rekka tanpa menjawab pertanyannya.
"Aku tidak tahu kalau kamu seorang pengecut seperti ini, Leo?" sindir Rekka yang mulai tersulut. Tidak terima dengan sindiran Rekka, Leo berbalik menatap tajam kearahnya dengan rahang yang terbentuk sempurna itu mulai mengeras menggeretakan giginya.
"Aku tidak pengecut." Leo mulai membanting vas bunga pada meja di dekatnya kesamping, "Brengsek." Ia mengambil napasnya yang terputus-putus karena amarah pada dirinya sendiri.
"Kau bilang aku kelaparan? Hah ... begitu kelaparannya aku bahkan hanya bisa menatapnya saat dia tidur." Leo berjalan mundur hingga menyentuh tembok di belakannya, menyisir rambutnya, "apa kau tahu rasanya ketika gadis yang kau damba ada di hadapanmu tetapi tidak bisa berbuat apa-apa? Kau tahu rasanya ketika takut menyakitinya?"
Rekka menatap Leo dengan tatapan tidak percaya dengan yang ia katakan. Seorang Leo yang selalu berhasil merebut hati setiap wanita yang ditemuinya, kini terlihat begitu lemah terhadap seorang yang didambanya. Ia terlihat begitu mencintainya bahkan terlihat seperti cinta mati. Leo yang merasa dongkol akan dirinya mencoba berdiri tegak dan mengambil jasnya yang ia taruh di atas sofa.
"Mau kemana kamu?" Rekka berdiri dari tempatnya dan berjalan mendekat ke arah Leo.
"Ke tempat Alex. dia akan mengadakan pesta. Akau akan beristirahat sebentar dengan teman kencannya disana." Leo pun mencoba berjalan dengan lurus. Ia mengerjapkan matanya yang sedikit buram. Melihat cara berjalan yang menngkhawatirkan, Rekka meraih lengan Leo dan mengalungkan di lehernya untuk menuntun Leo berjalan.
"Kamu sedang mabuk. Lebih baik kamu istirahat di kamarmu." Rekka merubah haluan ke arah kamar Leo di atas.
"Sialan. Jangan mengaturku, Kau sedang aku liburkan. Tinggalkan aku sendiri." Leo mencoba berontak, tapi karena perngaruh alkohol di tubuhnya ia tidak bisa lepas dari Rekka yang tenaganya memang lebih kuat.
"Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri. Aku telah berjanji kepada kakekmu kalau aku akan selalu menjagamu. Lagipula jika aku meninggalkanmu sendiri, kau selalu membuat kekacauan atau menghilang berminggu-minggu seperti waktu itu."
"Cih, Kau begitu cerewet seperti ibu-ibu. Bahkan ibuku sendiri tidak peduli denganku sampai dia meninggal." Leo memasang tambang kesalnya, setelahnya ia terkekeh tidak jelas, "Jika ada orang yang lain mendengar ucapanmu, mereka pasti mengira kita ini pasangan gay."
"Aku sudah sering mendengarnya." Rekka menjawabnya dengan muka datar. Ia memang sering dengar orang-orang di sekitarnya menganggap dia gay sejak kuliah, karena dia selalu sendirian berada di samping seorang Leonardo Kandou yang suka bermain dengan wanita. Awalnya dia sedikit kesal, namun kelamaan dia tidak memperdulikannya. Ia sendirian bukan karena dia gay atau semacamnya, tapi ia hanya belum menemukan orang yang tepat di hatinya. Namun semua itu berubah ketika ia bertemu dengan Crystal, wanita itu berhasil mengisi kekosongan hatinya dan memahami dirinya yang tidak terlalu banyak berbicara.
"Ia tidak mengenaliku." Ngigauan Leo berhasil membuyarkan lamunan Rekka. Ia melirik kearah Leo yang ada disampingnya. Ia sudah tertidur. Dengan pelan ia meletakan tubuh Leo diatas kasur tanpa suara. "Ia melupakanku, ketika aku begitu mengingat dan merindukannya."ngigauannya terdengar semakin pelan dan menghilang. Leo pun terlelap dalam tidurnya.
Rekka mendesah pelan melihat atasannya, sekaligus teman dan orang yang dianggapnya adik yang terlihat begitu lemah. Ia duduk di pinggir kasur dan meraih ponsel di dalam kantung celananya. Ia menghubungi seseorang yang juga berhasil membuatnya rindu meski baru saja bertemu.
"Hai, bagaimana keadaan disana?" Tidak bisa di pungkiri, ia juga merasa khawatir kepada Kartika yang hanya terdiam dan menangis selama perjalanan saat mengantarnya.
"Dia sudah tenang, tapi aku memberi dia waktu untuk sendiri saat ini. Aku akan menunggunya untuk berbicara."Crystal menjawabnya dengan nada pasrah.
"Kamu sudah makan?"
"Belum, nanti aku akan makan bersama dengannya. Apa kamu akan kesini nanti?"
"Aku tidak berjanji. Tapi aku usahakan akan kesana." Saat ini, dia tidak bisa membiakan orang di belakangnya ini sendiri. Ia haus mengawasinya.
"Baiklah. Sampai jumpa nanti."
"Hm.."
"Aku mencintaimu," ucap Crystal tiba-tiba sebelum ia memutus samabungan begitu saja. Rekka yang mendengar ucapannya hanya bisa diam dan tetap membiarkan ponsel tipis itu di depan daun telinganya meski pasangannya sudah menutupnya. Wanita ini selalu mendahuluinya. Merasa tidak mau mengalah Rekka pun mengutak-atik ponselnya sesaat dan mematikannya.
Di tempat lain, Crystal yang sedang duduk diam di atas kursi meja makan terlonjak kaget saat ponselnya berdering. Ia membuka sebuah pesan yang masuk dan tersenyum bahagia dengan pesan yang ia terima.
'Aku lebih Mencintaimu. Jangan lupa makan.'
-Rekka-