Entah sudah berapa lama dia menekuk tubuhnya di atas kasur. Meski suara ketukan pintu dan panggilan temannya dari luar terdengar ia masih enggan untuk mengubah posisinya. Pikirannya masih melayangakan kejadian yang barusan ia alami. Kejadian yang harusnya membuat jijik malah terasa hangat di dadanya. Ia merasa ada sesuatu yang berubah dari dirinya. Seakan ia kembali menjadi dirinya dulu, menjadi wanita normal yang berdebar-debar hanya karena seorang laki-laki, bukan wanita abnormal yang selalu ketakutan dan waswas jika ada seorang laki-laki di sekitarnya. ia harus berbicara dengan seseorang. Seseorang yang bisa memberikan pencerahan akan semua hal baru yang ia alami.
Kartika mendongakan kepalanya, turun dari ranjang dan membuka pintu kamarnya dengan lebar. Ia mendapati Crystal yang sedang asik menatap layar ponselnya menatapnya kaget yang berdiri diam di depan pintu kamarnya. Crystal tersenyum ramah, berdiri dan menghampirinya.
"Aku lapar. Kamu mau aku buatkan sesuatu?" Kartika menggelengkan kepalanya. Crystal hanya bisa menarik pelan lengan sahabatnya ke arah dapur dan memintanya duduk di meja makan, "Aku akan buatkan sesuatu. Aku tahu kamu pasti belum makan sedari pagi sepertiku." Crystal mengedipkan sebelah matanya. Ia pun membuka kulkas kecil disana mengambil dua butir telur, wortel dan bumbu-bumbu yang bisa didapatkannya.
"Aku tidak lapar. Aku sudah makan." Crystal menatapnya tak percaya dan menggelengkan kepalanya sendiri. "Aku serius. Pria itu meninggalkan makanan di meja dan aku tidak sengaja memakannya." Kartika pun menundukkan kepala karena merasa malu jika mengingta perbuatannya yang menghabiskan makanan itu padahal niatnya hanya menCicipi.
"Baik, aku percaya. Tapi, kamu harus tetap duduk disini menemaniku makan." Crystal melayangkan senyum terindahnya kepada sahabatnya yang menatapnya lurus. Crystal pun melanjutkan pekerjannya memotong wortel membentuk memanjang dan tipis.
Merasa sudah merepotkannya, Kartika pun berdiri dari tempatnya untuk membantu membuatkan makanan untuk sahabatnya. Ia mengambil mangkuk kecil dan memecahkan dua butir telur yang dikeluarkan Crystal tadi dan mulai mengocoknya. Crystal yang melihat Kartika membantunya hanya bisa tersenyum lega karena sahabatnya ini bisa sedikit lebih tenang kali ini. Ia sempat khawatir jika Kartika kembali seperti dulu yang berteriak tidak jelas ketika mengingat kejadian yang menimpanya, menangis tanpa henti dan mengurung dirinya selama berhari-hari.
"Mau diapakan telurnya?"tanya Kartika sambil menyerahkan mangkuk tellur yang sudah ia kocok dengan halus. Crystal menatap Kartika masih dengan senyum di wajahnya, "Kenapa menatapku sambil tersenyum seperti itu sih? Kamu menakutiku." Pernyataan Kartika berhasil menyadarkan Crystal akan pikirannya.
"Maaf...Maaf... Aku kurang fokus sepertinya butuh air mineral."
"Iklan banget sih." Kartika ikut tersenyum mendengar kalimat Crystal yang sama persis dengan dialog pada suatu iklan di televisi. Crystal pun mengambil mangkuk yang diserahkan Kartika dan memasukan wortel yang sudah ia potong-potong dan tidak lupa bawang bombai yang barusan ia potong. Kartika membalikan badannya, bersandar pada meja dapur sembari mendesah pelan, bimbang akan apa yang hendak ia tanyakan pada Crystal yang saat ini mengaduk telur tadi.
"Bagaimana rasanya saat kamu melakukannya bersama Andika, dulu?" tanya Kartika setelah mengumpulkan keberaniannya. Ia saat ini bermain dengan ibu jarinya tanpa berani menatap Crystal.
"Melakukan apa?" Crystal yang tidak tahu arah pembicaraan Kartika, bertanya kembali akan pertanyan Kartika.
"Sex." Serasa ada tombol on off pada tubuhnya, Crystal sekarang terdiam beku ditempatnya dan menghentikan semua pekerjannya selama beberapa detik. Ia menoleh ke arah Kartika sambil menampilkan bentuk huruf 'o' dari mulutnya yang menganga.
"Apa maksudmu? Jangan bilang..." Crystal melepaskan semua benda dari tangannya dan memegang pundak Kartika sehingga mereka saling berhadapan, "Jangan bilang kamu melakukannya kemarin. Dia melakukannya padamu?"
"Tidak!" Kartika menaikan suaranya, "Maksudku, aku tidak tahu." Ia melepaskan diri dari Crystal dan duduk pada kursinya tadi.
"Apa maksudmu tidak tahu?"Crystal mengambil kursi dan mendekatkannya pada Kartika.
"Aku agak mabuk kemarin, sepertinya, aku tidak begitu ingat." Kartika memberi jeda sembari mengambil napas dalam, "aku hanya ingat samar-samar. Dia... dia menyentuhku, bahkan aku masih mengingat rasanya tapi aku tidak merasa kesakitan sama sekali seperti yang orang bilang. Aku tidak tahu." Kartika menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Apa kau tidak merasa nyeri sedikit pun di area kewanitaanmu?"
"Tidak pagi ini." Crystal menghela napas lega mendengar jawaban Kartika.
"Berarti ia tidak melakukan apapun padamu, sayang. Mungkin itu hanya bayanganmu saja."Crystal menepuk pelan pundak Kartika agar membuatnya tenang.
"Tidak mungkin. Aku tidak pernah sekali pun membayangkan hal seperti itu. Itu nyata, Crystal. Itu nyata. Bahkan tubuhku penuh dengan tandanya dan tidak bisa hilang." Kartika menarik kerah kaosnya sedikit kebawah sehingga menampakan tulang lehernya yang terdapat bekas merah disana. Kartika segera menutupnya kembali setelah yakin Crystal melihat tandanya. "Yang paling membuatku bingung. Dia membuatku seperti wanita normal."
"Apa maksudmu normal?"
"Aku tidak berteriak histeris saat bersamanya."
"Kamu mabuk, sayang."
"Aku tidak mabuk tadi pagi. Kamu lihat sendiri kami berciuman."
"Tapi kamu mendorongnya."
"Aku mendorongnya karena aku merasa takut dengan diriku sendiri." Kartika mendelik menatap Crystal, "Aku menginginkan ciuman itu. aku menginginkan sentuhannya kembali. Tubuhku terasa aneh saat didekatnya, dadaku berdebar tak karuan dan aku... aku... ingin ada di sampingnya."
Mereka terdiam saling menatap tanpa suara. Kartika menundukan kepalanya kembali memikirkan apa yang ia barusan akui. Ia menginginkan pria itu ada disampingnya. Sedangkan Crystal, sedang mengumpulkan semua informasi yang diucapkan Kartika dalam pikirannya. Semua yang dikatakannya seperti perkataan orang yang kasmaran tapi tidak menyadarinya.
"Kamu jatuh cinta padanya? Kepada Leonardo Kandou?" tanya Crystal setelah memberanikan diri. Kartika yang mendengar pernyataan yang terdengar seperti pertanyaan membuatnya terkejut bukan main. Bagaimana Crystal bisa menyimpulkan seperti itu. ia pun segera menggeleng dengan cepat.
"Tidak. Aku tidak cinta padanya. Aku tidak cinta pada siapapun. Aku hanya cinta pada satu orang, tidak ada yang lain."
"Satu orang? Siapa? Aku tidak pernah tahu," jawaban yang terlontar dari mulut Kartika berhasil memicu rasa penasaran pada diri Crystal. Selama enam tahun ia mengenal Kartika, ia tidak pernah sekali pun mendengar atau mengetahui tentang orang yang di sukai Crystal. Ia juga tidak pernah berani menanyakannya apalagi saat ia mengetahui apa yang pernah dialami Kartika.
"Bukannya kamu lapar? Telurmu sudah menunggu untuk dipanaskan." Kartika mencoba mengalihkan pembacaraan dengan melirik ke arah telur kocok Crystal yang ia biarkan begitu saja.
"Kamu mau mengalihkan pembicaraan?" kata Crystal yang tidak terpancing.
"Aku capek, aku mau tidur siang dulu." Kartika pun bangkit dari tempat duduknya dan berjalan masuk kembali ke kamarnya. Ia benar-benar tidak ingin membicarakannya kepada siapapun. Bahkan sahabatnya. Cukup dirinya saja yang mengetahui keberadannya yang secara diam-diam masih ia harapkan muncul di hadapannya dan menepati janjinya.
ᴓ
"Jadi kamu akan kesini?" Suara ceria Crystal terdengar di penjuru ruang depan.
"Ya, aku akan kesana setelah mengambil barang. Apa kamu ingin sesuatu? Atau makanan mungkin?" tanya orang disebrang sana yang tak lain Rekka.
"Jika kamu tidak keberatan. Aku dan Kartika belum makan malam."
"Baiklah, aku akan kesana."Setelah sambungan ditutup, Crystal menggengam erat ponselnya sembari tersenyum sendiri. Sehingga tak menyadari Kartika yang saat ini memperhatikannya.
"Demi tuhan, Kartika jangan berdiri diam seperti itu. aku kira mbak wewe,"omel Crystal saat menyadari keberadaan Kartika.
"Kalau aku mbak wewe, Aku pasti sudah menculikmu ke alam lain dari tadi karena tidak tahan mendengar percakapan kalian." Kartika mendengus sembari memajukan bibirnya kesal karena Crystal menyamakan dirinya dengan hantu perempuan. Crystal tersenyum singkat malu-malu dengan muka sedikit memerah.
"Kamu sudah baik-baik saja?"tanyanya kemudian.
"Memang aku kenapa? Aku baik-baik saja," jawab Kartika datar sambil memakai cardigan warna cokelat pucat di tubuhnya.
"Mau kemana?" tanya Crystal saat melihat Kartika yang sudah siap pergi keluar sembari membawa dompet panjangnya yang ia kempit di ketiak persis ibu-ibu yang mau kepasar.
"Mau cari makan. Aku lapar." Kartika meraih sandal jepit berwarna hijau yang ia tata rapi si rak di dekat pintu sebelumnya.
"Tidak usah cari makan. Nanti Rekka kesini membelikan makan untuk kita." Kartika menatap Crystal sesaat dan mendesah pendek.
"Aku sudah terlalu merepotkannya. Aku tidak mau menganggu malam kalian, kalian bisa habiskan makanannya berdua bukan?"Kartika memberikan senyuman jailnya kepada Crystal. Dia tahu sebenarnya Crystal sangat ingin pergi berdua dengan Rekka, tapi karena dia Crystal selalu mengurungkan niatnya dan selalu mengajaknya. Sudah terlalu sering dia menjadi obat nyamuk diantara hubungan mereka berdua. Dia sudah sadar diri, sebenarnya sejak lama. Kali ini dia ingin memberikan mereka berdua waktu.
Setelah berpamitan, Kartika langsung melesat keluar rumah, meninggalkan Crystal yang berusaha mencegahnya untuk menemani. Tak jauh dari rumahnya, ia berjalan menuju tempat berkumpulnya PKL kesukannya, dimana dia bisa menemukan makanan kesukannya disini dengan rasa lezat dan harga pas di kantong. Ia berjalan berkeliling menelusuri saatu persatu PKL yang ada disana sambil terus berpikir dalam otaknya, makanan apa yang paling diinginkan mulutnya malam ini.
Sebuah asap putih menghampiri hidungnya. Ia mencium bau daging dibakar dengan percampuran bumbu yang membuat perutnya keroncongan. Sate, nama makanan yang terlintas di otaknya langsung bersarang begitu saja dan berhasil menggugah seleranya. Ia pun membalikan badannya untuk menghampiri sumber asap putih tersebut. Langkahnya terhenti begitu saja ketika ia melihat sesosok orang yang dikenalnya, orang yang membuatnya merinding ketakutan dan orang yang berhasil membuat dirinya yang berda tersembunyi dalam berteriak histeris dalam diam.
"Kartika!" Orang itu memanggilnya lembut dengan suara seraknya yang khas. Nathan. Suara kak Nathan, tidak salah lagi. Matanya tidak menipunya. Laki-laki itu berjalan mendekat kepada dirinya yang masih berdiri beku di tempatnya.
'Pergi dari sini!' batinnya mulai berteriak, tapi Kartika tak kuasa bergerak. Serasa ada sebuah paku bumi yang menancap di kakinya sehingga ia tidak bergerak sama sekali. Mematung diam memperhatikan laki-laki itu berjalan mendekat padanya. Laki-laki itu berhenti di hadapannya menyisakan jarak yang tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh dengannya. Ia tersenyum ramah, senyuman yang selalu ia tunjukkan kepada Kartika setiap kali ia menyemangatinya untuk kuat. Dulu, itu dulu.
"Aku tidak menyangka bisa bertemu kamu disini. Bagaimana kabarmu?" tanya Nathan kepada Kartika yang hanya diam menatapnya tanpa mengeluarkan suara. Nathan mulai mendesah pasrah, "Bisa kita bicara sebentar? Banyak yang ingin aku bicarakan padamu." Masih tidak ada jawaban dari Kartika. "Aku ingin meminta maaf padamu. Sungguh,"lanjutnya dengan tatapan memohon.
"Kartika lapar. Jika kakak tidak keberatan kita bicara disana sambil makan." Kartika menunjuk sebuah tempat duduk di balik gerobak pedagang sate dengan tangannya yang agak gemetar. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini. Ia benar-benar ingin kabur, tapi tatapan mata itu selalu berhasil meluluhkan hati Kartika. Ia ingin mencoba memberi kesempatan kepada orang di depannya yang tersenyum lembut ke arahnya.
Mereka pun berjalan menuju tempat yang di tunjuk Kartika tadi dengan jarak yang masih cukup relevan bagi Kartika. Mereka duduk saling berhadapan tapi karena tak kuasa, Kartika mengalihkan pandangan pada tangannya yang ia genggam sendiri dibawah meja yang masih bergetar pelan.
"Kamu masih suka sate ayam tanpa kulit dan lemak?" tanya Nathan yang sepertinya sudah mengenal selera makan Kartika. Mendengar tawaran Nathan, Kartika hanya mengangguk pelan masih tidak menatapnya. Nathan pun beranjak dari tempatnya untuk memesan dua porsi sate dengan nasi secukupnya.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Kartika hanya diam melihat sekeliling yang mulai ramai tanpa menatap Nathan di depannya, dimana ia yakin saat ini laki-laki itu memperhatikannya terus masih dalam diam. Tak sengaja mata mereka salaing bertemu, Kartika terdiam beku dengan beribu pertanyaan yang tiba-tiba muncul. 'Sejak kapan dia keluar? Kenapa dia ada disini? Apa yang ia kerjakan saat ini?'
"Mereka membebaskanku enam bulan lalu," kata Nathan tiba-tiba seakan dia bisa membaca pikiran Kartika. Kartika mengerjapkan matanya tak percaya yang membuat Nathan tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya, "tidak usah kaget seperti itu. Wajahmu sudah terbaca. Ada yang ingin kamu tanyakan?"
"Bagaimana bisa?"pertanyaan yang ada dipikiran Kartika, meluncur beegitu saja dari mulutnya sehingga ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Nathan membenarkan tempat duduknya masih dengan senyum lembut yang menghiasi wajah manisnya.
"Karena aku berperilaku baik. Aku ..."ada jeda dalam kalimatnya, "Aku benar-benar minta maaf atas apa yang telah terjadi. Aku tidak bermaksud melakukan hal itu kepadamu. Sungguh Kartika." Nathan berusaha menjelaskan dengan memegang tangan Kartika yang saat itu ada di atas meja. Kaget, Kartika pun melepaskan tangannya dan menyembunyikan lagi di bawah meja sembari menggosok pelan bekas pegangan tangannya.
Sungguh saat ini perut Kartika terasa begitu mual, dadanya berdebar kencang, buku halusnya mulai berdiri ketakutan ketika mengingat sentuhan Nathan empat tahun lalu padanya. Sentuhan kasarnya yang berhasil membuatnya menjadi wanita abnormal sampai saat ini. Hingga pria kemarin muncul dihadapannya yang berhasil membuatnya menjadi wanita normal. Harusnya seperti itu, tapi nyatanya ia tetap merasa abnormal jika berada dekat dengan orang lain.
"Maaf. Aku tidak bermaksud menyentuhmu lagi," ucap Nathan lirih yang berhasil menyadarkan lamunannya akan pria kemarin. Ia menggeleng ingin memusnahkan bayangan kemarin, tapi gelengan Kartika memberikan arti lain bagi Nathan. Ia pikir Kartika memaafkan sentuhannya barusan.
"Aku sudah banyak merenung dengan apa yang sudah aku lakukan padamu. Aku sadar itu salah, semuanya salah. Aku terlalu gelap mata, rasa cemburu menguasi diriku ketika melihatmu dekat dengan seoerang laki-laki yang tidak aku kenal." Pengakuannya berhasil membuat Kartika menatap lurus ke matanya. Nathan memberikan tatapan menyesal akan yang ia lakukan pada Kartika pada itu, "Aku menyukaimu Kartika, dulu maupun sekarang aku menyukaimu. Aku tahu aku tidak boleh memiliki perasaan ini padamu. aku selalu memendam perasaan ini dan mencoba membuangnya jauh-jauh dari pikiranku, tapi kamu memenuhi pikiranku Kartika. "
Nathan menghentikan kalimat disaat pak penjual sate memberikan pesanannya yang sudah jadi. Tanpa menatap Nathan, maupun merespon perkatannya tadi, Kartika mulai memakan makanannya karena saat ini dia sendiri bingung ingin melakukan apa. Dia ingin lari tapi dia tidak bisa selamanya kabur dari orang ini. Ia harus bisa menghadapinya. Tapi disisi lain sebenarnya selera makannya sudah hilang, ia memaksa daging yang ia kunyah dengan berat hati masuk kedalam kerongkongannya.
Dilain pihak Nathan memperhatikan sikap Kartika yang sedikit berbeda. Saat tadi sang penjual menyerahkan pesanannya, Kartika menjauhkan tubuhnya dari sang penjual yang mendekat padanya. Bukan hanya itu, ketika ada pembeli laki-laki yang lewat di belakangnya Kartika memajukan duduknya agar memberi jarak yang cukup jauh dengan laki-laki itu. Kartika kembali memundurkan kursinya saat menyadari tubuhnya yang maju mendekat ke arah Nathan.
"Kartika, Kamu takut dengan laki-laki?" Pertanyaan Nathan bagaikan senjata tajam yang menusuk punggung Kartika dan berhasil membuat Kartika menghentikan kegiatannya, seakan dia membeku kaku. "Apa aku yang membuatmu seperti ini?"masih tidak ada respon dari Kartika, "Aku akan bertanggung jawab apapun yang telah aku lakukan padamu."
"CUKUP!" Kartika mulai berteriak tidak tahan membuat semua orang disekitarnya menatap ke arah mereka, "Aku mencoba duduk disini, makan bersamamu dan menerima permintaan maafmu, tapi aku tidak bisa tahan lagi!"Kartika pun berdiri dari tempat duduknya, mengeluarkan uang tiga puluh ribu dari dompetnya dan menatap kesal ke arah Nathan yang masih kaget dengan teriakannya.
"Aku memaafkanmu dengan dua syarat, menjauhlah dariku dan jangan pernah muncul di hadapanku."
Kartika pun berbalik dan berjalan, setengah berlari, meninggalkan Nathan yang masih diam di tempatnya. Merasa di permalukan Nathan pun mengepalkan tangannya yang di atas meja dan memukul keras meja itu sehingga terdengar benturan piring dan sendok yang saling bertemu.
"Sekarang kamu bisa lari dariku, tapi aku pasti akan menangkapmu dan memilikmu." janjinya dengan tatapan mata yang menyala.
ᴓ
Kartika berjalan dengan pelan sambil memeluk tubuhnya dibalik kardigan cokelat yang ia kenakan menuju kerumahnya. Ketika pagar rumahnya tampak, ia bisa melihat sepasang sejoli yang saling berpelukan di depan rumah kecil yang ia kontrak bersama perempuan yang sedang bermesran di hadapannya saat ini yang tak lain Crystal. Melihat hal itu tak bisa di pungkiri terbesit rasa iri dalam diri Kartika. Ia iri dengan Crystal yang bisa merasakan jatuh cinta kepada seseorang yang mendapatkan balasan cinta kembali, bisa saling bersentuhan, saling berpelukan tanpa ada rasa takut. Ia benar-benar ingin merasakan kehidupan normal seperti perempuan pada umumnya. Sekarang lihat saja dirinya saat inim hanya berdekatan dengan lelaki dalam jarak satu meter saja berhasil membuat perutnya mulas karena ketakutan. Padahal ia sudah berusaha. Berusaha melupakan kejadian mengerikan itu, tapi bayangan itu begitu terlihat jelas apalagi setelah menemui lelaki itu barusan, traumanya muncul berlipat ganda.
"Kartika!" panggil Crystal yang menemukan Kartika yang berjalan pelan. Kartika pun tersenyum membalas panggilan temannya dan menatap sekilas ke arah Rekka.
"Bagaimana keadaanmu? Kamu sudah agak baik?" tanya Rekka, pertanyaan yang sama seperti yang dilontarkan Crystal padanya tadi sebelum ia keluar rumah. Kartika mendesah karena lelah mendengar pertanyaan yang sama sebanyak dua kali dalam waktu satu jaman ini.
"Keadaanku baik-baik saja. Kenapa kalian berdua menanyakan hal yang sama kepadaku? Aku bukan pasien penyakitan"jawabnya yang mulai kesal karena moodnya tidak baik.
"Maaf."
"Tidak perlu minta maaf. Aku yang harusnya bilang minta maaf karena merepotkanmu tadi pagi dan terima kasih," kata Kartika ketika mengingat kejadian tadi pagi dimana Rekka mengantarnya kembali ke rumah dan tidak banyak berbicara. "Aku masuk dulu," izin Kartika yang meninggalkan kedua sejoli itu dan masuk kedalam rumah.
Saat masuk didalam rumah, ia pun duduk di ruang depan dan menyalakan televisi dan mengganti semua chanel yang ada disana. Tak selang berapa lama Crystal masuk dengan membawa sekotak makanan dengan tulisan jepang di tempatnya. Ia ikut duduk di ruang depan danmembuka kotak makanan itu yang tak lain satu set sushi komplit. Kartika yang melihat makanan mewah di depannya hanya bisa menelan ludah. Crystal yang mengetahui mulai tersenyum jail.
"Kamu juga mau?" Kartika diam sejenak memandang sushi yang menggiurkan tersebut dan menatap Crystal dengan senyum bodohnya. Ia ingin memalingkan wajahnya tapi perutnya bergemuruh karena tadi ia belum sempat sate didepannya yang menangis karena ia tinggalkan begit saja gara-gara orang menyebalkan itu. dengan muka malu Kartika pun mengangguk pelan.
"Karena aku orang baik, kamu boleh mengambilnya. Hanya beberapa," jelasnya dengan tali telunjuknya yang mengancung seperti ibu guru yang memperingatkan muridnya.
"Tenang saja, aku tidak akan menghabiskan jatah makan malam dari pangeranmu." Kartika pun langsung meraih sushi gulung yang terlihat menggiurkan dengan isinya yang penuh ditengah.
"Oh ya, ada yang ingin aku tanyakan padamu, meski aku tahu waktunya tak tepat tapi ..." Crystal menatap Kartika dengan waswas yang saat itu sedang memasukan potongan dari gulungan sushi itu langsung kemulutnya.
"Apa?"tanyanya yang masih berusah mengunyah sushi di mulutnya.
"Baju pesta yang kita sewa kemarin harus dikembalikan besok selasa. Kamu ingat bukan?"
"Tentu saja. Kita meminjamnya bersama, nanti kita kembalikan bersama setelah ak-" perkataan Kartika terhenti seketika. Ia memaksa masuk makanan dimulutnya ke kerongkongan dan mulai membuka lebar mulutnya. Ia ingat sesuatu yang penting, pakaian sewaan itu ada di tempat pria itu.
"Pakaian itu tidak ada bersamaku. Pakaian itu masih ada ditempat itu." Crystal yang mendengar perkataanku menyengritkan dahinya ngeri saat mengingatnya. Satu fakta yang terlupakan begitu saja.
"Biar aku minta tolong Rekka untuk mengambilkannya." Crystal pun segera mengambil ponselnya namun langsung dicegah Kartika dengan mengambil ponsel itu dari tangannya.
"Jangan merepotkannya lagi." Kartika menatap lurus kearah Crystal. Ia tidak bisa merepotkan lebih dari ini semua. "Besok aku akan kesana mengambilnya sendiri."
"Apa kamu yakin?"Crystal menatap tidak percaya akan keputusan Kartika, ia pun merebut ponselnya dan menyalakan ponsel tipis itu. "Aku tidak akan membiarkanmu kesana, biar aku minta tolong Rekka."
"TIDAK!" Kartika mulai berteriak, "Aku yakin. Aku akan mengambilnya sendiri. Aku tidak bisa selalu lari dari semua laki-laki," ucapnya dengan pasti. Entah mengapa ia ingin mencoba berhadapan dengan pria itu kembali. Satu-satunya pria yang tidak membuatnya histeris ketakutan. Satu-satunya pria yang membuatnya menjadi seorang wanita normal, seketika.
Jika pria itu berhasil membuat Kartika menjadi wanita normal pada umumnya, ia bisa membuktikan kepada Nathan bahwa semua yang ia alami karenanya bukan sesuatu yang penting dalam hidupnya. Ia tidak ingin menerima tanggung jawab apapun dari Nathan. Kartika ingin terbebas dari belenggu yang mengikat tubuhnya sendiri. Ia akan melakukan apapun agar bisa lepas dari belenggu yang ia bangun sendiri.
Mungkin ini kesempatan terakhir bagiku untuk menjadi wanita normal. Aku harus menemui pria itu lagi.